Setiap kali sekolah mengadakan ujian, aku tidak diperkenankan mengikuti ujian tersebut di dalam kelas. Aku diharuskan mengerjakan soal-soal ujian di luar kelas hanya beralaskan lantai. Tidak ada meja ataupun kursi tersedia bagiku untuk mengerjakan soal ujian. Kerap aku mengintip suasana ujian di dalam kelas lewat jendela. Kusaksikan teman-temanku sedang mengerjakan soal-soal ujian dengan tenang di atas bangku dan meja masing-masing. Aku merasa iri karena tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan mereka. Aku, kan, sudah tidak nakal seperti dulu. Bahkan, nilaiku pun mengalami peningkatan.
Apa ini karena aku tidak mampu membayar uang sekolah?
Setelah cukup lama tinggal di tempat baru, Mama menyekolahkan aku di sebuah sekolah swasta yang berjarak cukup dekat dari rumah. Aku harus mengulang kembali pendidikanku dari kelas 1 SD.
Mengenyam pendidikan di tempat baru tak membuat kelakuanku jadi baru. Aku masih saja suka membolos. Aku hobi menjaili teman-teman sekelas. Setiap berangkat ke sekolah, aku tidak pernah mandi pagi, jarang tepat waktu, dan sering kali tidak membawa buku pelajaran ke sekolah. Aku termasuk murid yang banyak bicara dan mengobrol di dalam kelas. Itulah mengapa aku selalu memilih duduk di deretan paling belakang agar tidak ketahuan guru ketika sedang mengobrol dengan teman sekelas.
Wali Kelas kerap menyebutku “Si Pantat Kerucut” karena tidak bisa duduk diam di tempat. Aku sering berkata kasar dan kotor, semua kuucapkan, baik di depan teman-teman sepermainan maupun orang yang lebih dewasa dariku.
Tak terhitung berapa kali aku dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah. Hampir setiap semester ada saja orangtua murid yang datang ke sekolah dan mengadukan ulahku kepada guru.
“Kalau kamu masih mengganggu anak saya, saya bisa melaporkan kamu ke polisi!” ujar salah seorang orangtua murid yang saat itu menemuiku di Ruang Kepala Sekolah.
Begitu banyak orangtua yang melarang anaknya bergaul denganku, baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar tempat tinggalku. Mereka khawatir anaknya akan diganggu dan mendapat pengaruh buruk dariku.
“Aku disuruh Oma jangan pernah bermain dengan kamu lagi, Ki! Sorry, ya,” ujar salah seorang teman dekatku sewaktu kecil.
Akan tetapi, aku tak peduli. Aku memang merasa diriku paling kuat. Aku menganggap diriku sebagai ketua semua teman di kelas atau mungkin sekolah. Sewaktu di kelas 2, aku pernah berkelahi secara fisik dengan murid kelas 6. Siapa pun yang tidak mau menurut perintahku akan kuajak ribut. Aku tak takut, bahkan kepada guru sekalipun.
“Tampar aja, Bu, tuh anak!” ujar salah seorang guru kepada wali kelasku, saat kami sedang berdebat di ruang guru.
Aku tidak memiliki perasaan takut kepada guru. Apa yang ada di pikiranku, itu yang kukatakan. “Bu, Ibu stres, ya? Kok, marah-marah terus kayak ibu saya!” ujarku kepada Wali Kelas saat aku duduk di kelas 1 SD.
Aku kurang dapat mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Aku menggali ilmu pengetahuan dengan caraku sendiri. Setiap berkunjung ke rumah salah satu keluargaku, aku selalu mencari buku-buku yang kuanggap menarik. Kutemukan Buku Pintar Seri Dunia yang berisi seluruh kejadian aktual dunia, negara-negara di dunia, dan berbagai fenomena yang terjadi di dunia. Mama tak mampu membeli buku itu. Oleh karena itu, aku selalu memuaskan diri membaca buku tersebut sampai habis di rumah kerabatku. Belum menginjak kelas 3 SD, aku telah memahami dan hafal isi buku tersebut. Berbagai sejarah dunia, negara di dunia, peristiwa penting di dunia, astrologi, dan berbagai informasi yang terkandung di dalamnya mampu kuhafal.
