Kelurahan Araya, Kecamatan Blimbing, kota Malang, Jawa Timur, Indonesia. Musim kemarau, 02 Agustus 2013.
Perumahan Araya tempat Rere tinggal merupakan kawasan elit modern di Malang Raya setelah perumahan River Side. Sedangkan untuk kawasan elit rumah berdesain kuno, tetap dipegang oleh Kawasan Ijen dari tahun ke tahun.
Rumah Rere sendiri terletak di jalan utama perumahan. Beberapa ratus meter dari jalan utama kota Malang, terletak di sebelah kanan jalan, tak jauh dari pusat perbelanjaan Araya.
Rumah bercorak hijau lumut biru langit itu bernuansa modern. Dengan ornamen batu kali dan pualam yang menghias bagian pagar dan balkon utama. Rumah berbentuk prisma segi empat itu memiliki satu bangunan utama dan satu bangunan di sayap kiri yang bernuansa sama. Sayap kanannya berbentuk prisma segi delapan bercorak abu-abu dengan desain kaca dari atas ke bawah.
Rere tengah menghadap meja makan ketika bel di teras depan berdentang untuk yang kesekian puluh kalinya. "Bilang aku tidak mau diganggu, Bi!" teriak Rere pada pembantunya.
"Re! Sejak kapan kau tidak sopan pada Bi Ijah?" Ibunya melirik kesal.
Rere tak menjawab. Hanya mengaduk-aduk banana split yang belum disentuh sedari tadi. Sepenuhnya tak berselera makan. Entah mengapa pikirannya masih saja tersita oleh sesosok bayangan akan Roy. Pernah dilihatnya sebuah film India yang cukup fenomenal. "Pyaar Impossible". Tokoh kutu buku di film itu, Abhay, bisa menjadi pasangan dari tokoh perempuan yang sangat populer, Alisha, setelah adegan penyelamatan. Harusnya Rere juga bisa.
Beberapa detik kemudian, Bibi Ijah tiba di sampingnya kembali. "Maaf, Non!" ujarnya seraya membungkukkan badan dalam-dalam. "Ada yang ingin bertemu dengan...."
"Kan, tadi aku sudah bilang, Bi! Aku tidak mau diganggu!”
"Lelaki ini tampak beda, Non. Seperti cowok baik-baik. Tampan dan keren banget. Mirip bintang holiput yang namanya... siapa itu? Jek Epron."
"Zac Efron maksud Bibi? Bintang hollywood, Bi.”
"Ya, Non. Mirip banget. Bukan permakan dan imitasian seperti Tuan Ferry."
Rere melangkah setengah hati ke teras depan. Menapak lunglai, melewati kedua orang tua yang masih melingkari meja makan dari kayu mahoni yang berbentuk elips. Langkah perlahannya mengundang perhatian tajam dari sang ibu.
"Sejak kapan kau maniak pada warna tertentu, Re?" Ibunya mengerutkan alis sophisticated thick dalam-dalam. Menatap tajam pada potongan celana tiga perempat berikut blus longgar yang melingkari tubuh Rere. Sepasang anting dan bandana dengan warna sama persis pun tak luput dari perhatian. Perak. Dahi lebar sang ibu makin bertaut dengan pangkal hidung long and narrow, merasakan ada yang aneh dengan tingkah anak semata wayangnya itu. "Kau tidak lagi jatuh cinta, kan?"
Rere tak menggubris. Karena, dia sudah tiba di ujung koridor selebar satu meter yang memisahkan ruang makan dan ruang tamu.
Koridor itu dibuat sedemikian artistik. Ada lukisan kaca mozaik bercorak hijau di seluruh sisi dinding yang dibuat setengah lingkaran. Ubinnya terbuat dari terazzo, ubin bernuansa Italia, bercorak jingga metalik pekat. Di beberapa sudut, diletakkan lampu hias hijau berbentuk anggur-angguran. Lampu yang hanya menyala ketika seseorang melangkah di dekatnya.
"Kau?" Dikernyitkan kening dalam-dalam setibanya di pintu cokelat metalik bergaya Spanyol yang menghubungkan teras dengan ruang tamu di belakangnya.
Ada luka yang kembali tergores di hatinya saat melihat Roy datang bersama Rachel. Terutama, ketika melihat Rachel tengah berputar-putar memamerkan kecantikannya bak seorang model catwalk di hadapan Roy.
"Re!" Sinar di wajah Roy seterang rembulan saat purnama, tetapi hati Rere seakan tertusuk sembilu. Ada yang perih jauh di sudut kalbunya.
Sedetik kemudian, Rere berlari tergesa ke dalam. Berusaha ditahan aliran air mata yang berdesak-desakan, meriap dari telaga beningnya. Bagaimanapun, dia tak ingin memperbodoh dirinya dengan menangis di hadapan setiap orang.
Dilompatinya anak tangga dua, dua ketika dia nyaris bertabrakan dengan Bibi Ijah di ujung tangga pilin dari besi yang mengarah ke lantai atas. Diabai kenyataan bahwa tangga itu nyaris tanpa pengaman. Hanya ada jalinan logam selebar dua sentimeter yang mengular panjang, memberikan ruang kosong antara anak tangga dengan pegangannya. "Suruh mereka pulang, Bi!"
"Namun, Non...."
"Temui tamumu, Re! Tidak sopan menolak seorang tamu dengan cara begitu." Ayahnya menegur keras dengan suara tenor berat yang penuh wibawa. Seperti biasa, di kala-kala lain pria paruh baya berusia lima puluh delapan itu jarang berbicara dengan anaknya. Begitu ada kesempatan, aroma keras kediktatoran selalu menguasai suasana.
"Kenapa tidak Papa saja yang temui? Apa yang Papa mengerti tentang Rere? Pagi, siang, malam, Papa dan Mama ada di kantor! Hanya pulang untuk mandi dan berganti pakaian. Baru sekali ini Papa sempat makan malam bersama Rere, bukan berarti Papa bisa tahu segala hal tentang Rere. Hati Rere sakit, Pa! Sakit! Tak ada yang mau memahami Rere.”
"Re!" Ayahnya berdiri dari duduk. Mengambil sebuah tongkat rotan yang tak pernah berada jauh darinya. Dilayangkan jemari kokohnya ke arah Rere menghilang di tangga teratas yang berbelok ke arah lain. Hidung bulbous-nya kembang kempis seiring dengan alis mysterious thin yang beranjak tajam. "Re! Papa belum selesai berbicara!”
Rere tak menghentikan langkah. Tepatnya tidak bisa. Air mata telah menuruni pipi hingga membasahi leher jenjangnya. Lebih dari apa pun, dia tak ingin tertangkap basah, lemah karena seorang lelaki.