Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #12

Menulis, Menulis, Menulis

Lima hari berlalu dengan cepat setelah aku dan Koja rajin berjumpa pada tempat-tempat kesukaannya. (Tentang ini aku belum yakin untuk menceritakaanya). Dan rasanya lima hari itu berjalan dengan begitu cepat saja. Pun kini ia sudah tak pernah aku temui lagi di Lamba. Ia seperti hilang begitu saja dari Lamba. Seperti embun pagi yang raib disapu matahari. Dan dari mantri Rene-lah aku mendapat kabar bahwa Kraeng Dalu sekeluarga sedang berada di Leke. Ia jelaskan pula bahwa, perkawinan itu sudah tidak lagi sekedar sebuah omongan belaka, tapi benar-benar sebuah kejadian yang nyata adanya.

Tentu gelisah dan sedih perasaan ini. Sebab Koja tidak meninggalkan sesuatu apa pun padaku. Tak ada pesan atau surat. Tidak ada sama sekali. Kabar dari mantri Rene membuat aku kehilangan nafsu makan dan hidup. Haruskah aku berjuang mendapatkannya kembali dengan menulis sebuah artikel dan mengiirim ke koran kota Mborong? Atau pergi berdiskusi dengan romo Leo tentang pernikahan tungku cu itu? Lalu apa artinya kebersamaan selama lima hari ini? Pertanyaan bersemburan muncul di kepala.

Ah perempuan muda, tak bisa kutebak jalan hidupmu.

Ini sudah tidak benar kurasa. Jalan hidup ini banyak likunya. Dari Mendeng kudapat pula kabar bahwa tujuan keluarga Kraeng Dalu ke Leke memang untuk membicarakan rencana perkawinan itu. Aku harus mengakui bahwa aku benar-benar kacau pada saat itu.

Apa yang bisa kuperbuat?

Aku masuk ke kamar, membuka-buka buku catatanku dan mulai menulis tentang perkawinan tungku yang aneh dan seram itu, yang karena suatu kebetulan telah membuat aku muak. Di saat pkiran kacau begini aku hanya bisa berpikir bahwa siapa tahu pada suatu saat kelak, tulisanku ini bisa mengubah cara pandang yang masih kuno itu.

Aku tidak takut lagi. Sebuah perasaan cinta dan kasih telah menyelubungi isi kepala dan hatiku. Tidak bisa lagi kubiarkan tradisi yang kuno ini terus berjalan mengintari bumi Lamba. Kasian anak-anak gadis yang hidup dalam zaman patriarki ini. Mereka masih punya mimpi yang panjang dan terpaksa harus terhempas jauh hanya karena sebuah tradisi yang belum kita tahu betul awal mula jadinya dulu.

Aku hanya muak dengan cara pandang yang masih kuno ini. Kurasa orang-orang hanya menganggap perkawinan sebagai sebuah permainan patriarki. Aku tidak menolak adanya patriarki, tapi setidaknya harus berlaku adil pula bagi orang-orang lain yang berlindung di bawanya. Jadi aku kumpulkan niat sebanyak dan setangguh mungkin. Aku rasa sudah lama sekali aku tidak menulis sesuatu yang serius lagi. Semua itu terhenti sehabis masa sekolahku di Mborong. Dan itu sudah beberapa tahun dulu. Hidup membawaku menjauh dari semua keseriusan itu. Nasib, ya kukira dialah yang menghempaskan aku dari jalan itu.

Maka aku rasa perlu aku terangkan juga pada kalian beberapa hal yang kuanggap penting perihal kehidupanku pada masa sekolah. Bukan, tentunya, bukan untuk aku berniat memamerkan diri, tapi sebetulnya untuk keperluan akan rincinya cerita-ceritaku pada bagian selanjutnya. Tentu ada banyak perihal yang bisa aku kisahkan pada kalian di kesempatan ini tentang masa-masa itu, tapi setelah aku pertimbangkan dengan matang, kurasa aku harus merangkumnya dengan baik dan hanya menceritakan beberapa bagian saja yang betul-betul kuanggap penting dan bisa mendukung ceritaku selanjutnya. Jadi begini:

Ketika itu usiaku memang begitu masih muda. Tapi kurasa pelajaran dan banyaknya buku yang kubaca di perpustakaan sekolah telah membawa pemikiranku lebih jauh dari yang pernah aku rasakan sebelumnya. Pada tempat kecil bernama perpustakaan itulah aku mengenal Plato, Nietzche, Socrates, Tesla, Chairil dengan puisi “Aku”nya yang terkenal itu. Tentu masih banyak lagi perihal yang aku rasakan dan dapatkan dari ruangan kecil itu. Betapa berharganya manusia zaman ini mendapatkan pengetahuan hanya dari beberapa lembar kertas.

Lihat selengkapnya