“Ki, kalau kamu nggak bisa mengikuti apa yang berlaku di masyarakat (mainstream) maka kamu akan selalu tertinggal.”
Kata-kata itu kuterima dari beberapa teman dan kerabatku, saat aku tengah berada dalam kerisauan besar. Aku risau akan wajah dan sistem pendidikan Indonesia saat ini. Aku memiliki pengalaman panjang sebagai objek sistem pendidikan yang diskriminatif dan tak jujur. Sebagai anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, aksesku terhadap pendidikan sangat terbatas. Aku sering mendapat perlakuan tak adil hanya karena aku menunggak uang sekolah. Aku pun muak dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) yang penuh kecurangan. Aku merasa kecewa dengan sistem pendidikan yang tidak membebaskan.
Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berhenti sekolah di jenjang SMA, lalu menjelajahi sistem belajar yang paling cocok untukku. Kata-kata di atas tidak sedikit pun melemahkanku, justru menjadi motivasi utamaku untuk keluar dari arus pendidikan yang berlaku saat ini, terutama terkait cara menempuh pendidikanku selanjutnya. Ucapan tersebut malah membuatku benar-benar mencari cara agar keluar dari mainstream.
Saat itu sekolah formal masih dianggap menjadi satu-satunya model pendidikan yang paling dikenal dan diterima secara luas oleh setiap lapisan masyarakat, baik di Indonesia maupun dunia. Keberadaan sekolah dianggap sebagai kendaraan utama bagi seseorang untuk menempuh dan meraih pendidikannya, dari jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sampai sekolah menengah atas (SMA). Oleh karena itu, wajar jika mereka yang tidak bersekolah di sekolah formal atau putus sekolah akan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Mereka dianggap “calon” orang gagal, bibit “sampah masyarakat”, dan kandidat pemegang status “masa depan suram”.
Akan tetapi, sesungguhnya Indonesia mengenal tiga jenis sistem pendidikan, yaitu pendidikan formal (sekolah), pendidikan nonformal (pendidikan kesetaraan), dan pendidikan informal (lembaga kursus dan pelatihan). Mereka yang tidak dapat menempuh pendidikan di sekolah formal sebenarnya dapat mengambil cara alternatif berupa pendidikan kesetaraan. Perbedaannya cuma terletak di ijazah yang akan didapatkan. Mereka yang bersekolah akan menempuh UN, sedangkan mereka yang menempuh pendidikan kesetaraan akan menempuh UN Kesetaraan. UN Kesetaraan yang terdiri atas Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA) memang dikhususkan bagi mereka yang tidak bersekolah secara formal.
Mereka yang akan mengikuti UN Kesetaraan dapat menempuh pendidikan melalui homeschooling ataupun Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Baik homeschooling maupun PKBM, dua-duanya merupakan lembaga pendidikan yang diakui pemerintah, di luar pendidikan formal seperti sekolah.