Ada rumus umum di masyarakat: jika ingin mencetak anak yang pintar dan berprestasi, haruslah dimulai sejak anak berada di dalam kandungan. Seorang ibu harus rajin menjaga pola makan agar bayi yang dilahirkannya kelak akan memiliki otak yang pintar dan fisik yang kuat. Setelah sang bayi lahir, ibu akan memberikan ASI secara eksklusif dan berbagai makanan bergizi lainnya. Baik ayah maupun ibu harus berbagi tugas mengurus dan mengasuh sang buah hati agar ia mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup. Kemudian, orangtua berusaha memasukkan anak mereka ke sekolah dengan fasilitas terbaik dan kurikulum mutakhir. Dengan demikian, sang anak diharapkan kelak menjadi pintar dan berprestasi.
Apakah rumus itu adalah hal yang mutlak?
Aku dilahirkan pada 20 Oktober di Kota Medan, Sumatra Utara. Aku adalah anak tunggal dari Ayah yang merupakan warga keturunan Tionghoa, tetapi telah lama tinggal di Kota Medan. Mama yang terpaut usia lebih muda enam belas tahun dari Ayah merupakan orang Batak asli bermarga Hasibuan. Sejak lahir sampai berusia enam tahun aku berada dalam pengasuhan Opung Doli dan Opung Boru, ayah dan ibu Mama di Kota Medan, sebelum akhirnya kami pindah ke Jakarta.
Aku tidak merasakan pendidikan di bangku taman kanak-kanak seperti umumnya anak-anak lain. Masa kecilku dihabiskan dengan bermain, bermain, dan bermain. Aku mengeksplorasi dunia yang luas ini, sambil mencermati tingkah laku orang dewasa di sekitarku. Aku memang terbiasa bergaul dengan orang yang lebih tua dariku karenanya aku sering mengimitasi tingkah laku mereka, baik dalam berbicara, bersikap, maupun dalam menghadapi masalah.
Aku tidak dikenal sebagai anak manis. Saat itu umurku masih lima tahun. Suatu ketika aku sangat kesal dengan Opung Boru. Beliau terlalu cerewet dalam mengurusku. Saat itu beliau marah karena ulah nakalku. Bukannya takut, aku justru merasa emosi dan kesal bukan main. Kutendang pintu dapur yang terbuat dari kaca dengan kaki kanan, sampai pecah. Telapak kakiku langsung berlumuran darah. Banyak serpihan kaca menempel di telapak kakiku.
Opung Boru dan Opung Doli panik, lalu segera meraih dan mendudukkanku ke kursi. Beliau segera menyiapkan sebaskom air hangat dan kain lap untuk mengelap luka-luka yang terdapat di kakiku. Satu per satu serpihan kaca itu dikeluarkan oleh Opung Boru. Seolah-olah lupa dengan kemarahannya kepadaku sebelumnya, Opung Boru dengan sabar mengobati lukaku dan memberi perban.
Karakterku sewaktu kecil memang sangat keras dan sering memberontak. Aku tidak suka diatur dan tidak mudah menuruti perkataan orang dewasa. Aku benci dengan suruhan tanpa disertai alasan yang masuk akal. Jika tidak menyukainya, aku akan langsung memprotes dan melontarkan kritik. Aku bukan objek suruhan mereka. Meski masih kanak-kanak, aku tetap ingin didengarkan.
Mama sering bilang bahwa aku ini seperti anak yang hiperaktif. Macam cacing kepanasan, tubuhku tidak bisa diam dan selalu bergerak ke sana kemari. Sudah banyak piring, gelas, dan perabot rumah tangga yang pecah karena ulahku, entah itu di rumah atau tempat-tempat lain yang kukunjungi bersama Mama atau Opung.
Keisenganku sering tergolong membahayakan. Aku suka memainkan obeng ke dalam colokan listrik di rumah. Setiap kali memasukkan obeng ke dalam colokan tersebut, akan ada cahaya biru yang keluar. Aku juga suka memainkan antena televisi. Bentuknya, yang menarik bagiku, membuatku senang memegang benda tersebut. Sekali waktu aku memegang antena televisi dengan tangan telanjang, dan bisa diduga aku kesetrum sampai terguling-guling di lantai. Telapak tanganku melepuh dan mengalami luka bakar. Opung Doli yang melihatku terlentang di lantai segera meraih dan menggendongku ke kamar. Beliau langsung mengoleskan pasta gigi pada luka-luka di kedua telapak tanganku.
