Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedung Kandang, kota Malang, Jawa Timur, Indonesia. Musim kemarau, 02 Agustus 2013.
Sekolah Tinggi Bintang Bangsa yang terletak di Kotalama merupakan bangunan lama peninggalan gedung Belanda. Tak banyak renovasi dan perbaikan yang dilakukan demi kemodernitasan bangunan sekolah tinggi itu.
Sekolah tinggi tersebut memiliki satu gedung utama yang bernuansa gothik. Dengan sisi atas bercorakkan bangunan Eropa, lengkap dengan susunan cerobong yang mencuat di atap utamanya. Sebuah menara mini di sisi kanan gedung menambah keartistikan suasana. Hanya ada atap rendah berpotongan trapesium yang menyangga pilar-pilar utama teras gedung itu yang tampak baru. Pun, tanaman rumput gajah yang mendominasi pot-pot dan sisi depan serta kiri teras utama.
“Saudara Ferry! Saudara Andre! Saudari Amel! Saudari Rere! Saudari Rachel!” Petugas tata tertib Sekolah Tinggi Bintang Bangsa mencegat geng Red Diamond tepat ketika mereka baru melangkah sepuluh meter dari lapangan parkir.
Melihat lambaian tangan dari sang petugas demi menyuruh berhenti, spontan mereka memperlambat gerak serempak, tetapi ekspresi kelimanya tak seirama. Andre, Amel, dan Rachel hanya tertawa terkikik-kikik, seakan tak ada sesuatu yang terjadi. Raut wajah Ferry hampir sedingin ekspresi petugas tata tertib di hadapannya.
Sementara Rere, tengah mencuri-curi pandang ke lapangan parkir bernuansa abu-abu oranye yang terletak di sisi kiri gedung utama. Tempat Bentley perak metalik berplat N baru saja terparkir.
Sekolah Tinggi Bintang Bangsa tergolong unik. Termasuk salah satu sekolah tinggi di Indonesia yang memiliki disiplin tinggi dalam segala hal. Sehingga, memperlakukan para mahasiswanya seperti kurikulum dan peraturan di tingkat sekolah menengah atas.
Petugas tata tertib itu menatap Andre, Amel, dan Rachel tajam-tajam sebelum melayangkan pandangan ke sisanya. “Anda sekalian tahu, apa kesalahan hari ini?"
Mereka berempat menggeleng dengan ekspresi yang sama, kecuali Rere. Kini mulutnya tengah membentuk bulatan O demi menyaksikan cowok jangkung sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter bertubuh atletis keluar dari mobil Bentley, tengah berjalan ke arah mereka. Otak bawah sadarnya terusik sedemikian rupa akan sosok itu. Dia merasa pernah melihat cowok itu, tetapi entah di mana.
“Anda, Saudara Ferry! Rambut dan poni Anda sudah terlalu panjang. Bukankah sudah saya bilang...."
"Ini model terbaru, Pak. Zac Efron dalam '17 Again',” ujar Ferry seraya membetulkan letak poni yang tumbuh melingkar—bersambung dengan model rambut utama—dengan menyisirnya ke arah bawah dengan jemari.
"Hari Senin harus sudah rapi. Kalau tidak...." Petugas tata tertib mengambil sebuah gunting rumput yang tergeletak di ubin abu-abu dekat kakinya.
"Siap, Pak!” Ferry telah berlari, berhambur ke luar lapangan basket yang bercorak abu-abu biru dengan pola oranye. Dilangkahkan kakinya ke arah sisi kanan gedung utama. Ke bangunan berbentuk balok bercorak hijau putih yang terbentang dari lapangan basket hingga taman belakang sekolah tinggi. Gedung itu tempat perkuliahan anak-anak semester lima.
