Kehidupan berjalan seperti biasanya. Dan semenjak pulang dari ladang baru milik kraeng Dalu seminggu yang lalu, aku masih tidak mendapatkan kabar tentang Koja. Aku bertanya pada Mendeng perihal itu, tapi Mendeng tidak punya jawaban atas pertanyaanku itu. Entah benar demikian atau dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku, aku pun tak mampu menebak.
Dan semuanya menjadi terbalik, kini perasaan sudah menguasai tubuhku sepenuhnya, bahkan kepalaku sendiri. Barangkali demikianlah fungsi utama cinta, merubuhkan rasionalitas.
Kemudian Mendeng memberitahuku bahwa Koja tidak pernah datang ke rumah selama aku pergi. Itu menambah kegelisahan pada tubuhku. Lalu katanya lagi bahwa mantri Rene sudah masuk minta dan bertunangan. Mendengar kabar itu aku segera bergegas ke rumah mantri Rene, ingin menyalaminya. Aku ajak pula Lukas dan Rikus. Mereka mengiakan. Dan tampak begitu semangat pula.
Malam itu juga, kami merayakan kebahagian mantri Rene dengan membeli beberapa botol tuak di kios kecil om Rius. Kami bertiga meminta maaf karena tidak bisa mengikuti acara masuk minta dan pertunangannya. Ia memaklumi semuanya.
“Tidak apa-apa. Om mengerti dengan keadaan kalian. Lagi pula waktu itu kan kita tidak tahu kalau Kraeng Dalu akan buka ladang baru. Jadi, mau bagaimana lagi. Saya juga tidak bisa tunda kami punya tanggalnya toh. Nanti kacau balo semuanya,” jelas mantri Rene pada kami sambil menikmati tuak.
“Banyak yang ikut kah, Om?” tanya Lukas dari seberang meja yang tidak terlalu panjang itu.
“Banyak. Lumayanlah, ada keluarga, teman-teman. Waktu itu saya ajak Mendeng juga, Pandong.” Aku hanya mengangguk. Diam di sudut meja. Tak pula punya niat berbincang.
“Rikus kau punya teman ini diam saja dari tadi?” mantri Rene menunjuk padaku.
“Lagi patah hati mungkin, Om,” sambar Lukas menuduh.
“Koja?” mantri Rene menyambar cepat.
“Tidak ada. Lagi cape,” aku mencoba mengelak. Dan entah mengapa, akhir-akhir ini aku pandai sekali melakukan itu, mengelak.
“Eh Pandong, kau ini macam kami ini siapa sekali. Kami ini kau punya keluarga juga. Kasih tahu kami kalau lagi ada masalah. Atau kalau kau malu untuk kasih tahu ke Om, kau bisa cerita ke Rikus dan Lukas. Jangan disimpan sendiri. Tidak baik aee. Kan saya juga kalau biasanya ada masalah pasti cerita ke kau sambil minum kopi sore-sore di kamu punya rumah. Dan sekarang pas kau ada masalah, kau malah simpan sendiri,” mantri Rene barangkali ada benarnya. Tapi, apalah masalahku ini. Hanya masalah perasaan.
“Ini semua karena Lukas ini, Om,” aku bilang.
“Kenapa dengan Lukas memangnya?” tanya mantri Rene. Lukas dan Rikus yang sudah mengetahui peristiwa ini hanya bisa tertawa. Dasar anak babi, kubilang.
“Lukas ini minta saya buat puisi untuk seorang perempuan begitu katanya. Perempuan ini baru dia kenal. Terus nah, saya buatlah ini puisi. Ternyata dia kasih ke Koja. Terus bilang itu puisi dari saya.”
“Terus?”
“Terus Koja datang ke rumah. Malam-malam. Itu yang sampai dia sakit itu, Om.”
“Lalu?”
“Dia tanya apa maksudnya itu puisi-puisi. Saya bilang tidak ada maksud apa-apa. Terus mungkin dia rasa dipemainkan begitu, dia sudah tidak mau lagi ketemu saya,” jelasku pada mantri Rene, dan kepada Lukas aku bilang, “Gara-gara anak babi satu ini."
“Adoh kalian ini. Makanya, jangan main-main dengan perasaan perempuan. Tidak baik.”
“Iya Om,” ucap kami bertiga, bersamaan pula.
