Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #5

Oh, Perempuan Muda

Tepat pada pukul sepuluh pagi Bapak dikuburkan. Tanpa anak rona, dan anak wina. Tanpa Mama. Tanpa keluarga dekatnya. Hanya Mendeng, aku dan seluruh warga kampung yang menghantarnya ke tempat peristirahatan terakhir. Tangis pecah di bawah langit Lamba. Semuanya, terkecuali aku. Aku benar-benar bisa merasakan wajahku tidak bersimbah air mata setetes pun. Sampai hari ini aku tidak tahu mengapa hal semacam itu bisa terjadi.

Lalu, semuanya berlangsung dengan cepat. Dengan segera campuran semen dan pasir yang diberikan Kraeng Dalu meluncur menutupi kubur Bapak. Aku dan Mendeng hanya berdiri, mata kami tertuju pada beberapa bapak dan pemuda yang dengan sigap merapikan pusara itu. Termasuk Lukas dan Rikus. Kemudian setelah kubur bapak sudah sempurna tertutup campuran semen dan pasir, keluarga kraeng Dalu yang sedari tadi duduk di depan kemah bergegas menuju kubur bapak. Semua warga kampung yang sedari tadi berdiri di dekat kubur menyingkir dan kembali ke kemah.

Di situ hanya tersisa aku dan Mendeng. Kraeng Dalu, istrinya dan Koja datang menghampiri dengan membawa juga sebotol tuak dan sebungkus rokok.

Tidak ada perbincangan yang terjadi. Mendeng yang dari tadi menangis tersedu-sedu, kini diam ketika melihat kedatangan keluarga Kraeng Dalu. Tapi air matanya tetap saja meluncur. Aku dan Mendeng segera menunduk pada keluarga itu.

Segera Kraeng Dalu meminta salah satu pelayannya untuk mengambilkan sebuah gelas. Pelayan itu segera bergegas. Aku mencoba membantu, tapi ia menahan tanganku dan bilang biarkan ia saja yang pergi mengambilnya. Aku menuruti.

 Setelah menerima gelas dari pelayannya, Kraeng Dalu pun menuangkan tuak ke gelas itu dan meletakannya di atas kubur Bapak. Kemudian ia menyalakan sebatang rokok dan meletakannya juga di atas sebuah piring yang sudah di simpan di sana.

“Untuk bekal perjalananmu, Tinus,” ucap kraeng Dalu. Kami hanya diam melihat semua kejadian itu. Semua mata orang tertuju pada kami. Aku bisa merasakannya.

Semua orang yang ada di kemah menyaksikan peristiwa itu. Sebab, itu adalah pertama kalinya Kraeng Dalu mendatangi sebuah pemakaman dengan membawa botol tuak dan sebungkus rokok, menuangkan tuak dan membakar rokok sendiri untuk seorang yang statusnya berada di bawahnya. Kejadian semacam itu tidak pernah terjadi di kampung kami sebelumnya. Lantas aku berpikir, seberapa berarti bapakku bagi orang paling berkuasa di kampung kami ini? Tuhan, aku butuh jawaban atas pertanyaan itu. 

Semua orang hanya bisa diam selama kejadian itu. “Tinus, bapak kalian berdua ini adalah orang yang berarti bagi saya,” kata Kraeng Dalu kepada aku dan Mendeng. Kami berdua hanya bisa menunduk, tak berani menatap wajahnya yang kokoh dan tegas.

Setelah beberapa saat kami berdiri dalam keheningan, Kraeng Dalu akhirnya meminta diri untuk pamit pulang. Ia jelaskan padaku dan Mendeng bahwa ia capai karena perjalanan panjang dari kampung Marukure. Tapi, istrinya dan Koja masih tetap di situ. Mereka masih ingin berada di sana. Kraeng Dalu mengizinkan dan ia kembali sendiri ke rumahnya di dampingi oleh pelayannya.

