Sehabis makan siang, Lukas dan Rikus, diberi tugas lagi oleh Kraeng Dalu untuk mengambil tuak di rumah om Rius. Om Rius selain sebagai sopir oto kol, dia juga adalah penjual tuak. Bisnisnya lancar sekali.
Rumah kami yang sederhana beratap alang-alang itu penuh riuh orang. Mama-mama sehabis makan siang, memakan siri pinang dan bercerita. Bapak-bapak pun menikmati tuak dan rokok dengan berbincang tentang banyak hal. Biasanya perbincangan hanya seputar hal-hal mengenai kenangan masa lalu bersama dengan orang yang meninggal. Sedangkan di dalam kamar, Mendeng dan Koja pun sedang berbincang pula. Aku dapat cerita ini dari Mendeng, ketika pada suatu hari di musim kemerau melanda kampung kami.
Begini ceritanya setelah kurangkum kembali.
Ketika itu aku, kata Mendeng, sedang asik berbincang dengan mantri Rene dan Om Lukas di ruang tengah. Sedangkan mereka asik bercerita dan membuka-buka buku tulisku di dalam kamar.
“Di sini kamu dua Pandong tidur?” tanya Koja.
“Iya. Tapi setelah Mama pergi, Pandong sering tidur di kamar Bapak. Kadang di tenda di dapur. Kadang juga tidak tidur,” jelas Mendeng.
“Kenapa tidur di dapur?”
“Dia kan kadang makan malam itu jam dua. Terus sambil minum tuak dengan kaka Lukas dan kaka Rikus di dapur. Dia tau saya tidak suka kalau tidur dengan dia pas bau tuak begitu. Jadi dia tidur di dapur.”
“Kau bisa marah dia?”
“Bisa. Tapi ada waktu-waktunya.”
“Kapan?”
“Kalau dia pas lagi minum tuak.”
“Kenapa begitu?”
“Dia bilang kan begini: Mendeng kalau kau marah tunggu pas saya habis minum. Kalau pas sadar jangan berani,” dan ini memang benar faktanya. Aku hanya membiarkan Mendeng memarahiku jika aku sedang minum tuak. Di luar itu, aku tidak pernah mengizinkannya untuk memarahiku. Tapi, sebagai kakak aku begitu menyayanginya.
“Kau tidak tanya alasannya kenapa?”
“Alasannya dia bilang karena kalau habis minum tuak, otak pusing, maunya hanya tidur, jadi kita biar marah dia tidak akan sibuk.” Alasan ini pun benar pula adanya. Aku tidak tahu kapan aku mengatakannya, tapi kemungkinan besar pula alasan itu aku ucapkan setelah meminum banyak tuak.
Koja tertawa mendengar alasan itu kata Mendeng.
“Dia pernah marah kau?”
“Tidak pernah. Sekali pun tidak pernah.” Aku memang tidak pernah marah padanya. Bisaku, hanya mencintainya. Sepenuh raga.
“Biar kamu buat salah?”
“Dia hanya tanya alasan kenapa kita buat begitu terus dinasihati. Sudah, selesai.”
“Kamu pernah buat janji dengan dia, tapi tidak tepati begitu?”
“Oh iya. Dia tidak suka orang yang ingkar janji. Penghkianat kalau menurut dia. Saya pernah janji dengan dia kalau saya tidak buat lagi kesalahan yang sama, eh malah dilanggar lagi. Terus dia bilang ke saya pas dinasihatin: jangan jadi penghianat terhadap diri sendiri. Tidak baik. Kalau tidak bisa menepati janji, lebih baik jangan buat janji.” Dan memang aku tidak menyukai orang yang tidak menepati janji.
Barangkali aku mengerti dikemudian hari mengapa Koja bertanya begitu pada Mendeng. Pertanyaan itu sebetulnya aku pikir ada alasannya. Sebab, Koja sudah berjanji padaku bahwa ia akan hadir selalu setiap hari sebelum acara saung ta’a. Dan dia tidak menepati janjinya. Aku tidak tahu mengapa aku kesal dengannya pada saat itu. Aku bukan siapa-siapanya dia. Atau mungkin ia punya alasan lain. Tapi bagaimana pun aku tidak suka orang yang mengingkari janji.
Kemudian mereka berbincang hal lain lagi.
“Dia kalau malam buat apa saja? Bantu kamu kerja Pr?”
“Bukan bantu lagi, tapi diajari. Dari A sampai Z.”
“Tidak heran kalau pintar begini,” ia diam sejenak dan melanjutkan, “katanya, dia sering bikin puisi?”
“Iya dulu sering. Tapi sekarang lagi berhenti mungkin. Tapi ada dia punya buku khusus untuk tulis puisi. Biasanya dia simpan di bawah kasur. Sabar saya liat dulu sebentar.”
“Bagaimana kalau dia tahu?”
“Dia kalau sudah minum tuak begitu di luar, mau sampai besok pagi tembus dia.” Aku tidak menyarankan kalian anak muda untuk mengikuti gaya hidup semacam ini. Tapi kalau sekali dua kali tak apalah, kawan. Pada masanya barang itu mungkin enak, tapi setelah menua kalian akan tahu akibatnya.
“Ah ini dia. Mau baca?”
“Mau.”
Koja membuka buku tulis yang bersampul koran bekas itu. Ia melihat-lihat dari halaman awal sampai akhir. Ada banyak betul puisi-puisi yang aku tulis pada buku itu. Tapi karena pada saat itu, Kraeng Dalu dan istri sudah harus pulang, dan itu mengharuskan Koja juga harus ikut, maka ia hanya sempat membaca sekitar tiga buah puisi saja, kata Mendeng. Dan aku menanyakan puisi mana saja yang sempat ia baca. Mendeng menunjukan tiga puisi ini:
____