Masakan terenak
Semalaman Kinanti dan Danis menghabiskan waktu dengan ponsel mereka. Entah kapan tepatnya mereka berdua berpindah ke alam mimpi, saling melepas ponsel untuk terlelap di bilik mereka masing-masing.
Danis
Pagi, cantik. Selamat beraktivitas ya. Jaga makan.
Ah, hampir setiap hari Danis selalu memberi perhatian kepada Kinanti, meskipun hal-hal sepele. Kinanti bahkan merasa aneh jika Danis tidak memberinya pesan sebelum berangkat kerja.
Kedekatan mereka mungkin terasa kilat. Namun, makin hari mereka semakin dekat saja. Sulit terpisahkan. Ada saja kebersamaan yang bisa mereka lakukan berdua. Nonton, bersepeda, belanja, bahkan memasak! Ya, Kinanti mewarisi bakat Ibu memasak. Dibandingkan kedua saudara kandungnya, Ibu lebih mempercayai Kinanti menjadi asisten kala di dapur. Hal ini pula yang paling disukai Danis.
“Masakan kamu nggak ada lawan!” puji Danis suatu waktu.
“Kamu suka?”
“Iya, aku suka kamu.” Danis berucap serius.
“Aah, bukan itu. Masakanku,” ucapku merajuk.
“Masakannya saja aku suka apalagi orangnya,” seloroh Danis.
“Gombal!” Tangan Kinanti menepak lengan Danis.
“Aww!” Danis berhasil menangkap tangan Kinanti. Dia lalu menggenggamnya erat dan berucap, “Jangan pernah pergi dariku.”
Sorot mata indah itu kini menatap Kinanti dalam-dalam dan lama. Sorot mata itu menerjang sorot mata Kinanti yang tak lagi berkutik. Tubuhnya menegang.
“Plis, janjilah padaku,” ucap Danis.
Kinanti menunduk pelan beberapa saat sebelum sebuah jari menyentuh dagunya. Senyum itu kembali terkembang dan membuatnya lemah.
“A-aku janji.” Kinanti terbata.
Tak ingin kehilangan momen terbaiknya, Danis mengikis jarak di antara keduanya. Mereka berpelukan. Sebelumnya Kinanti tak pernah melihat ada air mata di sudut mata Danis.
Kinanti masih tersenyum memandangi ponselnya. Memandangi sebuah wajah dengan senyum yang serupa magnet. Setiap hari ada saja foto yang mereka berdua abadikan.
Siang ini Kinanti berencana memasak untuk Danis. Makan siang terakhir karena esok sudah Ramadan. Tak terasa sudah hampir setahun Kinanti berpisah dari Ibu dan Embun. Menghabiskan puasa Ramadan sendirian di rantau. Ini adalah Ramadan Kinanti yang pertama tanpa masakan Ibu.
Sepuluh menit sebelum waktu makan siang, Kinanti sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tak ada alasan menundanya, karena lebih cepat sampai ke apartemen Danis akan lebih cepat dia memasak di sana.
Kinanti terlihat buru-buru meninggalkan kantor. Dia tidak melihat Bima yang mengintainya dari balik jendela ruangannya. Gurat sedih seperti tergambar di wajahnya. Padahal, baru saja Bima selesai menulis pesan untuk Kinanti. Mengajaknya makan siang di kafe baru di selatan Semarang.
Sepertinya Bima terlambat. Kinanti sudah masuk mobil dan meninggalkan area parkir beberapa detik setelah pesan selesai ditulis. Kinanti tidak akan membuka pesan itu sampai kembali ke kantor.
Dering pesan masuk terdengar. Namun, seperti biasanya, Kinanti mengabaikannya sampai di posisi aman untuk membuka ponselnya. Beberapa menit lagi dia akan sampai ke apartemen Danis.
Dengan beberapa kantung plastik, Kinanti menyusuri lorong menuju kediaman Danis. Tangannya merogoh tas mencari kunci yang dititipkan Danis padanya. Beberapa kali mencari hingga dia tak sadar menjatuhkan kantung belanjanya hingga isinya bertaburan.
Seseorang pria berkulit putih dengan sigap membantunya memunguti benda-benda yang terserak. Kinanti tampak malu melihat barang belanjanya berserakan.
“Hati-hati,” ucap pemuda itu.
Kinanti mengernyitkan keningnya. Wajah pria itu seperti pernah dikenalnya.
“Kamu tinggal di sini?” tanyanya mengejutkan.
Kinanti tergugah, barusan dia mencoba untuk mengingat, tetapi gagal.
“Eh, em … nggak cuma mampir.”
Pria itu mengangguk, lalu pamit untuk pergi. Sementara kunci apartemen Danis sudah di tangannya. Bergegas Kinanti masuk. Sebelum menuju pantry, Kinanti melewati kamar Danis yang terbuka. Kepalanya menggeleng melihat betapa berantakannya ruang tidur pria tampan itu.
Kinanti cekatan menyiapkan semua bahan masakannya siang ini. Sesuai rencana, sebelum Danis pulang dari luar kota, hidangan sudah tersaji.
Empat puluh lima menit waktu yang lebih dari cukup menyiapkan opor ayam dan sambal kering tempe favorit Danis. Semua masakan sudah terhidang. Masih ada waktu untuk membereskan kamar Danis yang seperti baru saja terjadi gempa.
Membereskan sprei dan selimut, menata bantal, dan guling hingga alas Kasur itu kembali rapi. Mengumpulkan baju-baju yang terserak di lantai dan gantungan baju, lalu membawanya ke belakang. Kinanti juga memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai lalu menatanya di meja kerja Danis.
Sempurna. Tak perlu waktu lama baginya melakukan pekerjaan perempuan ini. Ya, sepertinya Danis memang membutuhkan wanita agar hidupnya lebih teratur. Hunian ini sudah waktunya mendapatkan sentuhan seorang wanita.
Krek.
Pintu terbuka. Suara Danis mengucap salam tak mendapat jawaban. Pelan kaki Danis memasuki rumahnya. Matanya menangkap pintu kamar yang terbuka lebar, mata Danis membulat tak percaya melihat kamarnya dalam keadaan rapi. Kakinya terus ke belakang mencari sumber suara yang telah mengaburkan panggilannya tadi.Tampak Kinnati sedang berdiri di depan mesin cuci. Memasukkan beberapa lembar pakaian Danis. Danis menghampirinya tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun.
Semakin dekat, Danis memeluk Kinanti dari belakang. Sudah pasti pekikan wanita itu terjadi. Dia terkejut dan membalikkan tubuhnya.
“Jadi kamu yang melakukan semua ini?” tanya Danis lembut.
“Em, iya.” Kinnati belum bisa menata debaran di dadanya.
Wajah Danis menatap tajam. “Lancang! Kamu lancang masuk daerah pribadiku!”
Kinanti menegang. Dia baru menyadari sudah berbuat kesalahan. Seharusnya dia meminta izin lebih dulu sebelum masuk ke kamarnya.
“A-aku pikir … pintunya terbuka, jadi aku boleh masuk. Ma-maaf.” Kinanti gugup.
“Itu karena aku lupa menguncinya tadi.”
Danis masih menatapnya tajam. Dia pun tak mengendurkan pelukannya. Terlihat rahang Danis mengeras. Sepertinya ….
“Tapi aku suka.”