Desa Sumberbening, Kecamatan Bantur, kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia. Musim kemarau, 24 Juli 2013.
Pantai Kondang Merak yang terletak di pesisir selatan tepi Samudera Indonesia diselimuti kabut tipis. Hawa tampak sedikit gerah di siang itu. Sinar mentari yang jatuh satu persatu ke butiran pasir pantai yang bercorak putih bersih sedikit kecokelatan menambah gerahnya suasana.
Di sejauh mata memandang tampak deretan pepohonan di pinggir pantai yang membuat nyaman suasana. Berbeda dengan pantai di Indonesia pada umumnya yang dikuasai pohon kelapa dan bakau, tanaman di pantai itu merupakan tumbuhan besar nan hijau dan semak lebat yang membentuk area hutan.
Usut punya usut, pantai itu dinamakan Kondang Merak karena memiliki kondang atau muara yang merupakan pertemuan air tawar dan laut yang sebelum tahun 1980 banyak dihuni oleh burung merak. Setelah tahun itu, burung merak mulai dinyatakan punah akibat adanya penangkapan liar.
Tak hanya itu, Pantai Kondang Merak juga menyajikan aneka binatang laut, seperti gurita kecil, landak laut, mentimun laut, ikan-ikan kecil, atau lobster yang sering bersembunyi di sela-sela karang dan dapat ditemukan dengan mudah di tepi pantai.
Sekelompok dewasa muda berusia sekitar dua puluh tengah berendam di air laut setinggi pinggang hingga dada. Sebagian lainnya berusaha mengumpulkan kerang dan keong beraneka bentuk dan warna.
Beberapa gelintir dari mereka memilih berkerumun di sebuah istana pasir yang dibentuk oleh teman mereka, Rachel. Rachel adalah salah satu anggota dari Red Diamond, kelompok high class di Sekolah Tinggi Bintang Bangsa. Sekolah tinggi terfavorit di kota Malang.
Rachel tengah memamerkan kebolehannya dalam menyusun istana pasir. Yang bertahan paling lama di antara istana pasir yang dibuat teman-teman seumurannya. Sambil berkacak pinggang, dia berputar-putar dengan congkak sembari tersenyum. "Ada yang mampu membuat istana pasir lebih indah dan lebih tahan lama dari milikku? Seandainya ada jika dia perempuan, akan aku jadikan dia anggota baru Red Diamond. Jika laki-laki, akan kujadikan dia pacarku."
Semua mata yang mengelilingi hanya terdiam. Kaum wanita memandang Rachel dengan tatapan sinis karena iri dengan kecantikannya. Sedangkan kaum lelaki, dibuat terkagum-kagum dengan penampilan dan aura kecantikan yang seakan tak berjeda itu.
Cara Rachel berdiri, berputar, mengibaskan rambut, memilin-milin ujung rambutnya ketika gelisah, bahkan ketika menghela napas dengan sebal sekalipun; mirip dengan model nomor satu yang tengah naik daun. Kelopak mata Rachel yang sedikit kebesaran untuk ukuran wajahnya justru menambah daya tarik ketika dia tengah terbeliak dan terperanjat. "Aaahh... sudah kuduga, takkan ada yang bisa!”
Rere yang menatap tingkah laku Rachel dari deretan karang menjulang yang berjajar sekitar dua ratus meter dari bibir pantai tak kalah muak. Kini dia berbalik arah, menjauhi tempat Rachel berada. Disusurinya garis pantai yang panjangnya sekitar delapan ratus meter.
Area di mana Rere melangkah lebih banyak karang dan tebingnya dibanding dengan tempat Rachel berada. Dengan tebing-tebing berderet, seolah menjadi sebuah seni yang tak mampu tercipta oleh tangan kasar manusia. Karang-karang yang tampak lebih nyata kala air surut, menambah keeksotisan panorama.
Baru sekitar lima ratus meter dia melangkah, Ferry dan Andre, teman satu geng, menariknya ke pantai.
Rere meronta ketika dua lelaki berbadan atletis menyeretnya ke air laut. Hal pertama yang terlintas di otaknya adalah bahaya! Timbul slide-slide adegan silih berganti.
Kepingan pertama, plakat tanda bahaya yang terpampang tak jauh darinya. Area bahaya! Telah memakan seribu korban jiwa! Dilarang mandi atau bermain air di area ini. Kepingan kedua, dengan congkak, Rere kecil melangkahi area kolam renang yang seharusnya bukan untuknya. Orang-orang dewasa yang berteriak di sekeliling kala itu diabaikan. Dia terus saja memasuki area dengan peringatan di tepi kolam renang. Area sepuluh tahun ke atas. Bukan untuk balita.
Kepingan berganti dengan siluet Rere yang terjatuh ke kolam yang sangat dalam. Siluet beralih pada bayangan Rere berusia empat tahun yang tenggelam di air kolam.
Siluet demi siluet terus berganti hingga Ferry dan Andre melemparnya ke lautan berbuih setelah membawa Rere berenang hingga setinggi leher.
Rere berusaha berteriak, tetapi suaranya terkalahkan ombak yang mengganas. Suara Rere menghilang dan terus menghilang seiring pergerakan tubuh ke kedalaman air.
Pada saat bersamaan, air mulai masuk dan memicu reaksi laryngospasm. Reaksi ini yang membuat pita suara mengencang, menutup saluran udara demi melindungi paru-paru. Namun, sekaligus juga semakin sulit untuk berteriak meminta tolong.
Tak berapa lama, suplai oksigen berkurang, menyebabkan hipoksia. Membuat kesadaran Rere hilang. Tubuhnya masuk fase relaksasi sehingga air mengisi paru-paru.
***
Pria setinggi seratus tujuh lima sentimeter berbibir busur tengah berada di kedalaman sepuluh meter air payau ketika dilihat seorang gadis berusia dua puluhan yang berusaha diceburkan kedua temannya. Sebenarnya air payau tempat gadis itu ditenggelamkan bukanlah air yang terlalu dalam. Namun, ada sesuatu yang menyebabkan si gadis berteriak histeris, meronta-ronta ketakutan sebelum ditenggelamkan di kedalaman lima meter.
Pria berhidung turned-up mempercepat laju renangnya. Dia sadar, bentuk tubuhnya telah bermetamorfosa sebagian, terutama di area wajah. Tak ada seorang manusia pun yang boleh menjadi saksi perubahan bentuknya sekecil apa pun. Namun, nyawa gadis yang terancam lebih berharga dari segalanya.
Gadis yang tengah tenggelam tiba-tiba terlihat diam saja di antara ombak lumayan besar yang mulai menggulung tubuh.
Pria itu sadar, waktunya menolong tak lama. Dia harus berpacu dengan detik. Menghindari kasus asfiksia, mati lemas yang disebabkan oleh masuknya cairan ke dalam rongga pernapasan. Memang orang yang tenggelam sulit dikenali dari kejauhan. Mereka terlihat membatu dan bergeming.