Opor Ayam Ibu

Respati
Chapter #4

Tiga

Terkenang

Bunga sedang menyusun piring bersih ke dalam lemari. Ini adalah piring-piring khusus; yang keluarnya hanya pada acara khusus. Jangan ditanya berapa banyak perkakas Ibu di lemarinya. Jenis dan jumlahnya tidak kalah dengan perkakas Mbak Endang pemilik Akbar Catering. Ibu pernah beralasan, dengan memiliki perkakas sendiri, tidak perlu repot meminjam atau menyewa setiap ada hajatan. Risiko mengganti juga kecil karena milik sendiri. 

“Mulai sekarang Mbak harus siap-siap,” ucap Ibu sambil mengelap sendok.

Bunga yang duduk bersila di depan lemari hanya mengangguk. Menikah beserta segala rupa persiapannya, tidak bisa dianggap enteng.

“Nggak usah pesta, ya, Bu. Syukuran aja sesudah akad,” usul Bunga.

“Kenapa? Ibu malu, Mbak, sama keluarga. Apa kata mereka kalau tahu kamu cuma akad, thok.”

Bunga bergeming. Ada banyak alasan lain yang ingin diutarakannya, tetapi lidah terasa kaku.

“Mbak, Mbak nggak usah mikir biaya. Uang peninggalan ayahmu Insya Allah cukup.”

“Coba masih ada Ayah, pasti pestanya meriah,” ucapnya lirih. Bunga tidak mengira ucapannya terdengar oleh Ibu. 

Ibu menghentikan gerakan tangannya. Di pelupuk matanya sudah menggenang cairan bening itu. Wanita paruh baya itu berusaha menahan laju turun aliran air matanya. Ibu pun bangkit berdiri.

“Masukkan sendok ini, Mbak. Ibu ke kamar, ya, mau istirahat dulu.”

Ibu berlalu, tanpa memedulikan tatapan Bunga ketika itu. Bola mata Bunga mengikuti langkah Ibu sampai tubuhnya menghilang di balik pintu kamarnya. Bunga tertegun sejenak. Otaknya kemudian berpikir, mengingat ucapannya sebelum Ibu tiba-tiba masuk kamar. Bunga merasa ada kesalahan dalam ucapannya yang mungkin membuat Ibu sedih.

Bunga menghela napas. Astagfirulloh, maafkan aku, Ya Allah, bisiknya dalam diam.

Sementara itu, di kamarnya, tubuh ringkih Ibu pelan-pelan dienyakkan pada tilam kapuk miliknya. Tubuhnya bergetar, seketika terdengar lirih isakannya. Sesekali tarikan napasnya terdengar berat. Ibu memegangi dadanya sambil menahan tangis. Perasaannya menjadi tak menentu setelah Bunga mengatakan tentang ayahnya. Bunga tidak pernah tahu, seberapa besar rindu Ibu pada suaminya. 

Dua tahun hidup tanpa suami, bukan perkara mudah untuknya. Mendampingi ketiga putri mereka yang beranjak dewasa tanpa sosok pelindung, juga menjadi hal paling berat untuknya. Ibu harus berperan sebagai ibu juga ayah bagi ketiga putrinya yang siap menikah. Itu berarti sebentar lagi anaknya pun akan pergi meninggalkannya. Satu per satu. Akhirnya, dia kembali ke awal, sendiri.

Sebelum meninggal, sang ayah berpesan untuk tidak meninggalkan Ibu sendirian. Harus ada yang menemani. Janji itu pun diucapkan ketiganya beberapa menit sebelum ayah mereka menghembuskan napas terakhirnya.

Mungkin Bunga tidak akan pernah tahu bahwa sebenarnya Ibu berat mengiyakan keinginan Bhanu. Mengizinkannya menikah dan akan mendampingi di mana pun suaminya bertugas, adalah keputusan yang dilematis. Namun, Ibu bukanlah wanita egois. Ibu tidak mungkin menghalangi anaknya menikah atau menagih janji mereka saat di depan ayah mereka. Ibu bukan wanita seperti itu. 

Kamar ini, adalah salah satu saksi betapa seorang ibu akan mengalami titik di mana dia harus bersiap sendiri lagi. Kembali ke titik awal kehidupan manusia yang sendirian. Ibu beristigfar lirih. Tangisannya ditekan sekuat mungkin karena dia tak ingin ketiga putrinya mendengar Ibu menangis. Ibu tak ingin membebani langkah mereka berumah tangga.

Lihat selengkapnya