Pernikahan Bunga
Sebulan setelah ayah dan ibu Bhanu bertandang ke rumah Bu Hayati, keluarga besar Bhanu datang kembali dengan membawa seserahan dan dilanjutkan ijab kabul esok harinya. Siangnya adalah acara resepsi lengkap dengan Pedang Pora-nya.
Persiapan pernikahan Bunga yang hanya sebulan ini terbilang lancar. Bhanu memilih menggunakan jasa WO karena tidak ingin merepotkan keluarga. Menurutnya, sekarang inilah waktunya menjamu keluarga. Terutama Ibu. Ibu sudah sepuh untuk terlalu lelah mengurus tetek bengek keperluan pesta.
Bhanu mencium tangan Ibu begitu lama, mengharap doa restu wanita yang kini juga menjadi ibunya. Ibu tak sanggup lagi menahan dorongan air matanya. Ibu menitipkan Bunga pada Bhanu untuk menjaga dan melindungi, serta membimbingnya hingga kelak sesurga dengannya.
Bunga pun memeluk erat ibunya. Ibu menatap dengan mata berkaca-kaca. Tiba-tiba hatinya begitu rindu pada Bunga. Sudah seminggu Bunga tinggal di Merauke mengikuti tugas suaminya. Belum genap sebulan mereka tinggal di Bandung, Bhanu harus berpindah ke Merauke.
Jarak yang demikian jauh, seringkali menyisakan gelombang rindu.
[Mbak? Lagi apa?]
[Baru pulang kunjungan ke daerah, Bu. Baru nyampai rumah. Bunga masuk rumah dan beres-beres dulu, ya, Bu. Nanti Bunga telpon balik]
Ibu menatap kosong ponselnya. Ia masih rindu dengan anak sulungnya itu. Ingin bercerita banyak tentang pesta pernikahan Rany atau wisuda Kinanti besok pagi.
Hingga malam Ibu menunggu telepon Bunga sampai-sampai tertidur di sofa depan TV.
“Kalau mbakmu telpon, bangunkan Ibu, ya, Mbun.”
Embun hanya bergeming. Dalam hatinya dia kesal dengan kakak sulungnya itu. Gemerutuk giginya ditahan sampai keluar dari kamar Ibu. Air muka Embun menunjukkan kemarahan.
[Mbak!]
[Salam dulu, dong, Dek. Kebiasaan!]
[Mbak tu tega ya PHP-in Ibu]
[Maksud kamu apa?]
[Mbak janji apa sama Ibu?]
[Emm, apa, ya?]
[Jangan sok lupa, deh, Mbak. Kasihan Ibu loh, Mbak. Nungguin Mbak dari tadi]