Surabaya
Pagelaran Batik
Masih ada 30 menit sebelum Dinar menjemput Kinanti. Rencananya mereka akan menghadiri peragaan busana batik di Grand Puri Hotel. Dinar–sahabat baru Kinanti–adalah penggila batik dan memiliki selera yang tinggi tentang batik. Bahkan, Dinar kerap mengoleksi batik dari beberapa daerah di Nusantara.
Kalau bukan karena rayuan mautnya, Kinanti malas menghadiri acara semacam ini. Apalagi pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya, seolah tak ada habisnya. Satu map keluar, menyusul map-map berikutnya yang harus kuperiksa sebelum disetujui pimpinan.
“Kinan, belum pulang?” Tiba-tiba Wirandi, kepala bagian keuangan, bertanya.
Kinanti melirik arlojinya. Ah, iya. Sudah pukul empat kurang. Gadis lincah itu pun bergegas merapikan map-map yang belum selesai diperiksa. Setelah mematikan laptop, dia pun bangkit dari duduk.
“Eh, mau ke mana?” tanya Wirandi lagi.
“Pak, saya izin pulang duluan,” pamit dengan sopan.
“Kinan, kamu mau ke mana?” cecar Wirandi.
“Nonton, Pak.” Kinanti menjawab sambil berlalu, tanpa menoleh lagi.
“Nonton apa sore-sore?”
Kepala bagian keuangan ini terkenal nyinyir. Setiap bertanya satu pertanyaan tidak bisa selesai saat itu juga. Wirandi akan mengejar dengan bertanya hal lain hingga tandas.
Kinanti menuju lobi kantor dan duduk di ruang tunggu. Seharusnya sebelum pukul empat, Dinar sudah sampai di sini. Atau barangkali ada kesibukan lain yang mendadak.
Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Kinanti. Dinas mengirimnya pesan dan meminta Kinanti menuju parkiran. Benar saja, wanita berkulit putih itu di belakang kemudi menanti Kinanti.
“Maaf, ya, lama,” ucapnya, “mendadak Bos memintaku menyiapkan ruang rapat direksi.”
Kinanti mengukir senyum manis di bibirnya. “Nggak lama. Belum terlambat, ‘kan?”
“Dalam undangan jam empat, sih. Tapi kita masih boleh masuk, kok.”
Kinanti dan Dinar sudah sampai di parkiran Grand Puri Hotel. Hotel bintang lima yang ballroom-nya menjadi tempat acara berlangsung. Langkah kedua wanita dewasa itu cepat dan lincah.
“Din, aku ke toilet dulu, ya.”
“Oke. Nanti langsung masuk aja ke Ballroom Cempaka, aku duduk dekat pintu. Aku tunggu di sana.”
Kinanti mengangguk dan bergegas menuju toilet di koridor kanan. Saking buru-buru, kakinya terpeleset. Tubuh kurusnya nyaris jatuh tepat di depan toilet jika tidak ada sepasang tangan refleks menangkapnya.
“Aww ....”
Kinanti terperanjat menyadari tubuhnya ada yang menahan. Satu hal yang semestinya disyukuri sehingga dia tak jatuh ke lantai. Mata Kinanti sekaligus terpana karena pemilik tangan kekar itu bermata sangat indah. Sorotnya tajam juga menghangatkan. Sekujur tubuhnya memanas sampai ke pipi. Barangkali kini pipinya bersemu merah. Kinanti seperti terhipnotis.
“Ka-kamu nggak apa-apa?” ucapnya lembut beberapa saat setelah saling menatap.
“Eh, maaf. Emm, terima kasih.”
“Lain kali hati-hati, mungkin lantai masih lembab. Untung kamu nggak jatuh tadi.”
“Iya, terima kasih.”
Kinanti berlalu masuk ke toilet. Rasa ingin membuang air seninya mendadak hilang setelah tatapan mata itu. Selain itu, Kinanti buru-buru masuk toilet karena ingin menyembunyikan pipinya yang kemerahan menahan malu. Apakah ini rasa malu atau kagum? Entahlah.
Kaki jenjang Kinanti menyusuri lorong tempat acara peragaan busana itu digelar. Sesuai rencana awal, aku menyusul Dinar ke dalam ballroom cempaka. Pelan-pelan aku masuk, mataku menyapu sekeliling ballroom sambil mencari-cari kedudukan Dinar.
