Putus!
Kinanti sedang mengetik pesan yang sedari tadi tak putus dibalasnya. Sesekali dia mendengkus, lalu melempar benda pipih itu ke kasurnya. Namun, tak lama kemudian dipungutnya kembali saat mendengar nada pesan masuk.
Kinanti merebahkan tubuhnya sambil memandangi langit-langit kamar yang bercat merah muda itu. Kamar ini didominasi warna lembut itu. Wajahnya yang cantik terlihat kusut sejak Subuh tadi. Dilihatnya sekali lagi layar ponselnya. Tidak ada pesan masuk lagi.
Tubuhnya miring ke kiri ke kanan berubah tiap sebentar. Sepuluh menit, dua puluh menit menunggu, masih sama. Tidak ada lagi pesan masuk yang sedari tadi beruntun dibalasnya. Kinanti menghela napas lega. Sampai akhirnya dia tertidur.
Gadis itu terbangun karena dering ponselnya berdering kencang tepat di telinganya. Ada panggilan masuk, dari Haikal.
[Ke mana aja, sih, baru diangkat?]
[Tidur!]
[Kamu marah?]
[Pikir aja sendiri]
[Jadi kamu nggak terima pendapatku?]
Kinanti diam.
[Kalau kamu minta aku berpendapat, terus kamu marah. Buat apa kamu tanya aku?]
[Kamu posesif!]
[Wajar, kan aku pacar kamu!]
Suara Haikal terdengar meninggi.
[Pacar yang selalu membatasi]
[Jadi kamu maunya apa? Kamu nggak suka?!]
Kinanti menghela napas.
[Aku capek, Mas]
Sekarang Haikal yang tanpa suara.
[Kita udahan aja, Mas]
Hei, semudah itu kamu bilang putus. Nggak! Berapa banyak waktuku terbuang sama kamu, terus seenaknya kamu bilang udahan?]
[Maksud kamu apa, Mas? Kamu menuntut aku mengembalikan waktu kamu? Gimana caranya? Aneh!]
[Ya! Aku memang aneh! Pacaran kita ini juga aneh! Hubungan kita harus ada akhirnya supaya semuanya balance]
[Aku makin nggak ngerti kamu, Mas. Minta pendapat bukan berarti kamu berhak mengatur hidupku!]
Kinanti menggeram pendek.
[Kamu pacarku, aku wajib menjaga kamu dan mengatur kamu]
[Baru pacar, kalau istri bisa-bisa aku kamu kurung dan tak bisa menemui siapa pun termasuk Ibu!]
[Kamu tahu kan surga istri itu di mana? Dan istri juga harus minta izin pergi ke mana pun? Termasuk menemui keluarganya?!]
[Sinting! Aku nggak mungkin jauh dari Ibu. Apalagi meninggalkan Ibu, Mas!]
[Tempat istri di samping suami. Setelah menikah kamu tanggung jawab aku, suamimu!]
[Aku mending tak kawin daripada punya suami macam kamu, Mas!]
Sambungan telepon terputus sepihak. Kinanti menggeram panjang dengan mengepalkan tangannya dan meninju bantal. Kekesalannya memuncak. Hubungan Kinanti-Haikal diwarnai dengan putus-nyambung. Setiap Haikal berbuat kesalahan, terlalu posesif, Kinanti selalu melancarkan kata: putus.
Akan tetapi hanya berjarak seminggu setelahnya, mereka terlihat bersama lagi. Tentu setelah Haikal memohon dengan jurus-jurus rayuannya. Kinanti terayu, lalu memaafkan kesalahan Haikal yang telah diulangnya entah sudah berapa kali. Seberapa banyak kalimat putus Kinanti, sebanyak itu pula dia tak berdaya saat wajah tampan Haikal memelas di hadapannya.
Akan tetapi, kali ini Kinanti terlalu kesal. Sepertinya dia yakin, kali ini tak ada lagi maaf untuknya. Benarkah? Apa Kinanti bisa bertahan tanpa Haikal? Menahan gelombang rindu dirinya yang kerap hadir hampir setiap malam? Ditambah dengan seikat rayuan yang selalu disiapkan Haikal untuk menangkis gempuran amarah Kinanti.
Seminggu berlalu. Biasanya ini adalah batas waktu yang dipilih Haikal untuk kembali menemui Kinanti. Dering bel di pintu depan mengalihkan Kinanti yang sedang membantu Ibu menyiapkan soto Bandung.
Kinanti beranjak ke depan, membuka pintu, dan harus mendengus kasar ketika mengetahui tamu yang datang. Ingin rasanya Kinanti menutup kembali pintu rumahnya. Sore yang sejuk ternyata tidak cukup baik meredakan kekesalan Kinanti.