Aku juga pernah mengalami kecelakaan yang membuat tulang di pergelangan kaki kiri patah dan jari-jari di kaki kiri retak semua. Ketika itu aku dan kedua opungku pergi ke sebuah undangan pesta pernikahan. Ketika Opung dan anggota keluarga lainnya sedang asyik menikmati hidangan makan, tanpa sepengetahuan Opung, aku menyelinap kabur di tengah kerumunan dan berjalan menuju luar gedung. Kutelusuri area gedung tersebut sendirian. Sambil terus berjalan, tak kusadari aku tengah melintasi jalan raya yang dipenuhi kendaraan bermotor berlalu-lalang.
Kejadiannya cepat sekali. Dari arah kanan tiba-tiba ada sebuah vespa melaju ke arahku dengan kecepatan cukup tinggi. Vespa tersebut langsung menabrak tubuhku. Seketika badanku terguling-guling di jalan raya. Kepala dan beberapa bagian wajahku berdarah. Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di kepalaku. Saking sakitnya, aku tak mampu lagi menangis dan berteriak meminta pertolongan. Sekujur tubuhku terasa sangat sakit, terutama di bagian kaki kiri. Dalam ingatanku, saat itu banyak orang mengerumuni sambil menyaksikanku terlentang tak berdaya di tengah jalan raya. Tubuh kecilku segera dipindahkan ke pinggir jalan.
Aku pun segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter mengatakan aku mengalami patah tulang di kaki kiri dan besar kemungkinan harus dilakukan tindakan operasi. Namun, saat itu pihak keluargaku belum bisa memberikan keputusan. Opung Boru merasa harus menghubungi Mama terlebih dahulu untuk meminta persetujuannya. Ketika itu Mama sudah berada di Jakarta. Aku pun dibawa pulang ke rumah. Sampai di rumah, Opung Boru menelepon Mama.
“Kiki kenapa bisa ketabrak, Nak? Sakit, ya, kakinya? Tunggu Mama, ya, Mama akan pulang secepatnya. Kiki harus nurut sama Opung, ya, Nak ....” Kurasakan kecemasan dalam nada bicara Mama. Sambil mengangguk di telepon, aku iyakan seluruh nasihat Mama dan memintanya segera pulang serta membawakan oleh-oleh buatku.
Esoknya Opung Boru kembali membawaku ke rumah sakit yang berbeda untuk melakukan pemeriksaan. Opung yang saat itu berprofesi sebagai perawat mengharapkan opini berbeda terhadap perawatan medis yang harus kujalani. Opung Boru berharap agar ada cara selain operasi untuk menyembuhkan patah di kakiku. Syukurlah, setelah dilakukan pengecekan di rumah sakit tersebut, menurut dokter aku tidak perlu dioperasi. Sebagai gantinya, kakiku harus dibungkus gips.
“Tulang anak Ibu masih terlalu muda untuk dioperasi,” ujar dokter.
Lagi pula, katanya, tulangku juga masih dalam fase pertumbuhan sehingga bisa pulih dengan sendirinya. Tiga bulan lamanya kaki kiriku digips, dan selama itu pula aku tidak dapat berjalan. Jika ingin berpindah tempat, aku harus merangkak.
Kejadian itu tetap ada hikmahnya, sih. Dengan kondisiku, untuk sementara kedua opungku tak perlu lagi terlalu khawatir dan pusing menjagaku. Sebab, jelas aku tidak bisa terlalu aktif menggerakkan tubuh seperti sebelumnya.
Menurut Opung, aku memang sangat susah diawasi dan diatur. Badanku yang kecil dan kurus membuatku sangat mudah berlari dan bergerak kian kemari. Aku pun sering lepas dari pengawasan beliau karena kedua opungku memang bekerja. Jika tidak dibawa ke tempat kerjanya, Opung Boru terpaksa menitipkanku kepada tetangga sebelah rumah.