Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #13

Memeluk Sajak

Tanpa sepengetahuanku, Lukas dan Rikus datang ke rumah dengan wajah lesuh. Tak kudapati keceriahan pada wajah dua kawanku ini. Dan jujur saja, itu bukan suatu yang menjadi kebiasaan mereka. Tak pernah aku jumpai dua orang ini menjadi begini, datang padaku dengan wajah lesuh.

Mereka pun duduk di tenda dapur. Pada saat mereka datang aku sedang memasak makanan babi. Keduanya hanya duduk lesuh, diam. Tidak biasanya mereka memasuki rumahku ini dengan tampang begitu.

“Kau sudah dengar kabar?” tanya Lukas padaku, wajahnya masih menunduk.

“Kabar apa?” kutanya balik, sedikit ragu.

“Koja akan kawin,” sambung Rikus dari seberang tenda.

“Saya sudah tahu dari mantri Rene. Tapi saya tidak tahu kalau itu memang benar-benar akan terjadi.”

“Perkawinan itu benar, Pandong,” sambar Lukas.

“Kenapa kalian berdua yang lesuh?” tanyaku dengan suara yang kurasa begitu parau.

“Kenapa e, ketika semuanya mau berjalan dengan lancar, malah ditikam tengah jalan begini,” kali ini Rikus menimbrung, sambil menarik rokok dari mulutnya. Asap mengepul jauh ke langit-langit dapur.

“Gagal rencana kami dua Rikus sudah Pandong,” seru Lukas.

“Iya rencana kalian dua tidak cukup hanya dengan puisi, manusia buta sempular,” sambarku. Kepalaku berdengung. Aku merasakan pandanganku kabur. Aku rasai mukaku menggerabak karena jompakan darah. Apakah ini karena asap dari tungku api ataukah karena berita Koja akan kawin?

“Kau menangis?” tanya Lukas ketika melihat aku mengusap-usap mataku dengan lenganku. Aku tahu otak dua orang ini, mereka pasti akan menertawaiku karena aku menangis karena perempuan. Aku sudah tahu otak dua manusia ini. Jadi aku mengelakan dan mengatakan tidak. Tak mau aku diketawai oleh dua manusia otak sumbu pendek ini. Bisa jadi bualan aku dibuat mereka. Lantas aku tidak mau melihat pada mereka. Agar tidak terlalu kentara bahwa aku sedang menangis. Tak bisa kutahan rasa sakit hati ini Tuhan. Mengapa kau ciptakan rasa semegah ini?

Aku bisa rasakan Lukas dan Rikus datang mendekatiku. Ah, aku sudah bayangkan gelak tawa yang akan terjadi ketika mereka melihatku begini. Ah, persetan.

Tapi tidak kusangka-sangka, dua kawanku yang bejatnya minta ampun ini, justru duduk di sampingku dan memeluk aku dengan erat. Barang sekitar lima menit mereka memelukku tanpa gerak. Tak ada suara. Diam. Dan aku mendengar kedua orang yang sudah kuanggap saudara sendiri ini, ikut menangis. Keadaan ini membuatku tak kuat menahan tangis pula.

Dan dari dalam pelukannya, Lukas berkata bahwa ia menyesal sudah memberikan dua puisi itu pada Koja jika begini ujungnya.

“Justru saya senang, Lukas. Setidaknya bukan hanya saya yang berjuang, tapi kalian berdua juga.”

“Saya tadi dengan Rikus pas jalan ke sini hanya pikir bagaiaman kau punya perasaan dengar ini kabar nanti,” jelas Lukas sambil mengusap wajahnya.

“Tidak apa-apa, mau bagaimana lagi sudah. Jalannya sudah begini jadinya,” seruku sambil menepuk-nepuk bahu dua kawanku ini.

Mereka melihatku begitu kuat. Tapi sebetulnya di dalam aku bisa rasakan sebuah perasaan yang sudah aku bangun baik-baik beberapa bulan ini, runtuh, jatuh, berantakan, seperti menara babel. Aku bisa rasakan kekacauan pada isi kepala dan hatiku. Ada sebuah perasaan dalam hati ini. Perasaan yang betul-betul menyiksa. Inikah yang dinamakan patah hati?

Di dapur yang kecil dan sederhana itu kami duduk dalam diam barang hampir sejam lamanya. Aku memandang ke tungku api dan sibuk dengan masakan babi. Lukas duduk di pintu menuju kebun sambil menarik nafas panjang setiap lima menit. Sedangkan Rikus membaringkan dirinya di atas tenda, menatap atap yang terbuat dari alang-alang itu.

Tidak ada perbincangan. Diam. Kurasakan waktu berjalan begitu lambat. Dan pikiranku kembali tertuju pada Koja, perempuan berbibir tipis itu. Apakah kedatangan terkahirnya itu adalah sebuah perpisahan? Ah, Koja kau terlalu muda untuk menjadi milik seseorang yang tidak kau kasihi. Barangkali kalau aku terlahir kaya, kau sudah menjadi milikku dari semenjak kau menginjakan kaki pertama kali di rumahku.

“Kau tidak dapat surat dari Koja?” tanya Lukas memecah lamunanku.

“Tidak, Lukas.”

“Pesan terakhir?” sambung Rikus dari tenda.

“Kau kira dia mau mati, kah?” sambar Lukas dari ujung pintu.

“Tidak ada, Rikus.”

“Begitulah jadi anak Kraeng Dalu e Pan, harus ikut keputusan dia semua,” ujar Lukas.

“Barangkali e,” kujawab singkat.

“Mau bagaimana lagi sudah,” ucap Lukas, sambil menghisap rokoknya.

“Tapi saya belum pasti betul kalau belum dengar langsung dari Koja. Saya harus dengar langsung dari Koja. Soalnya dia sudah janji dengan saya kalau dia itu hanya milik saya seorang. Dan kalau benar terjadi ini perkawinan saya akan berjuang untuk menggagalkannya dengan tulisan-tulisan saya. Saya sudah janji begitu.”

Mereka berdua hanya diam. Tidak ada suara sama sekali datang dari mulut mereka.

“Tapi bagaimana mungkin saya bisa lawan orang-orang paling berkuasa ini. Mereka saja tidak baca koran. Tidak suka diatur-atur. Apalagi hanya oleh tulisan kita. Kalau mau bangun jalan aspal di kita ini sudah dari dulu, tapi apa, selalu ditolak kan oleh mereka. Karena mereka takut kalau ada jalan aspal, askses lebih muda dari desa ke kota, begitu juga pengetahuan pasti cepat datangnya ke desa-desa, ke kampung-kampung. Orang-orang tambah pintar. Tidak lagi pandang orang-orang seperti mereka sebagai orang besar. Kalau kalian baca di luar sana suda tidak ada lagi raja-raja lokal. Semuanya sudah serba ada hukumnya. Ada aturannya. Di kita saja yang masih begini. Heran saya.”

“Begitulah Pan, kita orang kecil begini bisa apa?” sambut Lukas.

“Saya kalau dengar kau omong begini Pan, takut saya e,” sambar Rikus lagi.

“Saya benci ini kampung. Benci sekali.”

Lihat selengkapnya