Istri Kraeng Dalu segera memeluk Mendeng hangat. Sedangkan Koja sudah dari tadi terus memandangku. Tapi aku tidak punya keberanian untuk menatap balik. Aku bisa merasakan—semacam ada indera keenam—bahwa wajah Koja berubah, ia tampak menyimpan keamarahan padaku. Lantas apa salahku?

Kemudian beberapa menit sehabis itu, Mendeng meminta diri untuk kembali ke dalam rumah. Tubuhnya sudah lemah sekali, ia belum makan semenjak malam sebelumnya. Istri Kraeng Dalu dan seorang pelayannya membantu Mendeng untuk berjalan ke dalam rumah. Kepergian mereka menyisakan ruang sepi di antara aku dan Koja.

Koja masih memandangku. Tapi aku hanya berdiri seperti patung yang dipahati dengan kepala yang terus menunduk.

“Saya turut berduka cita, Pandong,” setelah sekian lama, akhirnya Koja memulai pembicaraan.

“Terima kasih,” jawabku, dan aku masih menunduk.

“Kenapa tidak liat ke sini?” sambar Koja, suaranya seperti menyimpan kemarahan.

“Saya tidak layak dan pantas,” ujarku. Aku betul-betul tidak tahu ingin menjawab apa. Kepalaku masih penuh dengan kebisingan yang dihasilkan oleh pikiran sendiri.

“Saya hanya ingin kita bicara sebentar. Ini mungkin waktu yang pas. Orang-orang pasti menduga kalau kita hanya saling berbagi duka. Tidak ada yang curiga. Kalau lewat surat rasanya tidak terlalu baik. Saya tidak sepandai kau dalam menulis. Saya hanya mau ada orang yang bisa saya ajak bicara. Bukan sesama anak kepala suku. Tapi dengan orang seperti kau juga.”

“Tidak pantas kami ini bertemu dan berbicara dengan Ite.”

“Kau orang paling pintar yang pernah saya tahu. Tapi kau tunduk di depan saya, perempuan yang hanya tamat SMP ini. Juga perempuan yang barang kali kau anggap bodoh ini.”

“Saya tidak pernah anggap Ite bodoh. Ite punya sesuatu yang lain yang kami tidak punya.”

“Darah keturunan bangsawan? Kalau bisa saya dilahirkan kembali, saya tidak mau dilahirkan begini.”

Aku hanya bisa diam di depan perempuan ini. Ah, pemuda kau terlalu lemah. Biasanya kau tidak begini di depan perempuan. Kenapa di depannya kau kaku? Payah. Aku bilang pada diri sendiri.

“Terus kenapa surat saya tidak dibalas? “

Aku terdiam lagi. Rupanya semua kegeraman ini karena aku tidak membalas suratnya?

“Saya sudah duga, surat saya memang buruk isinya dan mungkin mengganggu kau. Saya menyesal sudah kirim surat itu.”

Ketika aku berani mengangkat muka, aku melihat wajah Koja memerah. Suaranya meninggi. Lantas aku bilang saja padanya:

“Saya sibuk. Saya mau balas surat itu. Tapi karena Bapak meninggal, rencana untuk balas surat itu tertunda.”

Kini gilirannya yang terdiam. Dan aku tidak begitu pandai dengan diamnya seorang perempuan.

“Saya minta maaf. Tidak pantas omong begini di depan kubur om Tinus,” Koja kini sudah tersenyum kembali. Tipis sekali senyum itu. Barangkali ia paksakan.

Aku bisa melihat dari gerak-geriknya bahwa ada sebuah perasaan bahagia yang Koja rasakan ketika mendengar penjelasanku mengenai mengapa aku tidak membalas suratnya. Setidaknya—barangkali ia berpikir—bukan karena aku tidak ingin membalas, tapi karena kematian inilah yang menghalangiku untuk membalas suratnya. Fakta itu itu rupanya berhasil membikinnya senyum.

Lihat selengkapnya