Onyx Eye

Chrystal Calista
Chapter #12

JATUH

Semalam Nania banyak menyendiri di dalam kamar. Pembicaraan mengenai Elena kemarin pasti memengaruhi emosinya.

Nania menolak makan malam meski sudah dibujuk Nenek. Tetapi ketika aku mengantarkan susu hangat ke kamarnya, dia menerima itu dan menghabiskannya.

Kutanya, apakah ada ucapan kami yang menyinggung atau membuatnya marah, dia menjawab tak ada. Dia bilang hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiran.

Maka semalaman sampai pagi kubiarkan dia beristirahat di kamar, tak mau mengganggunya. Aku tidur sendirian di ruang tengah.

Yah. Harus kuakui, tanpa dia ... rasanya sepi. Kuharap di hari yang baru ini aku bisa melihat senyum Nania lagi.

Akan tetapi Nania masih bersembunyi, padahal ini sudah jam sembilan pagi. Tadi pun aku sarapan seorang diri karena Nenek sibuk mengurus kebun.

"Adam!"

Oh. Itu Nenek, memanggilku keras. Wajahnya cemas.

Tangan Nenek memegang ponsel yang layarnya masih menyala. Sepertinya baru selesai menerima panggilan telepon.

"Ada apa, Nek?"

"Nania masih di kamar?"

"Iya. Belum keluar dari pagi."

"Aduh." Nenek menggoyang lenganku. "Bukannya Nenek mau ngusir, tapi sebaiknya Nania jangan di rumah dulu hari ini."

Aku mulai waswas. "Kenapa?"

"Pamanmu, si Purnomo … dia sedang dalam perjalanan ke sini sekarang! Untung dia nggak ada rencana nginap. Tapi kamu 'kan tahu, kalau Purnomo datang, nggak bakal cepat-cepat pulang. Bakal gawat kalau dia lihat Nania di sini."

Hawa ngeri sudah menjalari kulitku meski Nenek belum menyelesaikan kalimatnya. Astaga. Kenapa Om Purnomo harus datang di saat seperti ini?!

Adik bungsu ibuku itu bukanlah orang yang akan mencerahkan harimu dengan kehadirannya. Mulutnya sulit berhenti bila sudah bicara. Jika dia berkomentar, bersiaplah untuk mengurut dada. Kata-katanya tajam, pedas, dan menyakitkan bagai pisau yang diolesi cabai. Ya, begitulah kira-kira.

Pokoknya aku tak mau Om Purnomo melihat Nania. Kalau sampai itu terjadi, berita tentang aku yang membawa seorang gadis asing ke rumah Nenek akan tersebar ke seluruh keluarga. Matilah aku.

"Kami harus pergi."

Wajar kalau Nania sekarang jadi bingung seperti orang linglung.

Tadi aku menggedor pintu kamar dan memanggilnya dengan panik. Setelah dia membuka pintu, aku masuk dan langsung membuka lemari untuk mengambil jaket dan dompet. Sambil menyuruhnya memakai jaket bertudung milikku, aku memberitahu tentang Om Purnomo yang sedang dalam perjalanan ke sini sehingga kami harus melarikan diri. 

Nania takut dan tak tahu harus berbuat apa. Kusuruh dia mengikutiku saja.

Sekarang, aku sibuk mencari kunci motorku. Kunci itu hilang di saat yang genting seperti ini. Nenek tak melihatnya. Nania juga tak tahu. 

Sial.

Sial.

Sial!

Argh! Aku jadi uring-uringan. 

Pergi dengan sepeda adalah ide yang datang tiba-tiba. Maka aku ke gudang, mengambil sepeda milik Nenek.

Kendaraan itu sudah agak tua namun masih awet. Warnanya putih dan sangat bersih. Aku harap aku tidak mengotori atau merusaknya. 

"Ayo naik, Nania! Kita pakai sepeda aja."

Sejujurnya ... belum terpikir olehku harus pergi ke mana. Masa bodo. Ke mana saja boleh asalkan bisa menghindar dari Om Purnomo.

Lihat selengkapnya