“Anda... kancingkan kemeja Anda! Ini bukan di pasar." Petugas tata tertib menunjuk kemeja cokelat Andre yang tidak dikancingkan sebanyak tiga dijit. Memperlihatkan dadanya yang berwarna sawo matang dan ditumbuhi bulu-bulu tipis. "Rok Anda...." Petugas itu mengambil sebongkah kayu ringan untuk dipukulkan kepada Rachel sebelum Rachel berlari terbirit-birit.
"Ya, Pak. Di atas lutut sepuluh sentimeter, kemeja terlalu ketat, dan rambut semir merah."
Sebelum sang petugas melayangkan balok kayu ke arahnya, Amel telah mengambil langkah seribu. "Idem dengan Rachel, Pak! Semir biru!" teriaknya tanpa rasa bersalah.
Sementara Rere, makin terperangah menatap cowok bersemir perak yang melintas di hadapan. Tidak dirasakan balok kayu yang mendarat ringan di rambut ikalnya. “Perak, Pak."
"Bagus! Anda sudah menyadari kesalahan hari ini. Tolong sampaikan pada teman-teman Anda untuk absen di buku merah ketika pergantian mata kuliah nanti! Karena Anda sekalian menyadari kesalahan, hari ini tidak mendapatkan poin. Hanya hukuman pengganti."
Ucapan sang petugas tata tertib hanya menjadi desing angin yang tak tersampaikan ke gendang telinga Rere. Deretan kata itu berbaur, bergumul, dan berlesak-lesak menguar di otak kusutnya. Menyisakan sebuah kata yang tanpa sengaja dilontarkan sendiri di jerat sel-selnya. Perak. Warna perak mengingatkannya akan sesuatu.
Rere melangkah menjauhi petugas itu dengan rasa sepenuhnya melayang. Kedua kaki seakan tak menjejak lagi di tanah. Ribuan kunang-kunang dan kupu-kupu serasa berputar di perut.
Kini Rere ingat. Wajah cowok bersemir perak yang melintas tadi mirip dengan manusia bersisik dalam alam bawah sadarnya. Lelaki yang menyelamatkannya dari insiden ketika Ferry dan Andre menceburkannya ke Pantai Kondang Merak hari Minggu sembilan hari lalu.
Tiba-tiba Rere serasa mau muntah, tetapi tidak di dekat cowok tampan. Dia harus menjaga gengsi. Atau lelaki itu akan berlari sejuta kilometer menjauh darinya.
***
Seorang cowok bersemir perak tengah berdiri di hadapan teman-teman baru di ruangan kelas III/1 yang tengah membahas tentang mata kuliah pilihan Bahasa Indonesia ketika Rere tiba dengan sedikit terhuyung di depan kelas.
"...Saya bisa berbicara dengan dua puluh bahasa resmi dunia. Juga bahasa Annex, bahasa peri." Saat mengucapkan kata terakhirnya, cowok itu tiba-tiba menoleh ke arah pintu kelas bercat hijau lumut sebelum mengedipkan kelopak mata kanannya ke arah Rere.
Rere yang sudah sedari tadi menahan rasa mual yang terus menjalar di dirinya tiba-tiba makin limbung. Dia merasa mabuk dan runtuh. Tubuhnya hampir mendarat ke ubin dari semen di bawah jika saja tangan-tangan kokoh cowok itu tak segera menggapai raga.
"Hei, hati-hati, Nona." Cowok itu menahan Rere dengan lengan kirinya.
Jarak Rere dengan cowok itu kini hanya tinggal beberapa jengkal saja. Bahkan, dia bisa mencium jelas aroma keringat yang bercampur after-shave wangi pinus di tubuh si lelaki.
Lebih dari apa pun, sebenarnya Rere menderita alergi akut pada semua jenis parfum, splash cologne, dan after-shave; tetapi di tubuh lelaki itu, aroma after-shave mendadak seperti feromon yang begitu memikatnya. Oh, Tuhan, lelaki ini, batin Rere tepat ketika buih putih meluncur dari bibirnya tanpa terkendali.