Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #15

Perjalanan, Sajak-Sajak, dan Manusia Transisi

Dalam perjalanan yang melelahkan menuju kota, aku sempatkan pula menulis puisi perihal Koja. Dan tentu aku lakukan ini diluar pengawasan Rikus dan Lukas. Sebab, bisa-bisa aku dinasihati lagi habis-habisan jika mereka mengetahui. Aku tulis puisi ini ketika mereka lelap tertidur. Bukan maksudku untuk mengenang Koja secara persona, tapi lebih kepada apa yang biasa kita sebut sebagai kenangan. Itu adalah alasan dasar aku membikin puisi ini. Lagi pula, kertas, sebuah penempuan termasyur yang pernah ada itu, masih membutuhkan guratan pulpenku.

Jadi di sanalah aku, duduk di bagian paling belakang oto kol om Rius dan menghabiskan malam dengan menulis puisi, sajak. Kucoba untuk tidur, tapi semacam ada suara lain dalam kepala. Meneror aku sepanjang malam. Maka setelah sekian tikungan kami lalui, beginilah jadinya puisi-puisi itu:

I/ Barangkali, Ini Puisi Terakhir.

Jalanan dan malam, memisahkan kau dari padaku. Juga adat dan tradisi, membatasi aku dari dikau. Lihat, aku melihat sepasang burung memeluk tubuh lain. Dan aku membayangkan dikau.

Cahaya bulan berubah menjadi tanggung dan temaram malam ini. Di sini: hilang aku, isi kepala dan dikau.

Ada pula sekawanan burung liar yang datang membawa bayang wajahmu. Meski disambar udara malam, bayang tubuhmu tetap teguh selalu.

Aku selalu mengingat-ingat hari itu, di bawah temaram lampu yang tidak pandai sembunyi, di bawah atap alang-alang rumah, kau merambah malam dengan rambut yang di derai. Dan pinggangmu memeluk wangi sabun yang kau taburkan pada kepang-kepang rambutmu.

Sepasang manusia asing, berbincang tentang cara baru membaca zaman.

Aku memberi nama hari itu: hari orang asing sedunia. Dan kita adalah penemunya.

Tapi, tiba-tiba saja waktu menenggak kita pergi. Habis-habisan. Pada jalan masing-masing. Kau pergi memeluk tubuh lain, dan aku pulang memeluk bayangmu. Hingga hampir lupa caranya memeluk tubuh sendiri.

Lihat, ada sepasang pohon sedang memadu kangen di seputaran jalan ini. Dan di kios-kios, tidak ada yang berminat mencari lamunan. Selain aku, yang membeli rokok dengan sepasang matamu yang penuh berkat.

Barangkali, memang kau masih pagi untuk direngkuh. Masih segar untuk kupinang. Tapi jika Maha Dewa berkenan, kau akan tiba di pelabuhan yang tepat. Pada nahkoda yang pas. Pada tangan lain yang lebih hangat.

Pada suatu masa di hari depan, aku yakin, kau tidak lagi merindukan masa-masa ini. Masa di mana kau bingung mencari cinta dan permata. Aku ingin kau melihat kehidupan yang rekah di masa lalu, dengan senyum pada pipi. Tanpa sesal dan seduh sedan. Hanya sukacita.

Dan aku betul berharap, dikau bahagia selalu. Bahagiamu, adalah juga bahagiaku.

Jalanan dan malam. Adat dan tradisi. Kali ini betul-betul memisahkan kau dari padaku. Di sini malam mengepul, rokok membubung, rindu menumpuk. Entah rindu ini bertuju pada dikau atau Maha Dewa, aku tidak tahu. Barangkali mungkin pada dikau, sebab tubuhmu pernah dekat pada hatiku.

Malam. Senja. Petang. Pagi. Sore.

Lihat lima waktu itu. Batas antara aku dan kerinduan.

Ah, tiba sudah kita diakhir puisi ini,

dan saatnya kutanya:

Haruskah kutunggu kau sampai akhir?

Lihat kalimat itu. Tanda baca itu menunggu jawabmu.

Kapan?

Di kehidupan ini atau yang lain?

 

II/ Cinta

Lihat selengkapnya