Opor Ayam Ibu

Respati
Chapter #3

Dua

Dua KemenanganGema takbir berbalasan dari tiap surau. Seruan ini seperti penegas, perjuangan sebulan penuh telah mencapai finish. Secara harfiah, puasa telah usai. Menahan diri dari segala nafsu juga usai. Namun, apakah hanya di bulan ini saja? Entahlah.

Orang bilang hari ini hari kemenangan. Kemenangan dari sebulan bisa menahan diri. Baju baru, rumah tertata rapi lengkap dengan jejeran toples-toples berisi berbagai kue. Kue kering, kue basah, lontong dan ketupat, opor ayam lengkap dengan sambal goreng ati pedas nan menggiurkan menjadi penanda hari itu telah tiba.

Sejak pagi bahkan sebelum kokokan ayam jantan terdengar, Ibu sudah bangun. Urusan di dapur belumlah selesai. Pagi ini, Ibu akan memasak opor ayam. Tumisan bumbu yang telah disiapkannya mulai ditumisnya. Aromanya menggelitik hidung sehingga beberapa kali Bunga bersin.

Beberapa lontong yang sudah tiris juga ketupat, diletakkan di wadah besar. Di meja makan sudah tertata: sambal goreng ati, kerupuk udang, beberapa iris cake dan puding di piring.

Sudah ada Bunga yang menemaninya. Bunga mengiris tipis daun pandan dan mencampurnya dengan berbagai macam bunga: mawar merah, beberapa kuntum kantil, dan melati. Sebuah keranjang rotan sudah disiapkannya beserta ceret yang diisi air. Setelah selesai gadis itu membawanya ke teras.

Sudah terdengar suara deheman Embun di kamarnya. Azan Subuh yang mengalun merdu mengatur langkah Bunga menuju kamarnya untuk bersiap melaksanakan dua rakaatnya. Namun, sedari tadi kamar Kinanti masih gelap. Tidak terdengar suara apa-apa dari dalam kamar. Apa putri kedua Harja Sumantri dan Hayati ini pulas tidur sehingga tak mendengar alarm?

Ketukan pintu kamar berulang-ulang tak cukup membangunkan Kinanti. Sampai-sampai Embun harus berteriak memanggilnya.

“Mbaaakk! Bangun, dong!” Embun mengetuk pintu sambil menekan gerendel pintu berkali-kali.

“Apa sih, Dek?” tanya Kinanti santai tanpa merasa bersalah sambil mengucek-ucek mata.

“Mbak nggak sholat?”

“Nggak. Mbak di rumah aja.”

Pantas saja Kinanti santai bangun siang. Bahkan mungkin dia lupa membantu Ibu memasak.

“Bantuin Ibu, Mbak,” ucap Embun.

Kinanti menurut. Dia melangkah ke dapur. Ibu sudah selesai memasak opor ayam. Masakan favorit yang wajib ada di setiap lebaran.

“Kinan selesaikan beresin dapur, ya. Ibu mau mandi terus subuhan,” pungkas Ibu.

Kali ini Kinanti tidak ikut ke alun-alun mengikuti salat Id. Kodrat wanitanya menghalanginya untuk bisa salat berempat. Sama seperti tahun lalu, formasinya pun tidak lengkap. Namun begitu, Kinanti tidak berkecil hati. Ini kodrat wanita. Selain itu, ada pekerjaan rumah yang sedang menunggunya.

“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Kinanti sebelum menutup pintu depan, melepas Ibu dan saudara-saudaranya berangkat menuju alun-alun.

Lebaran tahun ini, lebaran ketiga tanpa Ayah. Seperti lebaran tahun lalu, terasa ada yang kurang. Terutama saat sungkeman. Tidak ada Ayah yang mengelus lembut setiap kepala ketiga putrinya, yang mencium kening mereka satu per satu. Itu momen yang paling dirindukan ketiganya.

Ibu, Bunga dan Embun berjalan beriringan. Mereka memotong jalan melewati gang agar lebih cepat sampai ke alun-alun. Sejak kecil, alun-alun merupakan tempat salat Idul Fitri–maupun Idul Adha–yang selalu mereka kunjungi. Meskipun harus ditempuh dengan berjalan kaki hampir satu kilometer. Ibu tidak pernah mau menggunakan mobil untuk sampai ke sana. Ibu merasa masih sanggup untuk berjalan kaki bolak-balik.

Setiap rumah di gang itu mengenal Ibu. Tak ayal lagi, selalu ada senyum dan sapa mereka menyambut Ibu.

“Mbakyu, nanti mampir,” ajak Bulek Parti–mereka bertiga memanggil Bulek. Belum jelas hubungan kekerabatannya dengan Ibu sehingga ketiga anaknya memanggil perempuan gempal itu dengan sebutan ‘Bulek’.

Beberapa langkah di depan, ada pria yang berjambang tipis, mengenakan kemeja koko lengkap dengan sarung dan pecinya. Siapa pun yang melihatnya pasti setuju kalau pria ini, tampan. Ditambah senyumnya yang terkembang. Tangannya terangkat setinggi pinggangnya berniat menyapa.

“Dek, itu Ndaru?” bisik Bunga pada Embun.

Sementara itu, yang ditanya hanya kikuk dan salah tingkah. Bunga menyikut lengan Embun.

Lihat selengkapnya