Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #10

Perempuan Berbibir Tipis

Sore membentang luas sejauh mata memandang. Aku sudah siap dengan sebotol tuak dan berpakaian rapi, kain songke melilit pinggang dan baju putih di atas. Mendeng ingin ikut, tapi aku tidak mengizinkan. Ia sudah pulang dari sekolah beberapa jam sebelumnya.

“Saya mau main dengan Koja. Kemarin dia ajak saya supaya ke rumah dia. Pas kan, sekarang sama-sama saja kita ke sana,” pinta Mendeng padaku sambil membikin wajah memelas.

“Lain kali saja dulu. Saya mau omong penting dengan Kraeng Dalu. Mendeng di sini dulu. Saya tidak lama.”

“Sudah sore ini. Saya takut.” Dan akhirnya aku menyerah.

“Oke. Oke. Baiklah nona manis tapi penakut. Siap sudah kalau begitu.”

Akhirnya kami bergegas menuju rumah Kraeng Dalu di dekat ujung kampung. Rumah itu bertengger indah dari jauh, sengnya memantulkan cahaya perak matahari dengan indah.

Kami tiba di rumah Kraeng Dalu setelah berjalan selama sekitar lima belas menit di sepanjang jalan tanah yang membela kampung Lamba itu.

Seorang pelayan datang membukakan pintu. Kemudian kami dipersilahkan duduk pada sebuah tikar khusus. Tikar itu adalah hasil anyaman tangan seorang yang pastinya sangat mengerti seni. Sebab ia memadukan semua jenis warna tanpa sedikit pun terlihat berantakan.

Dari dalam sebuah ruangan yang sedikit gelap muncul Kraeng Dalu. Ia mengenakan kain biasa dengan baju kaus di atasnya. Kepalanya ia tak beri topi sama sekali.

“Ada apa ini Pandong?” sapanya langsung menuju ke inti.

“Begini ite Kraeng Dalu, saya ada mau omong sesuatu.”

“Oh ya? Ada mau omong apa?”

Tak ada basa-basi dan pengantar, aku langsung menikam ke inti tujuan kedatanganku.

“Jadi begini, selama ini Ite sudah baik ke saya, Mendeng, Bapa dan Mama. Dari itu semua saya mau ucapkan terima kasih berlimpah. Kemudian Ite juga sudah banyak bantu kami pas Bapa meninggal. Sudah bantu juga carikan informasi soal Mama. Jadi, saya sangat berterima kasih untuk itu, Ite.”

Ia pandangi kami sejenak. Kemudian ia memulai:

“Semuanya itu Pandong karena kalian adalah keluarga yang baik. Tinus itu adalah orang yang paling saya segani. Meskipun saya kepala suku, tapi beliau membuat saya segan. Beliau adalah petani yang paling sempurna menurut saya. Rapi kerjanya. Tegas. Makanya saya segan dengan beliau. Dan saya yakin itu semua turun ke kau Pandong.”

“Terima kasih Kraeng Dalu.” Aku menyerahkan sebotol tuak kepada dalu Lamba, dan aku bilang padanya, ”Mewakili keluarga saya ucapkan terima kasih lagi atas kebaikannya.”

“Sama-sama Pandong,”dia tesenyum pada kami berdua.

Aku akui mataku terus mencari keberadaan Koja. Di mana perempuan itu?

Jadi:

“Ini Kraeng Dalu, Mendeng ini katanya tadi mau main dengan Koja. Koja di mana?” aku beranikan diri bertanya.

Dalam suara rendah ia terangkan:

“Dia lagi tidur di dalam kamarnya. Tidak enak badan katanya. Sudah dari tadi malam.” jawab Kraeng Dalu, sambil menunjuk sebuah menoleh, menujuk sebuah kamar yang jauh dipojokan rumah. Barangkali pula Koja pun tidak mengetahui kedatangan kami.

“Oh.” Ya Tuhan, apakah Koja cerita pada bapaknya kalau semalam kami ada salah paham? Tapi tidak mungkin, sebab jika dia bercerita pada bapaknya, maka barangkali aku sudah tidak ada lagi di Lamba hari ini. Barangkali sudah di kirim ke ladangnya di dekat pantai sana.

“Iya," sambung Kraeng Dalu, memecahkan lamunanku,"Jadi saya bilang ke dia supaya cukup sudah keluar rumah malam-malam ini ke depan.”

“Iya Kraeng Dalu. Saya juga minta maaf. Tadi malam mereka ke rumah, barangkali pulang itu tadi malam dia rasa tidak enak badan.”

“Tidak apa-apa. Pengalaman buat dia.” Syukurlah, Koja tidak menceritakan kesalahpahaman itu pada bapaknya yang punya banyak kuasa atas diriku yang tak ada apa-apanya ini. Dan barangkali karena kenyataan bahwa Koja sedang tidur dan tak enak badan, maka aku putuskan untuk pulang. Aku tidak ingin berlama-lama di rumah itu.

“Baik kalau begitu Kraeng Dalu, kami tidak usah lama-lama. Kami pamit pulang dulu. Soalnya tidak ada orang di rumah. Lampu pelita juga belum sempat kasih nyala tadi.”

Entah mengapa, tanganku mulai berkeringat.

“Baiklah. Kalian tidak sempat minum kopi?”

“Tidak usah Kraeng Dalu, lain kali saja dulu.”

“Baiklah kalau begitu. Hati-hati, sudah gelap begini lagi. Aduh kalian berdua adik kakak ini.”

Dan kami menutup perbincangan.

Sepanjang perjalanan aku hanya memikirkan Koja. Pikiranku mengawang. Jauh, jauh sekali.

“Tadi malam memang kamu dua Koja omong apa saja?” tanya Mendeng ketika kami kembali menuju rumah, memecah awanganku.

“Tidak ada, hanya cerita-cerita,” kujawab, mengelak.

“Cerita-cerita? Hmm. Tapi sampai sakit begitu?”

“Iya kan dia tidak biasa keluar malam. Kau juga kalau keluar malam, pasti begitu.”

“Iya, tapi Koja kalau pulang pasti sapa Mendeng dulu, ini tadi malam pulang seperti huru-hara sekali.”

“Iya mungkin karena sudah terlalu malam, jadi dia takut kalau Kraeng Dalu marah atau cari.”

Mendeng menghentikan langkahnya, memandang aku dengan tatapan agak lain, pandangan yang tak biasa, dan:

“Jago karang cerita saya punya Kaka ini e.”

Lihat selengkapnya