Adakah kehidupan pernah mengajari kita cara menjelaskan sebuah kepergian? Ataukah ia sesuatu yang tak bisa diuraikan? Mungkinkah kepergian adalah awal dari sebuah ketiadaan cinta? Atau mungkin justru kepergian adalah sesuatu yang mesti kita biarkan melayang-layang di suatu pagi dan membiarkan matahari datang menekannya dengan sesuatu yang tragis. Dan barangkali dengan begitu ia mati ditikam ketidakjelasannya sendiri.
Aku akui, tak ada ada hari kulewatkan tanpa berandai-andai, berkhayal, berangan, bahwa aku memiliki jawaban atas semua pertanyaanku sendiri. Supaya barangkali lekaslah sembuh segala kerinduan ini.
Ah, kau yang bernama kepergian! Dalam hidup yang singkat ini, bisakah kau mengalah barang sekali saja?
“Sepanjang hidup saya, Om mantri, saya tidak pernah bayang Mama akan lari dari rumah,” kataku kepada mantri Rene, sehari setelah kepergian Mama. Aku bisa merasakan air mukaku berubah. Aku mencoba mengusir segala kerinduan yang aku punya untuk Mama, tapi apalah daya, kerinduan tetaplah kerinduan.
Mantri Rene hanya bisa terdiam di sudut rumah. Barangkali karena tidak ada alasan yang cukup tepat untuk ia sampaikan padaku saat itu tentang kepergian Mama. Mantri Rene adalah salah satu tetangga dekat kami. Aku dan Mendeng sudah menganggapnya seperti om kami sendiri.
Tragedi memang, dalam usia yang masih muda sudah ditinggal pergi Mama sendiri. Barangkali memang hidup sudah kepalang tanggung. Nasib tidak bisa diubah jalannya. “Oh nasib, saya kejar kau sampai mati,” gerutuku sepanjang hari. Aku meraung. Usiaku baru saja dua puluh satu tahun dan adikku, Mendeng, baru lima belas.
Dan kami sudah ditempa kemalangan.
Pada saat Mama pergi, Bapak sedang dalam keadaan sakit. Kedua kakinya busuk terkena alergi rumput liar di ladang. Entah memang benar karena rumput liar, sampai saat itu tak ada yang benar-benar tahu alasan dan penyebab yang sebenarnya. Alasan terkena rumput liar itu memang datang dari mulut Bapak sendiri dan karena keadaan medis yang belum memadai, maka tak bisa ditentukan benar adanya. Tapi, Bapak selalu bilang pada kami bahwa rumput liar-lah yang menjadi penyebab utama kesakitan itu.
Semakin hari kakinya terus membusuk dan bernanah. Bau amis berkeliaran ke mana-mana. Jadi, luka-luka busuk itu harus dibersihkan setiap hari. Walaupun tak kunjung ada perubahan, tetapi setidaknya membersihkannya dengan air hangat adalah salah satu usaha untuk menyembuhkan kedua kaki itu.
Sesekali waktu mantri Rene hanya bisa memberikan obat berupa saleb-saleban. Ia juga sudah tampak menyerah. “Sudah bukan sakit medis lagi ini, Pandong,” katanya sekali waktu ketika datang berkunjung.
“Barangkali karena semua ini amang, karena kesengsaraan ini, Mama pergi meninggalkan kami,” ujarku pada Mantri Rene dengan peluh penuh pada wajahku.
Kepergian itu memang memberikan dampak hebat pada keluarga kecil kami. Bapak semakin ringkih dan tak banyak makan seperti sebelumnya. Sudah direngkuh semangat hidupnya oleh kepergian Mama. Hari-harinya hanya ia isi dengan berbaring di ranjang dan terus mendaraskan doa Koronka sepanjang waktu. Keadaan itu membuatku menjadi lebih sibuk dari biasanya. Aku harus berdiri tegak menjadi kepala untuk keluarga kecil ini. Berladang, mengurus sekolah Mendeng, menafkahi kehidupan. Setiap hari aku semakin yakin pula bahwa sakit bapak tidak hanya pada kakinya tapi pada tubuhnya juga. Entah apa, aku pun tak tahu. Ketika Mama pergi, kurasa keadaannya semakin memburuk saja.
Memang perbincangan terjadi dalam kampung kecil Lamba ketika mengetahui kepergian Mama. Perbincangan itu hanya seputar mencari-cari alasan mengapa Mama pergi. Ada yang menduga, Mama pergi dengan lelaki lain. Ada juga yang bilang kalau Mama lari karena sudah tidak tahan dengan sakit bapak. Ah, ada banyak pokoknya.
Tapi terlepas dari semua itu, masih ada yang peduli pada keluargaku seperti mantri Rene, keluarga om Lukas, Tanta Beti dan suami, Romo Leo, dan keluarga Kraeng Dalu-kepala suku kami-serta kawan-kawanku dan Mendeng.
Kadang di hari Minggu, sehabis misa di gereja, Romo Leo akan datang berdoa bersama Bapak. Di hari lain, tanta Beti dan suaminya, datang untuk sekedar membawakan ikan segar, kebetulan suaminya bekerja di sebuah kapal ikan. Juga om Lukas, datang hanya sekedar bercerita dan bercengkrama dengan Bapak. Menghibur dalam kesakitan itu. Ketika pulang, om Lukas menyempatkan untuk memberi uang kepadaku. “Untuk berjaga-jaga,” bisiknya.
Kadang kawan-kawanku dan Mendeng datang pula, hanya sekedar melihat dan berbagi kedukaan bersama. Kehidupan tanpa sahabat adalah sebuah kehampaan rasanya, bukan? Aku bersyukur memiliki persahabatan yang kekal itu.
Sedangkan keluarga Kraeng Dalu-keluarga yang paling berkuasa di kampung kami-belum tiba dari kampung sebelah, Marukure. Mereka sedang menghadiri upacara caci yang diadakan sebulan lamanya di kampung itu.
Adat. Kampung Lamba kami ini juga masih beradat dan masih kental. Caci adalah bagian dari adat itu. Dan perbincangan mengenai adat selalu membuatku sering memiringkan kepala. Entah kenapa.