Zafar Fahiri. Ku tulis nama itu di atas kertas putih buku catatan Fisika. Alih-alih menyimak penjelasan bu guru, pikiranku justru melayang ke arah sosok pemilik nama yang diciptakan oleh Allah dengan menakjubkan. Keturunan Adam yang satu ini telah mengubah hari-hariku menjadi berwarna merah jambu dengan penuh bunga yang bermekaran. Membuatku sering tersenyum sendiri ketika bangun dari tidur, ketika sedang mandi, sedang makan, bahkan membuatku mencoba untuk memakai pemerah bibir untuk pertama kalinya. Membuatku pusing memilih mana kerudung yang paling bagus yang harus kugunakan untuk berangkat ke sekolah, membuat nafsuku berkurang karena aku mulai memerhatikan berat badanku, membuatku selalu dag-dig-dug ketika melewati lapangan basket dan ruang penyiaran di gedung sekolah. Ya! Anak baru yang datang tiga hari yang lalu itu berhasil mengubah drastis pola hidupku.
"ZALFA ZAFIRA!!"
Suara bu guru memotong secara paksa khayalan-khayalan indahku. Aku terkejut bukan main.
"I-iya, bu."
"Apa saya harus pindah ke dunia imajinasimu agar kamu bisa fokus dengan ucapan saya?"
Sontak seisi ruangan menertawakanku. Aku melipat wajahku menahan malu.
"Maaf, Bu. Maaf."
"Maafmu sedang dalam perjalanan dan akan saya terima jika kamu selesai mengerjakan tugas tambahan dari saya."
"Tugas tambahan??"
Aku kaget. Perasaan, kesalahanku tidak terlalu fatal tapi kenapa harus mendapat hukuman seperti ini?
"Iya. Ibu mau kamu meresensi sebuah buku yang berkaitan dengan materi hari ini. Deadlinennya nanti malam jam 00. Kamu harus sudah kirimkan ke email saya. Mengerti?"
"T-tapi, Bu_?"
"Karena kamu ingin menawar, buku yang kamu resensi harus ada di meja saya besok pagi, sebelum saya tiba di kantor. Mengerti Zalfa Zafira?"
Aku pasrah. Benar-benar sial hari ini. Padahal kalau ditanya tentang materi yang baru saja dijelaskan, aku pasti jawab dengan sempurna tanpa melewatkan satu pun darinya. Aku memutar otak bagaimana mencari buku yang harus ku resensi malam ini? Terpaksa, aku pun harus mengorbankan waktu istirahatku menuju perpustakaan demi mencari buku bahan resensi.
"Seriusan, lo nggak mau ke kantin? Lo laper, kan?" Ajak Zanan. Sahabatku.
"Nggak mood gue. Lo sendiri aja, nggak apa-apa, kan?"
"Oke, deh. Gue duluan, yah," pamitnya seraya pergi keluar kelas. Tak lama diikuti aku dengan langkah gontai meninggalkan kelas menuju ruang perpustakaan. Ruang yang paling jarang aku kunjungi. Huft!
Dua puluh lima menit aku menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Buku yang kuinginkan tidak kudapatkan. Entah aku yang tidak pawai dalam memilih buku, atau memang sejatinya buku itu tidak ada disini. Aku menyerah. Waktu istirahat tinggal lima menit lagi dan aku pun memutuskan untuk kembali ke kelas dengan tangan kosong. Perut juga. Rasa lapar rupanya mulai melilit lambungku.
Sesampainya di tempat duduk, aku mendapatkan thai tea matcha dan dimsum. Ini semua makanan dan minuman favoritku. Zanan tau saja kalau aku sedang kelaparan. Aku lantas melahap hidangan yang ada di hadapanku. Ketika sedang asyik mengunyah dimsum, tiba-tiba Zanan datang ke kelas.
"Thanks ya, Zanan gue yang paling baik. Tumben lo mau nraktir makanan buat gue. Sering-sering, yaa."
Suaraku hampir tidak terdengar karena mulutku yang penuh dengan makanan.
"Dih! Itu bukan dari gue."
Aku terkejut dan hampir mengeluarkan seisi makanan keluar mulut. Aku tersedak karena terkejut bukan main. Bukan dari Zanan? Lalu dari siapa?
"Nggak usah becanda, lo."
"Gue nggak becanda. Eh, ini post-it note dari siapa?"
Zanan menunjuk ke atas meja yang dari tadi tidak sempat terjangkau oleh pandanganku. Post-it berwarna biru itu tertempel di atas buku berjudul Cosmos dari Carl Sagan.
"Enjoy it. Bukunya nggak usah dibalikin! by Z."