Opor Ayam Rany
Undangan untuk menghadiri wisuda pascasarjana sudah di tangan Kinanti. Undangan hanya untuk dua orang. Kinanti mulai gusar. Harus ada yang mendampingi Ibu di dalam karena di waktu yang sama Bunga dan Embun ada acara lain. Sejak putus dari Haikal, Kinanti tidak memiliki teman dekat lain.
Kinanti mematut diri di cermin. Kebaya hijau muda terlihat cocok dengan kulitnya yang putih. Ada sisi feminim yang terpancar.
“Cantik,” puji Ibu yang sudah berdiri di pintu.
Kinanti tersipu. “Ah, Ibu.”
“Beneran. Biasanya kamu paling cuek dengan penampilan. Tapi lihat, ternyata anak Ibu ini juga bisa tampil cantik.”
Ibu tersenyum bahagia. Dipandangnya sekali lagi anak keduanya itu dari atas sampai ke bawah.
“Ada yang kurang, Bu,” celetuk Embun yang sudah melesakkan tubuhnya di sofa kesayangan.
“Awas, Dek! Kusut lagi jubahnya,” protes Kinanti.
“Tenanglah, Mbak. Nanti aku setrika lagi.”
“Sst, udah, jangan ribut. Lihat, Dek. Cantik kan mbakmu ini?”
“Cantik, Bu. Sayangnya cuma satu.”
Ibu menoleh cepat pada si bungsu. “Apa?”
“Jomlo, Bu. Alias nggak punya pendamping wisuda!” Embun tertawa keras setelah berhasil menggoda kakaknya.
“Sialan! Emang kamu sendiri udah ada pendamping wisuda?” Kinanti balik mencibir.
“Masih lama, Mbak. Jangan dipikir sekarang!”
“Ih, pandai ngeles.” Kinanti mencebik.
“Bukan mas-mas yang di ujung Gang Manggis?” tanya Ibu tiba-tiba.
Baik Kinanti maupun Embun sempat melongo dan berpandangan. Seketika itu Embun menghambur ke arah ibunya.
“Ah, Ibuu,” serunya malu. Embun menyembunyikan wajahnya di pangkuan Ibu.
“Siapa, Bu? Kok aku ketinggalan info, ya?” tanya Kinanti mengerling genit.
“Nggak usah cerita ke Mbak Kinan, Bu. Plis, Bu,” rengek Embun.
“Kenapa nggak boleh? Bu, cerita, Bu.” Kinanti mendesak ibunya.
“Jangan, Bu. Jangaaan!” Embun makin erat memeluk Ibu.
Ibu tertawa melihat kepanikan Embun.
“Bu, ayo, Bu. Ceritakan sama Kinan, Bu.”
Ibu terhuyung ke kanan dan ke kiri ditarik kedua putrinya. Ibu tertawa lepas. Jarang-jarang Ibu bisa tertawa sebebas ini. Mereka bertiga akhirnya saling berpelukan dan mendapat kecupan hangat satu per satu dari ibu mereka. Kebersamaan mereka sore itu terhenti setelah bel pintu berdering nyaring.
Ibu beranjak dari kamar Kinanti, lalu bergegas ke pintu depan. Dari balik pintu ternyata ada Bu Suci dengan rantang di tangannya.
“Oh, Bu Suci, mari-mari silakan masuk,” ajak Ibu dengan ramah.
“Terima kasih, Bu. Cuma mau mengembalikan rantang. Tadi Rany coba-coba masak opor. Dicicip, ya, Bu. Kalau tak seenak buatan Ibu, dimaklumi. Rany masih belajar. Sedang mempersiapkan diri sebagai calon istri, Bu,” paparnya panjang lebar.
“Alhamdulillah. Selamat, ya, Bu. Kapan acaranya?” tanya Ibu antusias.
“Maunya saya akhir tahun ini, tapi Rany bilang terlalu mepet persiapannya. Katanya takut nggak maksimal.”
Ibu menimpali dengan anggukan mendengarkan cerita tetangganya itu.
“Orang mana calon Rany, Bu?” tanya Ibu hati-hati.