Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #6

Hari Sang Dara Agung

Upacara saung ta’a dan penutupan doa berlangsung dengan penuh hikmat. Om Lukas sendiri yang memimpin upacara itu. Semua orang hadir, tetangga, sahabat dan keluarga Kraeng Dalu. Dua ekor babi dikurbankan, diiringi dengan nyanyian-nyanyian kedukaan. Tangisan juga pecah. Mendeng di sudut rumah memeluk Koja dengan erat.

Upacara saung ta'a itu adalah tanda selesainya sebuah perkabungan. Itu juga memberikan kesempatan kepada keluarga dan warga kampung untuk melanjutkan kehidupannya kembali. Sebab kebiasaannya, dalam masa perkabungan—bisa 3 hari, bisa 5 hari, bisa juga 7 hari tergantung pada suku masing-masing—keluarga yang berduka dan warga sekitar tidak akan melakukan aktivitas-aktivitas berat seperti berkebun, atau kegiatan besar lainnya. Secara harafia saung ta’a merupakan daun yang mentah dan hijau. Saung ta’a dipercaya sebagai simbol kehidupan, artinya orang mati memliki kehidupan baru. Itu sudah menjadi tradisi dan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang. Entah kapan mulainya aku pula tak tahu. Tak pernah aku berkeinginian untuk menanyakan hal-hal demikian.

Selama upacara saung ta’a Koja duduk disamping Mendeng. Sedangkan aku sebagai anak tertua duduk disamping om Lukas, memegang ayam dan tuak.

Koja terus memandangiku. Aku bisa merasakan kehadiran sepasang matanya. Rupanya Mendeng juga memperhatikan kejadian itu. Sedangkan Kraeng Dalu dan istrinya duduk di kursi kayu yang sudah disediakan khusus. Aku tidak tahu apakah mereka menyadari pula kehadiran mata anak mereka.

Dan sepanjang upacara itu, yang dipandang Koja hanyalah aku. Hal itu membuat Rikus dan Lukas turut cemas. Mereka menceritakan padaku di kemudian hari.

“Lukas, kau liat Koja tuh liat Pandong terus dari tadi,” bisik Rikus.

“Iya. Saya juga liat,” jawab Lukas.

“Saya takut Pandong ada buat salah dengan dia?”

“Yang saya takut Kraeng Dalu juga liat. Bahaya Pandong.”

“Itu dia.” Tutup Rikus.

Karena ingin menyelamatkan aku dari “bahaya,” Lukas dan Rikus dengan sengaja membikin sebuah keributan kecil. Hanya untuk mengalihkan perhatian. Memang benar mereka membikin sebuah keributan kecil pada saat itu.

Semua orang menatap mereka. Dua kawan ini hanya bisa menunduk dan saling menyalahkan.

“Kalian berdua terus yang buat ribut,” sambung mantri Rene.

“Jangan marah om mantri,” jawab Lukas sambil tersenyum.

Upacara terus berjalan. Asap rokok mengepul dari mulut bapak-bapak. Wangi siri melayang-layang mengisi isi rumah. Gelas-gelas berisi tuak diedarkan ke setiap orang yang minum, termasuk Lukas dan Rikus.

Dari seberang, aku hanya bisa memandang kedua kawanku itu sambil memberi syarat untuk diam. Lukas dan Rikus kemudian memberi syarat pula, memiringkan kepala ke Koja. Tapi pada saat itu aku tidak mengerti isyarat itu.

Upacara berakhir dengan disembelihnya seekor babi jantan. Rikus dan Lukas mengeksekusi dengan rapi. Mereka membakar babi itu, mengiris daging-dagingnya. Setelah itu hati dan sebagian kecil dari daging babi itu akan dibakar dan ketika matang akan diberikan kembali ke om Lukas, supaya didoakan dan dijadikan persembahan terakhir kepada Bapak.

Semuanya terurus dengan baik oleh Rikus dan Lukas. Sebetulnya urusan seperti itu selalu diberikan kepada ketiga pemuda: Lukas, Rikus dan aku. Namun karena ini adalah kedukaanku, jadi aku dibebastugaskan.

Ketika upacara selesai, tibalah jam makan siang. Ketika itulah Rikus dan Lukas menarik aku menjauh dari rumah.

“Mari, keluar sedikit,” Lukas memaksaku yang sedang asik berbincang dengan Mantri Rene dan Om Lukas.

“Ada apa lagi kalian dua ini?” sambar Mantri Rene yang ketika itu sedang mengisap rokoknya.

“Ada perlu sedikit, om Mantri,” kali ini Rikus yang merespon.

Aku berdiri dan berjalan keluar sambil mengekor dua kawanku ini. Lukas dan Rikus menarikku menuju tempat yang lebih sepi. Jadi mereka membawaku menuju tempat yang tadi mereka gunakan untuk memotong babi.

“Ada apa lagi kalian dua ini. Omong saja toh kalau ada perlu. Buat apa sampai tembus ke sini,” ujarku sambil berusaha membenarkan kain songke yang semakin kendur.

“Kau ada masalah apa dengan Koja huh?” Lukas mulai melempar tuduhan padaku.

Lihat selengkapnya