Giliran Kinanti
Dalam kamarnya, Kinanti memandangi surat panggilan kerja yang baru saja diterimanya. Antara senang sekaligus sedih, Kinanti kembali membacanya berulang-ulang. Masih jelas terbaca Surabaya di sana. Dalam hati dia berharap huruf-huruf itu mengatur diri membentuk sebuah kata Cilacap.
Kinanti mondar-mandir di depan cermin memikirkan bagaimana caranya menyampaikan berita ini kepada Ibu. Ibu mungkin tidak keberatan kalau akhirnya Kinanti menerima pekerjaan itu, Ibu juga tidak akan menyuruhnya untuk menolak dan mencari pekerjaan lain yang lebih dekat.
Dari dua surat lamaran yang dikirimkan, hanya perusahaan farmasi ini yang memberinya balasan untuk mengikuti tes wawancara. Kertas itu dipukul-pukulkan ke tangannya. Kinanti benar-benar bingung. Otak encernya kali ini seakan beku, tak mampu memberinya solusi. Ambil atau tolak bergaung di kedua telinganya. Hingga menariknya ke dalam pusara masa lalu, mengurai kejadian yang membuatnya mengalami kebimbangan seperti saat ini.
Setelah Bunga menikah dan harus mengikuti tugas Bhanu, terlalu berat bagi Ibu jika kemudian Kinanti pun harus meninggalkan ibunya.
Kinanti mengeluh panjang. Terlalu cepatkah ini?
“Mbak! Woi! Bengong aja!” pekik Embun mengagetkan dirinya.
Kinanti terkesiap, kembali ke masa kini, mendapati Embun sudah berada di kamarnya entah sejak kapan.
“Kamu, Dek! Bikin kaget aja. Ketuk pintu dulu bisa, ‘kan?” ucapnya sewot.
“Sudah, Mbak. Mbak Kinan aja yang nggak dengar,” belanya.
Kinanti mendengkus, lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur.
“Surat apa itu?” tanya Embun penasaran.
“Panggilan kerja.”
“Oh, ya?” Mata Embun mengerjap bahagia. “Di mana, Mbak?”
Kinanti tidak langsung menjawab. Pada helaan napas berikutnya, baru dia menjawab lirih.
“Surabaya.”