Beban yang Terangkat
“Bu, Kinanti belum bangun?” tanya Bunga.
"Belum. Sana, bangunkan adikmu. Bantu Ibu nyiapkan sambal goreng atinya,” perintah Ibu.
Bunga, anak pertamanya menurut. Dia berjalan menuju kamar Kinanti, adiknya.
“Kinanti, bangun! Bantu masak!” teriak Bunga beriringan dengan ketukan di daun pintu. Merasa tak ada jawaban, Bunga mengulangnya berkali-kali dengan ketukan lebih kencang.
Anak kunci terputar. Pintu terkuak bersama Kinanti menyembul dari dalam. Matanya dikucek-kucek.
“Ada apa, sih, Mbak?” Sepertinya nyawanya belum terkumpul.
“Woi, Dek! Ibu minta bantu masak.”
“Mbak kan ada?”
“Ibu minta kamu, Dek! Aku mau beresin meja makan sama ruang tamu!”
“Embun mana?” Kinanti sedang berusaha menghindar dari tugas rutin setiap lebaran.
“Nyuci baju!” teriaknya dari kamar. Si bungsu itu sedang mengumpulkan baju-baju kotor di kamar.
“Besok aja nyucinya. Sekarang bantu Ibu masak!”
“Besok lebaran kakakku, Sayang!” sungut si bungsu. “Lagian Mbak kebanyakan alasan dari tadi!” Ketus Embun memprotes kakaknya.
Kali ini Kinanti mengalah pada adik bungsunya. Tanpa membatah lagi, Kinanti berjalan ke dapur dan menemui ibunya.
“Mana yang belum, Bu?”
“Atinya belum dipotong-potong.” Ibu menunjuk panci berisi rebusan hati sapi.
Setiap tahun, menu lebaran keluarga mereka selalu sama, seperti menu lebaran pada umumnya; lontong opor, sambal goreng ati, kerupuk udang, puding buah, dan beraneka kue kering yang sudah ditata dalam toples-toples kaca.
Agenda usai salat Id adalah mengunjungi makam Ayah mereka. Sudah dua tahun Ayah meninggal. Di antara ketiga anaknya, Bunga yang paling terpukul dengan kepergian Ayah. Kedekatannya dengan sang ayah, membuatnya kehilangan pegangan. Ditambah lagi, Ayah belum sempat menikahkan Bunga dengan kekasihnya.
“Rany sudah sampai tadi malam. Pake mobil bagus.” Ibu mulai menceritakan anak Bu Suci–tetangga sebelah rumah–yang kabarnya sukses bekerja di Jakarta.
Baik Bunga maupun Kinanti tidak merespons cerita Ibu. Sepertinya mereka konsentrasi dengan pekerjaan masing-masing.
“Setiap pulang mobilnya selalu ganti. Berarti rumahnya besar, garasinya luas, ya, Mbak?” lanjut Ibu.
Kinanti hendak menimpali analisis Ibu tentang mobil, tetapi urung dilakukannya. Itu hanya akan membuat dia berdebat panjang dengan Ibu. Sementara Ibu, selalu punya alasan sekaligus petuah untuk tidak berprasangka buruk kepada orang lain.
“Bu Suci bilang, Rany baru naik jabatan. Bosnya baik. Bu Suci beruntung, ya, punya anak sukses.”
Kalimat Ibu seperti bogem mentah menonjok tepat ke jantung Kinanti. Sakit. Sulit sekali Kinanti melukiskan guratan kecewanya. Sampai saat ini, Kinanti belum menyelesaikan kuliahnya. Seharusnya dia sudah bisa ujian tesis semester lalu.
“Kinan, kamu nggak coba kerja di Jakarta?” tanya Ibu kepada Kinanti.
“Aww!” Kinanti spontan berteriak menyadari jarinya nyaris terpotong. Beruntung cuma kukunya yang teriris.