Orang Lamba

gamblangmas
Chapter #3

Koja dan Suratnya

Langit sudah penuh cahaya matahari dan mulai menekan ke bumi. Mendeng sudah berangkat ke sekolah. Saat itu ia masih SMP kelas tiga. Sekolahnya berada di Marukure, kampung sebelah. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam, tetapi karena bersama kawan-kawan, perjalanan menuju sekolah terasa cepat dan menggembirakan.

Mereka tidak mengikuti jalan besar, jalan tanah telanjang itu. Mereka mengikuti jalan pintas-jalan potong dalam bahasa kami-agar menghemat waktu dan tenaga. Sebab mengikuti jalanan utama memakan waktu sekitar tiga jam menuju Marukure. Sebab begitulah dulu aku bersama kawan-kawanku ketika berangkat ke sekolah, kami selalu menggunakan jalan pintas. Melewati sawah, memotong tembus hutan, dan tiba di sekolah.

Marukure adalah satu-satunya kampung di wilayah yang terpencil ini yang memiliki sekolah. Mulai dari sekolah dasar hingga menengah pertama. Dan jika sudah menamatkan SMP, anak-anak itu akan melanjutkan sekolah ke SMA di Kota. 

Kota Mborong adalah tempat yang begitu jauh dari kampungku. Dan terkadang karena pertimbangan itu, para orang tua pada akhirnya melumpuhkan impian anaknya dengan menyuruh (bukan menawarkan) mereka untuk segera berkawin saja atau membantu mereka di ladang. Dari pada buang-buang uang dan waktu. Sebab di kota, tidak hanya membiayai uang sekolah, para orang tua juga harus membayar uang asrama. Sementara kehidupan di kampung hanyalah pas untuk mengisi perut sehari-hari.

Tapi Bapak tidak pernah mengajarkan pada kami tentang hal semacam itu. Ia justru menginginkan kami untuk terus bersekolah. Meraih mimpi, bagaimana pun keadaannya.

“Beginilah Om, Lamba memang gagah pemandangannya, tapi kerdil pemikiran orangtuanya,” kataku suatu waktu kepada mantri Rene ketika ditanya apakah Mendeng akan melanjutkan sekolah ke SMA.

Ketika itu, 1992, adalah tahun pelajaran terakhir Mendeng di SMP., aku kira, kalau tidak salah. Jadi sebentar lagi ia akan melanjutkan sekolahnya ke SMA. Itu membuat arah pikiranku semakin bercabang. Biaya sekolah semakin naik. Kehidupan di kota yang terbilang mahal. Kehidupan yang pas-pasan. Tapi aku sudah berjanji tidak akan menyerah. Sampai kapan pun. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk Mendeng. Walaupun dunia pandai berlalu dengan tergesa-gesa.

Pada pukul sembilan pagi, setelah melihat-lihat sayur di ladang, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku juga memetik dua ikat sayur singkong, sayur kesukaan Bapak. Apalagi jika dibuat dengan parutan kelapa dan ditumis dengan bawang. Sedikit minyak dan dicampur ikan teri. Dan menurut pandanganku itu adalah makanan paling enak dalam peradaban Lamba.

Dalam perjalanan pulang, aku masih memikirkan Mama. Sudah sampai di mana Mama, hatiku berteriak. Tak ada surat atau pesan singkat ditinggalkan. Ia pergi dalam diam. Itu yang paling menyakitkan, kepergian tanpa penjelasan.

Setiba di rumah, suasana sepi. Aku meletakan dua ikat singkong di dapur, kemudian bergegas menuju ranjang bapak. Aku menyibak kain yang membatasi kamarnya, dan melihatnya masih lelap tertidur. Aku tidak ingin membangunkannya, jadi kubiarkan saja ia terus terlelap.

Di luar sana, matahari sudah meninggi. Aku berpikir bahwa ada baiknya sekarang aku segera memindahkan dua ekor sapi bapak dan memberi makan tiga ekor babi di kandang. Sekaligus melihat-lihat kelapa yang jatuh di halaman belakang rumah.

Sehabis dari kesibukan itu, aku kembali ke rumah. Di Lamba satu-satunya keluarga yang memiliki kebun kelapa adalah keluargaku. Jadi, kelapa-kelapa itu terkadang aku jual kepada tetangga, untuk dibuatkan minyak kelapa. Selain menjadi sebuah mata pencarian, minyak kelapa itu kadang dijadikan sebagai obat urut yang manjur dan ampas dari hasil penggorengannya bisa dijadikan lauk yang enak.

Setibaku di rumah, mantri Rene sudah sedari tadi duduk di ruang depan sambil mengisap sebatang rokok.

“Om, sudah dari tadi kah?” aku menyambar, sambil mengikat rambutku yang panjangnya sebahu itu. Rambutku bukan sejenis rambut berair, tetapi lebih ke setengah air. Ada sedikit keritingnya.

“Itu barusan. Saya habis cek Bapa tadi. Amanlah,” sambung mantri Rene.

“Kopi Om?” aku mencoba menawarkan minuman kesukaannya itu. Tapi ia justru bilang:

“Tidak usah. Saya hanya mau antar surat dari Koja tadi.”

Lihat selengkapnya