Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #9

Datangnya Sebuah Kabar

 Pagi datang. Matahari memenuhi bumi. Menekan ke pori-pori tanah.

Mendeng sudah kembali ke sekolah untuk melanjutkan pelajarannya di kelas akhir. Sedangkan Rikus dan Lukas masih di kota, barangkali jam begini masih sibuk menggiling berapa puluh karung padi. Tugas seperti itu sudah kami lakukan semenjak SMP.

Padi-padi yang digilingkan itu adalah hasil panen beberapa keluarga di Lamba yang memang memiliki sawah. Jadi, setiap tiga bulan, kami biasanya akan ditugaskan untuk menggiling padi-padi tersebut di kota. . Dari situ, kami tentu akan diberikan masing-masing satu karung beras dan sejumlah uang, sebagai bayaran atas kerja kami. Jadi begitulah cerita singkatnya.

(Dan, aku rasa perlu aku sampaikan bahwa aku bertunag budi banyak kepada mereka yang menciptakan mesin giling itu, sebuah pencapaian yang sungguh banyak membantu. Oh, ilmu pengetahuan, cepatlah menjamah Lamba.)

Sedangkan di kebun sayur, aku sendiri sibuk menggembur tanah dan menaburkan kotoran hewan-sapi dan babi-yang sudah kering sebagai pupuk alami. Beberapa minggu lagi sayuranku akan dipanen. Aku tentu senang, karena dengan itu aku bisa punya kesempatan lagi untuk menikmati suasana kota. Sebab, sehabis kupanen sayuran ini, akan aku bawa ke kota supaya disuplai ke pasar-pasar sayur. Tentu Lukas dan Rikus akan membantuku ketika masa panen nanti tiba. Selalu begitu setiap waktu.

Kemudian ketika barangkali pukul sepuluh, dan matahari sudah tajam menikam bumi, mantri Rene datang dengan motor astreanya. Dia tampak tergesah-gesah ketika berjalan menuju tempat aku berdiri.

“Om Mantri ada apa buru-buru sekali ini?” kutanya perihal kedatangannya yang tiba-tiba itu.

“Ada kamu punya keluarga di rumah. Baru sampe sepertinya. Kau pulang dulu. Ayok!” pintanya, sambil mengatur irama nafasnya yang tersengal.

“Om selama mau dua puluh satu tahun saya punya usia ini, saya tidak pernah berjumpa dengan yang namanya keluarga.” Ini memang benar. Bapak tidak pernah menginginkan kami untuk berjumpa keluarganya. Begitu pun dengan keluarga Mama. Anehnya, dan aku sekarang baru terpikir akan hal ini, Bapak dan Mama tidak pernah membicarakan atau mengajak kami untuk bertemu dengan keluarga mereka. Kami pun tidak juga punya keinginan untuk menanyakan. Aku dan Mendeng menganggapnya hal biasa saja jika tak ada keluarga. Tidak merugikan kami pula.

“Iya makanya itu ini saatnya kau ketemu mereka.”

“Sebentar dulu sedikit. Saya selesai dulu gembur ini barang.”

“Baiklah, saya tunggu kalau begitu.”

“Tidak usah, Om.”

“Nah. Tau saja kau. Bilangnya sebentar, tapi munculnya empat jam kemudian.”

“Om ini tidak percaya sama sekali.”

“Ew macam saya baru kenal kau kemarin saja. Ayok cepat.”

Dan, aku pun mengalah.

“Oke, oke. Ayok.” Aku benar-benar kesal. Siapa lagi yang datang?

Kami bergegas pulang. Dan setiba di rumah, seorang pria yang terbilang masih muda sudah berdiri di depan pintu. Ia mengenakan kain songke, berpakaian hitam dan berpeci songke pula.

Wajahnya berkerut meskpun masih terbilang muda.

Aku bergegas ke dapur, membuka pintu dari belakang. Aku masuk ke dalam rumah, membuka pintu depan dan menyilahkan tamuku ini masuk bersama dengan mantri Rene.

Sekitar sepersekian detik sehabis dipersilahkan untuk duduk, suasana menjadi tiba-tiba hening. Lengang tidak ada suara. Lalu aku dengan segera memecahkan suasana dengan menanyakan tujuan kedatangan sang tamu ini.

“Saya anak sulung dari bapa Mbolang," katanya, "Kaka kandung dari bapa Tinus. Kami dengar kabar dari salah satu utusan Kraeng Lamba pas dia sedang berkunjung ke kota Ujung Barat. Bapak tua Lorens tidak bisa datang karena juga sedang sakit sekarang ini. Jadi, karena saya sedang libur, maka dia suruh saya ke sini. Kami turut berduka cita atas kepergian bapa Tinus. Meskpun saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau.”

“Terima kasih sudah mau datang berkunjung,” jawabku. Kemudian aku melanjutkan,”Tapi saya, jujur saja, baru kali ini saya tahu kalau bapak punya saudara di kota Ujung Barat. Selama ini yang saya tahu kalau bapak adalah anak tunggal. Tidak punya saudara dan saudari. Setidaknya begitu bapak bilang ke kami dulu kalau kami tanya.”

“Oh bukan. Bapa Tinus ada saudara dan saudari. Bapa Tinus itu anak tengah. Dia punya kakak laki-laki dua, saudari juga dua.”

“Terus mereka di mana sekarang?”

Lihat selengkapnya