Nenek dan aku duduk di bangku panjang yang terletak di pekarangan belakang rumah. Ada nampan kecil berisi kecambah di pangkuanku. Aku membantu Nenek membuang akar kecambah yang akan diolah sebagai lauk makan siang nanti.
Selesai mengupas jengkol, Nenek menepikan sampah-sampah kulitnya lalu beristirahat sejenak. Nenek terlihat lelah meski hanya melakukan pekerjaan ringan seperti menyiapkan bahan-bahan masakan. Tubuhnya memang masih belum boleh dipaksa untuk banyak bekerja karena baru pulih dari sakit.
Jelas Nenek butuh pertolongan dalam menyelesaikan segala urusan sehari-hari, dan kami tak perlu disuruh untuk mengerjakannya. Justru kami senang bisa membantu.
Aku dan Nania. Itu yang kumaksud dengan 'kami'.
Bahkan jika dibandingkan dengan aku, Nania mengambil alih lebih banyak pekerjaan Nenek. Tak kusangka seorang anak borjuis rela dan mampu melakukan berbagai hal yang sudah pasti sangat jarang dikerjakannya sebelum ini.
Menyapu dan mengepel, memasak dan mencuci piring, masih banyak lagi. Itu dilakukannya sejak awal tinggal di sini.
Hari ini aku tambah mengaguminya karena dia diam-diam mencucikan pakaian kotor milik aku dan Nenek -- yang biasanya kami cuci sendiri-sendiri. Sungguh, aku sampai tak enak hati tetapi dia memaksa.
Bajuku cukup banyak karena ditumpuk selama dua hari, dan ada yang sangat kotor terkena lumpur saat jatuh di sawah kemarin sore. Oleh karena itu Nania tak bisa cepat-cepat menyelesaikan cuciannya. Tetapi dia terlihat tak keberatan.
Suara kecipak air yang terdengar dari kejauhan menandakan bahwa Nania belum selesai dengan sebaskom pakaian itu. Aku menoleh ke sudut yang tak jauh dari pintu belakang rumah. Ada bilik tanpa pintu yang merupakan tempat khusus mencuci.
Dari sini tampak Nania sedang memeras baju-baju. Sesekali terdengar kikik dan tawa renyahnya. Dia bekerja sambil bermain air dengan seekor anak anjing abu-abu gemuk yang kami beri nama Dudu.
Itu adalah anjing pemberian Pak Supri. Semalam kami bawa pulang sebagai kejutan untuk Nenek. Kami memberinya nama Dudu agar mirip dengan Didi anjing Nenek yang sebelumnya. Kini Dudu jadi penghuni baru di rumah Nenek dan suka sekali dekat-dekat Nania. Mungkin kehadiran Dudu yang membuat Nania begitu bersemangat hari ini.
"Indah banget wajah bahagia itu."
Nenek sedang memandang ke arah yang sama denganku. Otomatis aku mengangguk dan tersenyum lebar.
"Sinar matahari jadi kalah terang," lanjut Nenek, pura-pura menutup mata dengan telapak tangannya.
Aku terkekeh. "Kukira cuma aku yang mikir begitu."
Menarik napas sejenak, lalu Nenek memutar tubuhnya menghadapku. "Kalau bayangin kembali pas lihat Nania pertama kali, perubahannya jauh, ya? Awalnya semua tentang dia bikin Nenek serba salah, Nenek nggak mau dia lama-lama di sini. Tapi sekarang jadi nggak tega."
"Dia beruntung Nenek baik hati ngizinin tinggal di sini."
Nenek tersenyum simpul. "Dia beruntung ketemu kamu."
Aku memikirkan ucapan Nenek. Entahlah, apa aku bisa membuat seseorang merasa beruntung bertemu denganku. Apa yang kulakukan untuk Nania sejak awal hanya sesuai insting, mengikuti naluri dan nuraniku saja.
"Karena kamu Nania bisa sebahagia itu."
Karena aku?
Kulihat lagi gadis yang masih asyik bermain dengan Dudu, tak sadar dirinya sedang diperhatikan. Mungkin bukan karena aku.
"Dudu yang bikin Nania nggak berhenti senyum. Aku bahkan belum banyak ngobrol sama dia karena bangun kesiangan."
"Kamu nggak tahu berapa kali dia sebut namamu pas Nenek dengar ceritanya tentang petualangan kalian semalam. Adam jago balap sepeda, selalu menang lawan Agus. Adam makan bubur ayam dua mangkok. Kaki Adam pegel ngengkol jauh-jauh. Adam main sama kambing sampai bau kambing. Muka Adam belepotan kena lumpur, lucu banget. Adam, Adam, dan Adam!"
Bagian bawah hidungku tiba-tiba gatal. Telingaku pun memanas seketika.
Uh! Apa-apaan? Kenapa aku salah tingkah begini?