Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #4

Bapak

Siang datang dengan cepat dan Mendeng sudah kembali dari sekolah. Diletakannya tas sekolah di atas ranjang dan segera bergegas menuju kamar Bapak. Tapi rupanya bapak masih terlelap. Sehingga ia langsung bergegas ke dapur.

Padaku ia terangkan:

 “Mendeng tadi ketemu Koja di lapangan Marukure. Terus dia bilang, besok mereka sudah pulang,” ujar Koja sambil duduk di tenda kecil yang terbuat dari bambu.

“Terus hubungannya dengan saya?” aku menanya balik sambil membenarkan rambutku.

“Koja suruh Mendeng buat ambil sesuatu besok di rumahnya.”

“Iya apa hubungannya dengan saya?”

“Kan dari dulu nana larang Mendeng pergi ke situ,” kali ini Mendeng mengernyitkan dahinya. Bingung ia rupanya.

“Kalau Koja yang suruh, saya tidak bisa larang kalau begitu,” balasku. Memang begitulah, tidak ada yang bisa menahan keinginan perempuan itu.

“Jadi besok bisa?”

“Yang penting jangan kastau Mekas. Pergi diam-diam,” aku memberi saran yang sangat tidak patut untuk kalian contoh di rumah.

Mendeng bergegas ke kamarnya untuk mengganti baju seragamnya. Kemudian dari dapur, aku berteriak dan mengatakan supaya sehabis mengganti pakaian ia harus memasak sayur. Mendeng mengiakan permintaanku itu.

Aku kemudian bergegas menuju rumah mantri Rene. Dan aku masih membayangkan surat dari Koja. Meskipun surat itu isinya baik, tetapi kenyataan bahwa ia mengirimiku surat adalah yang menjadi keprihatinanku. Bagaimana jika Kraeng Dalu mengetahui hal itu? Bisa-bisa aku dikirimkan ke ladangnya di dekat pantai Bundai dan menggarap ladangnya selama setahun. Aku tidak bisa membayangkan itu terjadi padaku saat ini. Aku tidak bisa melepaskan Bapak dan Mendeng sendiri di rumah.

Dalam perjalanan menuju rumah mantri Rene yang jaraknya hanya sekitar selemparan batu dari rumah, pikiranku terus saja mengambang ke surat itu. Aku tidak pernah membayangkan anak kepala suku Lamba itu, orang paling berkuasa di kampung ini, mengirimkan surat kepadaku. Seorang lelaki yang tak punya kuasa apa-apa ini mendapat surat dari Putri Pewaris Tunggal kesukuan Lamba. Apa yang terjadi dalam kepalanya waktu itu? Ah perempuan, memang kalian pembikin onar pikiran lelaki.

Koja seharusnya mengirimkan surat kepada anak-anak kepala suku lain. Sesama darah keturunan bangsawan. Bukan padaku, rakyat biasa ini. Bagaimana tanggapan orang-orang nantinya? Ya Tuhan, entah kenapa kepalaku penuh dan banyak miringnya. Kepalaku pening penuh aroma kebingungan.

Tapi rupanya nasib berjalan pada jalan yang lain. Siang itu, aku tidak sampai menyentuh rumah mantri Rene. Sebab kejadian lain terjadi pada kami. Kejadian yang membikin kepalaku tambah pusing bukan kepalang. Hidup, mungkin karena hidup itu penuh kemungkinan, banyak kepalang tanggungnya. Dan nasib, ia pertandingan yang selalu mengalahkanku sepanjang hari.

Nasib itu ditandai dengan sebuah teriakan dan tangisan yang keluar dari rumahku. Tangisan Mendeng. Kencang memenuhi isi kampung Lamba. Dalam hatiku, aku bisa merasakan bahwa tangisan itu adalah sebuah kepastian bahwa Bapak sudah kembali ke hadapan Yang Mahakuasa. Tidak lain. Aku sudah bisa menduga arah nasib membawa hidup kami. Seluruh orang kampung keluar dari rumah, termasuk mantri Rene. Aku sudah berlari kembali menuju rumah. Aku bisa merasakan kakiku bergerak begitu cepat. Dan setiba di hadapan pintu rumah, Mendeng sudah berdiri dengan penuh tangis.

Mekas sudah jalan. Itu baru saja,” ujar Mendeng dalam dukanya yang paling dalam.

Tak lama kemudian, semua tetanggaku bermunculan. Sedikit demi sedikit datang memenuhi rumah. Aku sudah berada di samping ranjang Bapak, memegang tangannya untuk terakhir kali dan merapikan posisinya tubuhnya yang kaku tapi masih hangat. Tidak ada tangis datang dari mataku. Aku bisa merasakan wajahku datar, tapi kuat. Aku harus kuat. Sebagai anak lelaki, aku harus kuat untuk saat-saat seperti ini. Aku melihat Mendeng hanya duduk disamping tubuh kaku Bapak, menangis tersedu-sedu, memeluk tubuh yang masih hangat itu dengan kuat. Aroma tidak sedap aku rasakan pula memenuhi ruang kecil tempat Bapak beristirahat itu. Dan aroma itu masuk akal, sebab ia datang dari sepasang kaki busuk Bapak.

Mantri Rene tiba dan langsung menuju kamar. Ia hanya memandang dua anak yang baru saja mendapat gelar yatim ini saling berbagi duka. Aku melihat air matanya jatuh, merembes penuh pipi. Beberapa tetangga turut berbagi tangis. Duka mendalam tiba di Lamba hari itu.

Bapak, orang yang dikenal baik hati ini pergi untuk selamanya. Semasa hidupnya ia banyak berbuat sesuatu yang baik pada tetangga kami. Memberi nanas, kelapa, sayur yang kami tanam di ladang jika panenannya banyak. Apalagi bagi keluarga Kraeng Dalu, Bapak adalah orang kepercayaannya ketika mereka bekerja menggarap ladang atau lahan baru milik Kraeng Dalu. Dan hari ini ia sudah berkanjang ke Taman Eden.

Wahai Bapak, berkanjanglah dengan damai. Jiwamu abadi di surga, aku doakan.

Di luar rumah, beberapa anak muda sudah mulai mencari bambu dan terpal untuk membuat tenda. Kaum perempuan muda muda dan ibu-ibu sudah bergegas juga membikin tungku api untuk persiapan memasak. Semuanya terjadi dalam tempo waktu yang cepat. Dan dihadapanku semuanya bergerak. Meraung, tangisan, matahari yang panas, bunyi parang yang menghantam kayu-kayu hidup, teriakan, celotehan, perbincangan. Semuanya seperti diputar dalam waktu bersamaan.

Mantri Rene pun dengan segera meminta salah seorang anak muda untuk mengirim pesan kepada Kraeng Dalu. Aku melihat pemuda itu dengan penuh semangat menaiki kuda jantan yang kokoh dan segera bergegas menuju Marukure.

Lihat selengkapnya