Lambaian tangan seseorang yang berkemeja putih memberiku jawaban tentang keberadaan seorang Dinar. Kinanti membalas lambaiannya sambil menyongsongnya.
“Dinar, maaf lama, ya,?” kata Kinanti merasa bersalah.
“Emang kamu dari mana tadi?” tanya Dinar.
“Din, tadi ada laki-laki baik banget nolongin aku,” bisik Kinanti malu-malu.
“Nolongin? Emang kamu kenapa tadi? Jatuh?” Pertanyaan Dinar beruntun.
Kinanti hanya mengangguk, lalu menceritakan dengan detail kejadian yang dialaminya barusan.
“Kok wajah kamu kayak orang jatuh cinta gitu, sih?” goda Dinar.
“Hah?” Serta merta Kinanti menutup wajahnya sendiri.
“Gak usah sok imut gitu, deh. Gak cocok tahu! Lagian, pria macam apa, sih, yang bisa buat kamu kayak gini.”
“Ya ...” Kinanti membuat jeda, “kalau kamu tahu juga meleleh.”
Dinar mengibaskan tangannya. Mata perempuan cantik itu terarah ke panggung, menyaksikan penampilan sebuah band. Beberapa saat seorang vocalis muncul dari panggung sebelah kiri.
“Kin! Priamu itu apa seganteng dia?” Dinar menunjuk seorang vocalis yang sedang berjalan menuju tengah panggung.
Dari arah kursi Kinanti dan Dinar, wajah pria itu jelas terlihat tanpa penghalang. Kali ini, untuk kedua kalinya, mata Kinanti berhenti mengerjap. Matanya kini membulat bersamaan dengan mulutnya yang juga menganga.
“Kin! Kamu kenapa?” tanya Dinar.
Suara Dinar tersabur bersama merdunya suara pria yang tadi menjadi dewa penolongnya. Ternyata dia seorang penyanyi.
“Kinanti!” Panggilan Dinar, entah untuk yang keberapa kali, mampu menarik dirinya kembali ke alam nyata.
“Din ....”
“Ih, kamu kenapa, sih?”
“Laki-laki itu ...,” bisik Kinanti.
“Iya, kenapa dia? Mau aku kenalin?” tanya Dinar.
“Kamu kenal?” Kinanti sangat antusias.
“Namanya Daniswara Haribawa. Nama panggungnya Daniswara.”
“Hebat kamu, Din,” puji Kinanti.
“Hebat apanya?”
“Bisa kenal penyanyi tenar, Daniswara.”
Kinanti tersenyum sambil pandangannya tak lepas dari sosok ganteng yang sedang unjuk kebolehannya di atas panggung.
“Hebat itu ... kalau bisa mendapatkan hati Danis, Kinanti ....”
Sepertinya Kinanti tidak mendengar ucapan Dinar barusan. Terkalahkan oleh musik yang menggema memenuhi setiap jengkal ballroom cempaka, ditambah dengan aksi panggungnya yang memukau.
Pemilik wajah rupawan itu berjalan perlahan ke sisi kanan panggung, terus melangkah hingga tepat berada di hadapan Kinanti. Rona kebahagiaan bercampur salah tingkah mendadak menguasai dirinya beberapa detik.
Danis berdiri di atas panggung menghadap dirinya, ya, Kinanti merasa pria itu sedang menatapnya. Mengajaknya bicara melalui lirik lagu yang sedang dinyanyikannya. Sementara itu, sorot matanya sukses membuat Kinanti kehilangan pasokan oksigen sesaat.
Jarak kursi dan panggung pagelaran yang tidak lebih dari dua meter, menjadi jarak yang teramat intim untuk hatinya saat ini. Baru kali ini Kinanti terhipnotis sebentuk pesona kaum Adam. Danis tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, dilanjutkan gerakannya bersimpuh di pinggiran panggung pagelaran. Kinanti terkesiap. Tidak ingin malu karena ke-pede-an, Kinanti menoleh ke kanan dan kiri. Dinar menyikut lengan Kinanti yang tak kunjung berdiri.
“Kamu ...,” bisik Dinar, “berdiri cepat!”
Kinanti kebingungan. Namun, perlahan dia beranjak berdiri menghampiri Danis yang masih bersimpuh. Kinanti mengulurkan tangannya. Danis menggenggam lembut tangan itu sambil melanjutkan lirik indah dari lagu Cinta Kita.
