Cerita ini gue mulai dari awal masuk sekolah menengah saja. Karena jika gue kembali ke kisah jauh lagi sebelum ini, gue yakin otak gue akan teriak kalau dia tidak bakalan sanggup. Karna tidak semua bisa gue ingat dengan detail.
Gue tamat dari sekolah menengah pertama pada tahun 2007. Kalau tidak salah gue mengingatnya sih segitu. Gue lulus dengan hasil nem terendah dengan rata-rata 6 koma lebih sedikit.
Lebih rendah lagi dari nilai gebetan gue. Kebayang nggak sih malunya gue.
Tapi bodo amat masa itu buat gue, malunya cuma pas dia mau lihat nilai gue. Lewat dari itu ya enteng lagi.
Nah, di sinilah masa-masa kebimbanhan itu datang. Menentukan mau lanjut ke sekolah menengah atas kemana?
Gue pun berusaha mencari informasi dengan teman-teman gue mereka mau lanjut ke mana. Mana tahu gue di ajak.
Soal penentuan jurusan mau lanjut ke mana orang tua gue lepas tangan ke gue. Seperti anak kecil yang dilepas ibunya buat mandi di kolam renang anak. Bebas terserah gue, mau itu lanjut ke sekolah negri atau swasta itu terserah gue. Bagi mereka anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.
Nah usut punya usut akhirnya teman gue ngajak sekolah ke sekolah jurusan.
"Ray, mau masukin lamaran ke sekolah mana loe?" tanya salah satu teman gue setelah pembagian ijazah.
"Belum tau, rencana loe mau masukin lamaran ke mana? Gue ikut donk." Gue mengedip-ngedipkan mata gue ke Lusi, niatnya biar di ajak.
"Ikut, ikut ... pakai ngikut aja kek truk gandeng. Tau tuh tanya sama Ni El." Lusi mengalihkan pandanganya ke teman gue yang satu lagi. Dia tengah asyik makan siomay yang dibungkus.
Entah sejak kapan ntuh anak makan siomay, baru juga beberapa detik ijazah dibagikan, siomay sudah mendarat indah di mulutnya.
"Lah kok gue."
"Iya nanya pendapat dari, loe. Bagusnya kita mau lanjut ke mana nih?"
"Tanya si, Ray. Mana tahu dia ada masukkan."
Gue tersenyum sok manis di depan ke dua teman gue yang cantik-cantik ini. Mereka tidak tahu perasaan gue yang pasrah mau ngikut mereka ke mana.
Kita tidak bersahabat seperti kepompong, hanya kebetulan dekat karna jalan rumah kita searah.
Lima belas menit berlalu tidak ada suara dari kita bertiga, kecuali suara dari kericuhan siswa seangkatan lain yang sibuk membicarakan nilai mereka, mau lanjut ke mana? Mau makan di mana? Mau aksi corat coret di mana? Dan si Elvi berhasil menghabiskan siomaynya sampai potongan terkecilnya.
"Gini aja, kita lanjut ke sekolah jurusan bagaimana? Seruju nggak?" Lusi menyikut pinggang gue dengan tangannya.
"Sekolah jurusan yang di mana?"
"Yang di Pariaman, sekolah favorit incaran siswa baru."
"Mau ambil jurusan apa?" tanya Elvi yang baru masuk dalam pembicaran kami.
"Terserah kalian mau jurusan apa. Yang penting kita sekolah jelas tujuannya dan tamatan dengan jurusan apa."
"Gue takut, Si. Sekolahnya kan jauh dari rumah. Sedangkan gue anak rumahan. Paling jauh ya ke sekolah ini."
"Yeee gaya, loe. Kita kan bisa pulang bareng. Pergi bareng, jadi ngapain harus takut."
"Ye kalau kita bertiga di terima, kalau cuma salah satu diantara kita bagaimana?" Elvi menimpali.
"Kalau salah dua dari kita gimana?" Gue masih ragu dengan keputusan mereka. Karena gue tipe orang yang masih lugu waktu itu.
"Kalau salah dua nilainya cuma satu lah. Yang penting gini aja, kita coba aja daftar dengan jurusan kita masing-masing yang kita sukai. Soal di terima atau tidak itu urusan nanti."