Kemudian mantri Rene menanyakan pengalaman kami selama menggarap ladang baru milik Kraeng Dalu. Lukas dan Rikus bergantian menjelaskannya pada mantri Rene. Aku hanya mendengarkan sambil menenggak tuak. Pikiranku semua tertuju pada perempuan berbibir tipis itu. Oh, oh, oh.
Ketika sudah menjelang tengah malam lampu gas pun di matikan. Mantri Rene meminta Rikus untuk menyalakan lampu pelita. Kami pun duduk dalam temaram cahaya pelita. Asap rokok melayang-layang di atas kepala kami.
Dan entah mengapa, Rikus, Lukas dan mantri Rene mulai memandangku. Seakan ada sesuatu hal yang ingin mereka sampaikan. Mereka menatapku seolah-olah aku adalah penjahat kelas kakap saja.
“Ada apa?” aku mulai melempar tanya. Hening. Mereka bertiga saling memandang satu sama lain.
“Ada apa, Om?” aku bertanya lagi dan mulai merasakan ada keanehan menyelimuti.
Mereka bertiga memandang satu sama lain. Dan dalam keadaan kurangnya keberadaan cahaya seperti itu, perihal itu menakutkanku. Bukan seperti perasaan takut setan, bukan itu, tapi sebuah perasaan takut yang lain. Yang bentuknya tak pasti, yang pandai betul membuat hati kita merasa terpental-pental.
Kemudian dari dalam temaram pelita, mantri Rene memulai:
“Pandong," ucapnya ragu," Saya tidak tahu bagaimana cara bilangnya ke kau." Ia berhenti sejenak. Kemudian dia menenggak lagi tuak yang ada di depannya. Lukas dan Rikus hanya diam dan menghisap rokok mereka masing-masing sambil menunduk.
Mantri Rene melanjutkan lagi.
“Saya tidak tahu kalau ini beritanya benar, tapi yang saya dengar dari beberapa orang, kalau Koja mau dicalonkan dengan anak dari kepala suku Leke.”
Rangkaian kata-kata itu datang seperti kilat yang menyambar di musim kemerau. Tidak pernah kusangka-sangka datangnya berita itu. Dan kini, hatiku terpental-pental bukan main. Sudah aku katakan, inilah bentuk ketakutan yang paling dalam itu.
Permasalahan baru muncul dalam kepalaku. Dan aku baru menyadari suatu kenyataan lain.
“Tapi bukannya mereka tungku? Tungku cu lagi kan?” aku bertanya, mencoba memastikan benarnya perkiraanku.
“Iya,” kali ini mereka bertiga serempak menjawab.
“Bukannya gereja sudah melarang perkawinan tungku cu begitu?”
“Ya, tapi di sini adat kita kan masih kental, Pan,” sambung mantri Rene.
“Macam tidak ada jalan keluar lain saja, Om” aku kesal.
“Kan itu semua upaya supaya keturunannya berlangsung dalam keluarga itu saja. Kau tahukan Kraeng Dalu ini anaknya hanya satu dan perempuan juga. ”
“Memangnya harus sekali begitu? Ini makanya saya kadang tidak terlalu suka dengan kita punya kebiasaan di sini. Memangnya kita tidak bisa dipimpin oleh perempuan? Kalau saya biasa-biasa saja.”
“Mau bagaimana lagi," tukas mantri Rene,"Tapi bukan soal dipimpin oleh perempuannya yang menjadi masalah. Tapi kan ada darah yang harus di jaga. Kan daripada darahnya keluar ke orang lain, ya lebih baik kita cari yang dekat saja dengan kita, yaitu tungku cu. Jadi begitu, Pan. Kau harus biasakan melihat dari dua sisi juga. Jangan hanya lihat dari satu sisi. Kau kan orang pintar, dan sebagai orang pintar, kau harus bisa menempatkan diri. Ingat, tingkat paling tinggi dari kepintaraan itu letaknya ada pada sikap kita. Tau menempatkan diri, itu sikap seorang yang pintar, bijak. Saya omong begini ke kau Pan, karena dulu saya juga sama seperti kau. Saya selalu mau menang sendiri, pendapat saya lebih baik. Tapi dikemudian hari, saya baru sadar betapa tidak bijaknya saya. Jadi, ya begitulah, Pan.”
Aku terdiam, terpojok. Perkataan mantri Rene seakan menampar egoku.Tapi demi Koja, apa pun itu, aku pasti akan melakukan sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa membuat terbuka semua pandangan orang. Dan aku tahu harus berbuat apa. Aku tahu. Aku sudah menemukan kembali metode lamaku, menulis.