Cintai diriku seperti aku mencintaimu sepenuh jiwaku jangan pernah ada tersimpan prasangka
Di pelukmu kusandarkan seluruh hidupku dan tak kan terbagi percayalah cintaku hanya untukmu
Kinanti seperti dibawa terbang entah ke langit mana. Tubuhnya seketika memanas hingga ke pipinya. Di penghujung lagu, kecupan lembut mendarat mulus di tangan kanan Kinanti. Sontak tepuk tangan bergemuruh memenuhi ballroom.
Siapa pun akan melihat dengan jelas tatapan dan kecupan itu mampu mengalihkan Kinanti dari dunia nyata barang sesaat. Setelah genggaman itu lepas, Kinanti tersadar, lalu Danis mengucapkan terima kasih sebelum kembali ke tengah panggung.
Kini parade pagelaran batik nusantara seakan tak menarik lagi. Otak Kinanti belum bisa move on segera. Kinanti masih mengingat sorot mata dan ... kecupan di tangannya. Ah, seumur-umur Kinanti belum pernah merasakan romantisme ini, bahkan dari pria yang sudah bertahun-tahun di sampingnya.
Di akhir pagelaran, seorang pria kurus berbalut batik cokelat berjalan di antara para peragawati menuju tengah panggung. Setelah menerima buket bunga, dia pun kembali berjalan masuk meninggalkan panggung.
Dinar mengajak Kinanti melihat dari dekat pameran batik di hall yang lain. Dinar pengagum dan kolektor batik yang lumayan. Dia kini sedang berbincang dengan pria kurus tadi. Dia perancang busana yang dikenakan pada peragaan busana tadi.
“Boleh kenalan?” tanya seseorang tiba-tiba.
Kinanti menoleh ke kiri kanan, tetapi tak ada seorang pun selain dirinya. Kinanti mendongak, di hadapannya berdiri sang designer mengulurkan tangannya. Kinanti masih belum percaya pria ini tiba-tiba berada di depannya dan mengajaknya berkenalan. Padahal, beberapa saat sebelumnya Dinar masih berbincang dengannya.
“Kok bengong? Boleh nggak?”
Kinanti menjawab gugup. “Em, eh boleh. Kinanti.”
“Adyaksa.”
“Mas designer peragaan tadi, ‘kan?” tebakku mencairkan suasana.
“Benar. Gimana, ada yang kamu suka?”
Kinanti menceritakan beberapa baju yang tertangkap mata dan masih diingatnya. Selebihnya Kinanti lupa atau tepatnya tidak tahu. Tadi, dia sedang terkesima dengan penampilan Danis.
“Aku boleh minta nomor telpon kamu?” pinta Adyaksa.
“Buat apa?” tanya Kinanti mencoba menggoda pria di depannya dengan balik bertanya.
“Buat apa, ya?” Kening pria itu berkerut mencoba berpikir.
Kinanti melempar senyum yang sedari tadi ditahannya. Mereka berdua terlibat obrolan yang hangat dan seru. Sayangnya waktu harus mengakhiri pertemuan mereka.
Kinanti dan Dinar pun meninggalkan hotel. Mereka tak menyadari sepasang mata sedang mengamati hingga mobil Dinar meninggalkan area parkir hotel.
***
Pemilik Mata Indah
Sepasang mata indah itu sedang menatap kosong langit-langit kamar. Tak seperti biasanya, selesai urusan pekerjaan, dia justru memilih pulang dan berdiam diri di kamarnya, terlentang menatap bagian tertinggi di kamarnya seperti sekarang. Usai manggung kali ini seperti ada yang berbeda dari dirinya.
Helaan napas kembali terdengar lirih. Matanya mengerjap berulang kali. Sepertinya dia sedang menahan sesuatu dari matanya untuk tidak keluar. Namun, kelajuannya tak lagi mampu ditahan. Air matanya mengalir melintasi pipinya. Makin lama makin deras. Tubuhnya kemudian meringkuk memeluk kakinya sendiri. Isakannya tersamar dering ringtone dari ponsel yang dibiarkannya sedari tadi.
Bisa dipastikan, hanya tubuhnya yang berada di atas kasur, selebihnya jiwanya terbang ke masa entah berapa puluh tahun ke belakang. Kepingan masa yang barangkali sudah pernah dikuburnya, tetapi muncul kembali tanpa mampu dia halau.
Pemilik mata indah itu terisak lirih.
***
“Kalau begini terus, mendingan aku yang pergi. Aku sudah muak dengan semua tingkahmu!”
