Kehidupan mesti tetap dilanjutkan.
Hari ini adalah Kamis yang cerah dan hangat. Waktu menunjukan pukul sembilan pagi. Aku, dengan beberapa karung yang penuh di tangan, segera menyelinap masuk ke dalam rumah. Angin yang sedikit kencang meliuk dan berdengung di balik punggung. Debu-debu disapunya menuju selatan Lamba.
Cahaya matahari jatuh menekan ke bumi. Menciptakan bayang-bayangan dari pohon-pohon jati di luar rumahku. Mengusir udara lembab yang berdiam pada tubuhku. Membakar kalori pada tubuh sepasang kupu-kupu yang berhinggapan di tepi jendela. Ah, alangkah cepat bumi memindahkan hari dan tanggal pada kelender-kelender penaggalanku.
Sebuah bunyi dari kejauhan menyadarkanku. Aku sedikit terkejut. Kemudian dengan segera aku sudah berada di lorong menuju dapur yang berbau kertas-kertas koran yang kubakar sebagai umpan api dan aroma masakan babi.
Lukas dan Rikus sudah menunggu di dapur dan Mendeng sudah sedari tadi berangkat ke sekolah. Dan aku belum juga mendapat kabar dari Koja. Rumahnya sepi, hanya beberapa pelayan yang setiap hari rajin membersihkan halaman rumah. Ketika kuhitung kembali semenjak hari kepergiannya, ini hari sudah menjadi hari ke lima belas.
Dan tak ada hari yang lewat tanpa aku memikirkannya. Tapi, apalah daya, kehidupan mesti tetap terus dijalankan.
Hari ini adalah hari panen. Sayur di ladangku, advokat, nanas, papaya, dan kelapa. Lukas dan Rikus sudah sedari tadi bersiap-siap. Ini adalah hari besar, kata mereka. Sebelum ke ladang, aku sempatkan diri untuk mampir ke kubur Bapak. Aku sudah membeli sebotol tuak dan rokok untuk aku persembahkan pada bapak. Juga sebagai tanda bahwa hari ini aku akan panen. Menurut tradisi, seorang anak mesti memohon restu pada sang bapak sebelum pergi memanen sesuatu di ladang. Dan hari ini aku mengikuti tradisi itu. Bukan karena aku tunduk pada tradisi, tapi ada benarnya pula tradisi itu aku kira. Ada nilai penghormatan padanya.
Maka di sinilah aku, dengan sebotol tuak dan sebatang rokok, aku persembahkan segala urusan panenku hari ini pada Bapak. Sebelum kuucapkan niatku aku tuangkan tuak itu pada sebuah gelas dan kubakar pula sebantang rokok dan kusimpan pada sebuah piring yang sudah ada di sana semenjak hari penguburannya.
Entah mengapa hari itu aku betul-betul merindukannya.
Lantas, setelah ritual kecil itu, kami pun bergegas menuju ladang. Sesampai di ladang, kami melakukan tugas kami masing-masing. Lukas memanen nanas dan papaya, aku berurusan dengan sayur, sedangkan Rikus berkecimpung dengan advokat dan kelapa, sebab ia pandai memanjat pohon.
Matahari semakin naik dan semakin panas menekan bumi. Tapi itu semua tidak kami hiraukan. Sebab sudah kami bikin janji bahwa pekerjaan ini harus habis hanya dalam tempo waktu satu hari saja. Maka dengan begitu, kami bekerja dengan penuh kegigihan, tak pandang panas yang menekan kulit.
Pada pukul dua belas, aku perintahkan untuk berhenti. Rikus turun dari pohon kelapa, dan Lukas sambil memikul karung penuh nanas berjalan menuju tempat aku berada. Aku katakan pada mereka saatnya makan siang. Sebelum berangkat sekolah, sekitar pada pukul lima pagi Mendeng sudah menyiapkan semuanya untuk kami. Mulai dari memasak nasi, membikin sayur dan menggoreng ikan teri yang dibalik tomat kecil dan lombok.
Tentu kami makan dengan lahap. Masakan Mendeng memang selalu nikmat untuk dilahap. Ia pandai memasak seperti Mama. Sedangkan aku pandai menghabiskan makanan seperti Bapak. Ah keluarga kecilku, tengah pecah kapalnya.
Kami makan dalam diam. Barangkali memang karena lapar.
“Besok kita jalan jam berapa ke kota Pan?” tanya Lukas dari balik piringnya.
“Kemarin, pas saya tanya om Rius, katanya jam 5 sore. Supaya cepat sampai Kota katanya. Supaya kita bisa sampai jam 3 pagi, pas masih bisa bongkar muatan di tempatnya Aci.”
“Aci yang Cina?”
“Iya Aci. Siapa lagi yang nama Aci di kota Mborong hah?”
“Yang suaminya baru saja meninggal itu, kan?”
“Iya.”
“Kenapa sampai ke Aci? Biasanya kita langsung ke pasar. Ke penunggu di sana.”
“Jadi begini, satu minggu lalu om Rius bilang ke saya, kalau Aci ini dia ada buka toko buah begitu. Jual buah-buahan dan lain-lain begitulah. Jadi dia butuh pemasok. Nah, om Rius ini bilang kalau di Lamba kita ini ada yang punya ladang buah-buahan dan sayur-sayur. Kan istri pejabat-pejabat di kota kan tidak suka ke pasar, mereka suka beli yang di toko-toko. Di sana juga ada pendingin begitu kata om Rius. Jadi buah-buahan dan sayur-sayuran seperti ini bisa tahan lama. Tapi kalau kelapa, nanti kita tetap jual ke om Rikar, karena memang dia yang biasa buat kopra dan jual kelapa muda.”
“Oh begitu. Semoga ada anak perempuan itu Aci em.” Lukas lagi.
“Kau ini perempuan terus saja,” aku bilang.
“Kan hitung-hitung cuci mata toh. Cina teman, siapa tahu mereka mau dengan kita ini.” sambar Lukas lagi.
“Eh, jangan menghayal berlebihan. Muka jelek begitu juga,” tukas Rikus.