Aku juga suka membaca atlas. Aku berimajinasi dan membayangkan seluruh gambar di peta. Kota-kota di dunia, letak geografis negara di dunia, persebaran iklim, persebaran arus laut dan pembagian waktu di dunia, berbagai benua, dan bentuk permukaan bumi telah terekam dengan baik di kepalaku meski usiaku belum genap sepuluh tahun. Aku juga suka membaca komik. Tidak memiliki TV di rumah, aku pun menghabiskan waktu dengan membaca komik. Seluruh komik tersebut kubeli dalam kondisi bekas atau dengan meminjam koleksi milik teman-temanku. Komik Doraemon, Ninja Hattori, Crayon Shinchan, dan berbagai macam komik Jepang lainnya telah kubaca. WC rumahku penuh dengan komik, atlas, dan Buku Pintar. Selama membuang hajat, biasanya aku membaca buku-buku tersebut secara bergantian.
Aku kurang dapat mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Aku menggali ilmu pengetahuan dengan caraku sendiri. Aku merasa jauh lebih nyaman belajar sendirian. Jika ada yang kurang kupahami, barulah aku menanyakannya kepada guru yang bersangkutan dengan cara berdiskusi. Komunikasi langsung dua arah dengan guru membuatku lebih mudah memahami suatu pelajaran. Aku gemar bertanya. Tak jarang, pertanyaanku mengundang rasa jengkel sang guru, entah karena di luar batas ketabuan atau karena aku merasa tak puas dengan jawaban sang guru yang kuanggap tidak masuk akal.
***
Penolakan demi penolakan terus aku alami selama di sekolah dasar. Aku sama sekali tidak punya teman, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Sosok Mama pun antara ada dan tiada karena beliau sibuk mencari nafkah.
Sesungguhnya, aku merasa sangat kesepian. Mama selalu pulang di atas pukul 10 malam. Saat itu Mama bekerja sebagai agen di salah satu perusahaan asuransi swasta di Jakarta. Penghasilannya sebagai agen yang tidak tetap selalu beliau tutupi dengan berdagang baju ke kantor-kantor di sekitar tempat kerjanya. Setiap pulang sekolah, yang kuhadapi hanyalah rumah kosong tak berpenghuni. Aku tidak punya siapa-siapa.
Terlebih lagi, saat itu kami tidak memiliki TV di rumah. Tidak ada “distraction” yang bisa kumanfaatkan agar tak merasa takut dan sepi karena sendirian. Oleh karena hal itu, aku biasanya pergi keliling kompleks perumahan dengan bersepeda. Aku bingung menghabiskan waktu yang ada sehabis pulang sekolah, apalagi jika sudah menjelang malam. Sebab, ketika malam telah turun, aku semakin takut berada seorang diri di rumah.
Di dekat gapura kompleks perumahan terdapat beberapa warung kelontong dan wartel. Sambil menunggu Mama di depan gapura, tanpa rasa malu dan segan, aku nongkrong di sana. Lucu juga membayangkan anak berumur sembilan tahun mengajak ngobrol penjaga warung ataupun wartel semalam suntuk. Obrolannya pun bervariasi. Mulai dari kehidupan pribadi mereka sampai pahit manis yang mereka alami selama menjalani usaha.
Mama selalu meletakkan uang di atas meja tamu untukku bila ingin membeli lauk. Namun, sering kali kami tidak punya apa-apa. Pernah selama seminggu penuh makanan kami hanya berupa mi instan. Mama kadang kesulitan membeli beras, kalaupun membeli paling seliter atau maksimal tiga liter beras.
Malam-malam gelap adalah kawan bagi kami. Karena menunggak iuran listrik lebih dari batas waktu, aliran listrik di rumah sering diputus. Hari-hari tanpa listrik itu pun kami lalui dengan bercanda dan mengobrol tentang apa pun. Berat rasanya menjalani kondisi itu. Namun, Mama selalu berhasil mencari cara menghiburku.