Tepat di hari ke tujuh pelarian Nania, hal aneh terjadi.
Aku diteror.
Ponselku dihubungi berkali-kali oleh entah siapa, mulai dari subuh tadi. Aku tak bisa tidur dibuatnya.
Nomor peneleponnya tidak terdeteksi. Disembunyikan, alias menggunakan private number.
Tiap kali aku mengangkat teleponnya, bulu kudukku meremang. Siapa pun si penelepon itu, dia tidak berbicara sama sekali. Hanya ada lantunan musik bernada menyeramkan yang terdengar. Kadang sayup-sayup, kadang keras.
Ya, hanya alunan musik. Denting piano klasik yang megah dipadukan dengan gesekan biola yang sumbang dan lirih. Kekacauan musik itu sangat buruk, janggal, dan menyakitkan telinga.
Lima kali kuterima panggilannya, sama persis yang diperdengarkan. Sungguh menyiksa batin.
Kini ponselku sedang dalam keadaan tidak aktif tapi sialnya nada-nada sumbang itu masih terngiang di otakku. Lagunya langsung mengingatkanku pada Elena. Lagipula siapa yang menerorku di saat seperti ini selain dia?
Sepagian aku ditemani rasa gelisah. Nania pun gundah, juga agak marah padaku karena tak langsung membangunkannya saat teror berlangsung.
Sekarang dia memaksaku untuk mengaktifkan kembali ponselku. Dia ingin tahu apakah akan ada telepon yang seperti itu lagi.
"Gimana kalau itu beneran Elena?"
"Kita nggak bakal tahu kalau aku nggak coba angkat teleponnya."
"Kamu mau angkat teleponnya?!" ulangku tak percaya.
"Tenang, aku nggak akan buka suara. Aku cuma mau dengar lagu yang kamu bilang."
Aku menghela napas, dengan berat hati merogoh saku celanaku dan mengambil ponsel. Layarnya berkedip lalu menyala setelah aku mengaktifkannya.
"Oke, kita tunggu aja," kata Nania.
✿
Mengapa Nania malah terkesan santai dalam situasi seperti ini? Dia duduk di kursi goyang, menggendong Dudu yang sedang terlelap. Punggung Dudu dibelainya lembut. Nania bahkan tersenyum padaku ketika aku memerhatikannya.
"Kalau ternyata memang mereka tahu kamu yang bantu aku kabur, berarti cepat atau lambat mereka bakal temukan tempat persembunyian kita. Rumah ini."
Aku mengangguk lemah. "Ya. Kamu benar. Lalu, gimana?"
"Sebaiknya aku pergi dari sini. Secepatnya."
Alisku bertaut. "Pergi? Ke mana? Sama siapa? Kamu gila."
"Sendiri. Ke mana aja. Yang lebih jauh dari ini. Setelah seminggu di sini, aku jadi tahu kalau orang asing bisa jadi penolong yang sangat baik. Aku udah nggak terlalu takut lagi kalau harus pergi ke tempat lain. Selebihnya, biar takdir yang menentukan."
Nania tetap tenang saat berkata begitu. Seolah dia sudah memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi, apa yang harus dilakukan, dan apa konsekuensinya.
Aku berpikir keras. Adakah tempat yang bisa menjamin keamanan Nania?