“Kamu nggak akan bisa ke mana-mana. Kamu punya tanggung jawab! Kamu punya Hari!”
“Oh, ya? Jadi Hari tanggung jawabku? Baik, baiklah. Aku bawa Hari. Biar kamu bebas dan lebih leluasa dengan semua selingkuhanmu!”
“Jaga mulut kamu! Dia bukan selingkuhanku. Aku bahkan tidak pernah menyentuh mereka!”
“Hah?! Kamu pulang dalam keadaan mabuk, dan diantar perempuan yang berbeda hampir setiap malam. Entengnya kamu bilang bukan selingkuhan? Beri tahu aku sebutan yang pantas untuk mereka!”
Pria itu mengepal kedua tangannya dan bersiap memuntahkan seluruh amarahnya. Rahangnya mengeras, raut mukanya memerah dengan sorot mata kemarahan. Pria itu mendengkus.
“Paling tidak mereka mau mendengarku bercerita.”
Di luar dugaan, tiba-tiba pria itu melunak, nada bicaranya merendah. Kepalan tangannya melonggar, walaupun sorot matanya berhasil menubruk sorot mata wanita yang berdiri tegang di depannya. Sejurus kemudian, tubuh yang kaku itu lunglai, terduduk bersimpuh di hadapan sang wanita.
“Aku ... memang pria brengsek. Tak berpenghasilan sebesar dirimu. Aku juga suami yang gagal. Gagal membahagiakan istri seperti janjiku dulu. Tapi aku tak pernah mengkhianati perkawinan kita. Tidak pernah terlintas sedikit pun. Aku masih waras. Aku milik kamu dan Hari, anak kita.”
Wanita yang sudah siap pergi dengan membawa semua koper masih bergeming. Tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar pelan beriringan dengan tangisan lirih. Sepertinya dia tersentuh dan mulai goyah. Wanita itu meraih kepala si pria, mengecup puncak kepalanya dan menangis berdua. Dua jiwa yang larut dalam sebuah emosi, penyesalan panjang yang membawa mereka berpikir ulang untuk saling menjauh, terlebih lagi saling menyakiti. Barangkali kata maaf yang terucap, lalu berjanji tidak terulang lagi, juga berjanji untuk saling percaya dan menghargai, bukan kali ini saja terucap. Bahkan teramat sering terjadi, kemudian berulang lagi.
Demikian pula halnya peristiwa malam itu adalah kepingan masa lalunya yang terekam dengan sangat baik oleh Daniswara Haribawa.
Melihat ibunya akhirnya harus terus mengalah untuk tetap bertahan tinggal bersama suami dan anaknya. Hari kecil kerap melihat ibunya menangis seorang diri, tanpa tahu penyebab pastinya. Dia juga setiap saat harus melihat adegan itu, adegan yang selalu berhasil menahan ibunya tetap tinggal bersamanya.
Brak!
Setelah suara daun pintu yang dibuka paksa beberapa menit lalu, tidak ada lagi suara. Lengang. Hening. Bahkan suara embusan napas pun tak terdengar lagi. Sejam, sehari hingga bertahun, barulah pria kecil itu menyadari sudah terjadi perpisahan. Setiap saat pula Hari menanyakan ibunya.
“Ibu mana, Yah?”
Bahkan, pertanyaan sesimpel itu pun tak pernah mendapat jawaban yang pasti. Ayahnya terus berusaha berkelit, menutupi kenyataan sesungguhnya. Hingga waktu yang menurutnya tepat untuk diungkapkan.
“Sekarang Ibu di mana?”
Remaja yang sedang berangkat dewasa itu masih terus bertanya. Namun Hari hanya melihat gelengan di kepala pria yang dipanggilnya ayah. Miris jika melihat pria itu bisa bertahan hidup tanpa wanita yang dikasihinya.
***
Mata Hari menatap nanar sebuah foto. Senyum itu. Senyum itu membangkitkan ingatan tentangnya. Senyuman itu mampu mencuri cuplikan masa lalunya. Dan itu sangat tidak mengenakkan.
Kembali terdengar dering telepon yang sejak tadi dia abaikan. Tangannya meraba kasur mencari benda pipih yang sejak tadi berisik. Dia menggeram pelan, kesal dengan kecerobohannya sendiri mematikan ponselnya.
[Danisss, akhirnya bisa juga kau angkat telponku]
[Bang Arya, ma-maaf, Bang. Ada apa, Bang?]