Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #8

Batas

Sehari sehabis acara saung ta'a, suasana rumah menjadi sepi dan sunyi. Tidak ada lagi orang-orang yang datang berdoa. Sebab upacara sudah selesai. Hanya mantri Rene yang sering datang ke rumah, sekedar untuk menikmati kopi sore dan juga berdoa sebentar di kubur Bapak. Aku rasakan kehidupan bergegas begitu cepat. Sedikit tergesa-gesa jika boleh aku beropini.

Sedangkan Lukas dan Rikus harus segera ke pasar kota Mborong bersama om Rius selama dua hari untuk menghantar beberapa karung padi untuk digilingkan di kota. Seharusnya itu adalah tugas kami bertiga, tetapi karena aku—lagi-lagi—sedang berduka maka hanya Lukas dan Rikus saja yang ditugaskan pada kesempatan itu.

 Aku masih ingat hari ketika mereka berangkat ke kota perbincangan konyol ini terjadi.

“Kenapa tidak saya saja yang berduka em?” kata Rikus.

“Eh bodoh, kau mau jadi anak yatim piatu?” sambar Lukas.

“Iya. Sudah tahu mama sudah tidak ada, gaya mau kasih hilang kau punya bapak lagi,” aku menimbrung.

“Kalian ini e hanya bercanda toh teman,” Rikus melempar elakan. Ah, kadang-kadang kematian kami anggap sebagai hal yang biasa saja. Bahkan sebuah lelucon. Tidak ada takut-takutnya. Tapi setelah mereka pergi aku benar-benar merindukan keberadaan mereka berdua. Biasanya mereka selalu datang ke rumah dan menemaniku sepanjang hari hanya untuk duduk sejenak dan bercerita tentang masa lalu kami yang banyak kacaunya itu.

Ah, kawan waktu begitu cepat saja berlalu.

Kemudian, malam datang dengan cepat dan aku melihat Mendeng masih saja berada di kubur Bapak. Melihat itu jatuh lagi air mataku. Memandang perempuan kecil yang masih perlu kasih dan sayang itu harus memeluk kedinginan tanpa ada tangan yang mengelusnya.

“Seharusnya ada Mama di sana,” bisikku kepada kedinginan malam.

Pemandangan dan kedinginan malam itu membuat tanganku melahirkan beberapa sajak di atas kertas-kertas pada buku kusamku.

 _______

Doa 1,

Tuhan, izinkanlah hujan dan langit

yang selalu abu-abu

menetap lebih lama di tepi jendela kami.

Barangkali, mereka tahu caranya mencintai

kepergian, kepulangan dan kekelaman

yang kini sedang dalam pelukan.

 

Oh,

Oh, malam. Kau datang terlampau cepat. Tugas-tugasku baru matang sebelah: setengah masak dan belum bisa kuapa-apakan.

Oh, Tuhan. Kau datang terlalu dini. Jagung di ladang masih setengah muda. Dan tuak merah masih dalam perhentian di kana.

Oh, Bapak. Kau pergi terlampau pagi. Betahkah kau di surga?

 

Malam ini,

Di surga barangkali ramai betul malam ini. Mobil, manusia, motor, kereta, malaikat, berbincang satu sama lain di taman eden.

Sedangkan di sini, malam ini, di dalam tempurung kepala adikku, tak ada yang berbincang. Semuanya sunyi, sepi dan sibuk sendiri-sendiri.

Memegang ingin tak sampai, memeluk Dikau terlampau jauh, Tuhan.

Kepada siapa tangannya memeluk malam ini?

______

Aku yang sedari tadi hanya duduk di samping rumah, ditemani lampu pelita kecil dan buku kusamku, kini beranjak menuju ke kubur bapak.

Lalu aku duduk disamping Mendeng. Aku membukakan buku dan menujukan sajak yang baru kutulis.

Mendeng menerimanya. Matanya memerah. Dingin mendekam. Bulan tampil penuh di atas kepala kami tanpa malu-malu. Ia selalu senang membaca puisi-puisiku. Itulah salah satu alasanku menulis banyak puisi. Sebab aku ingin dia senang selalu.

 Ketika hendak membaca puisi yang kutulis, sebuah suara muncul dari belakang kami. Aku dan Mendeng terkejut mendegar suara itu. Dan suara itu adalah suara seorang perempuan yang tidak asing di telingaku.

“Selamat malam. Jangan marah, kami ganggu kalian berdua.” Dari dalam kegelapan malam yang sayup, muncul Koja dengan seorang pelayannya.

“Malam juga, Koja,” sambar Mendeng, terkejut. Air mukaku berubah sekejap. Aku bisa merasakannya.

“Ada perlu Koja?” sahutku dari seberang, sambil membetulkan posisi berdiri.

“Iya,” jawabnya singkat. Wajahnya memerah. Ia menunduk.

“Perlu dengan saya?” aku melempar tanya pada perempuan ini.

Koja mengangguk. Ia tidak berani memandangku kali ini. Aku pun bingung dengan diriku sendiri. Biasanya dia bukan seperti itu. Dia teguh dan kuat. Dia punya kuasa pada diriku. Dia keturunan bangsawan dan sebagai anak kepala suku dirinya memiki kekuasaan penuh. Tapi kali ini dia berbeda. Dia menunduk. Ada apa denganmu wahai perempuan muda?

“Mau omong di rumah?” aku mencoba bertanya lagi.

“Tidak usah Pandong. Di sini saja,” sahutnya. Kepalanya masih menunduk. Mendeng memandangku bingung. Apa lagi aku. Kemudian aku melanjutkan:

“Tidak enak dengan Ite. Duduk di luar dingin-dingin begini. Dan pemali juga omong perlu di luar rumah. Awas di dengar setan.” Aku mencoba menjelaskan dengan sedikit candaan.

  “Tidak usah. Di sini saja tidak apa-apa,” ah perempuan muda terserah kau saja.

Kemudian Koja menyuruh pelayannya untuk menunggu di dalam rumah. Mendeng pun mengekor. Ia tidak ingin menganggu kedua orang muda ini. Aku benar-benar diliputi perasaan takut dan cemas ketika itu. Ada sesuatu apa yang ingin disampaikan perempuan muda ini? Ah, tidak pernah aku berjumpa perempuan yang susah ditebak begini dalam masa hidupku. Dia yang betul-betul pertama kali yang membuatku menanyakan kejantaananku sendiri. Benarkah aku jantan?

Lihat selengkapnya