Tibalah kami pada pukul tiga pagi di depan toko milik Aci. Sebuah toko bergaya Tiongkok berpelataran luas dan terpelihara rapi dengan pagar hidup. Pintu dan jendela depan tertutup. Catnya serba merah. Kami kemudian berdiri di depan pintu toko, mengetuknya. Yang membuka perempuan setengah baya. Aku kemudian memperkenalkan diri, namaku, dan bilang ingin berjumpa dengan Aci. Aku katakan bahwa kami dari Lamba, membawa pesanan buah-buahan. Perempuan itu memandang lama ke arahku, sebelum tiba-tiba tersenyum.
“Oh ini yang namanya Pandong?” serunya dari balik pintu dalam logat khas Mborong.
Aku mengangguk kaku sambil merapikan rambutku yang jatuh menutupi mata. Kemudian ia berjalan keluar melewati kami, dan langsung menuju ke belakang oto kol om Rius. Sedang om Rius sudah lelap tertidur di balik kemudi.
“Ayo diturunkan semuanya. Simpan saja di dalam toko, nanti pas pagi karyawan saya yang rapikan,” pintanya, lebih lunak.
Lantas dengan siap sedia kami segera menurunkan semua pesanan itu. Sayuran dari berbagai jenis, advokat, nanas dan papaya. Semuanya kira-kira hampir dua puluh lima karung besar. Aci teliti memperhatikan kami menurunkan karung-karung itu. Setelah semuanya kami angkut ke dalam tokonya yang sangat luas dan besar itu, Aci meminta waktuku untuk menerima uang pembayaran dan bukti pembayaran.
“Semua uang dan kuitansi ada di dalam rumah, ayo ikut saya ke dalam,” ajaknya dalam suara yang menggelegar. Pagi semakin terang, aku bisa rasakan saat itu waktu beranjak dengan cepat. Ayam sudah mulai berkokok di seberang jalanan. Sudah pagi saja.
Aku mengiakan ajakan Aci, meski takut dada ini. Tapi aku singkirkan semua perasan semacam itu dan terus berjalan mengekori Aci seperti anak ayam mengekori induknya. Seperti Koja mengekori mamanya. Ah Koja, kau lagi. Sampai kapan kau bisa kulupakan?
Kami melewati lorong yang berbau aneh dengan sebuah karpet yang kukira sudah lumayan usang. Di satu ujungnya, sebuah bingkai foto berwarna di gantung di dinding yang serba di cat putih. Pada bingkai itu terpampang seraut wajah yang lumayan besar, sebuah wajah lelaki berusia sekitar 40-an tahun, tak bekumis, matanya sipit, tampan dan enak untuk dipandang. Aku menebak jikalau itu adalah suami Aci yang meninggal beberapa bulan lalu. Aku pun mendapat kabar itu dari om Rius ketika ia memberitahuku tentang pesanan Aci.
Di atas foto itu sebuah salib besar menggantung. Di bawah salib itu ada sebuah gua dan patung bunda Maria berkanjang di sana. Aku sempatkan sedikit untuk memberi tanda salib pada tubuh sendiri, menghormati ibunda Maria.
Kini kami memasuki ruang tamu. Ruang tamu luas itu kami lintasi. Terasa olehku, langkah-langkahku tidak tetap tapi masih dalam ritme yang normal. Kami kemudian memasuki ruang belakang yang bahkan lebih besar lagi. Tapi di sini, dinding seluruhnya terbuat dari kayu jati yang dicat cokelat muda. Di pojokan berdiri sebuah meja makan dengan empat kursi. Di dekatnya terdapat sebuah lemari piring. Sebuah gantungan lampu dengan tiga bolham di dalamnya menggantung di atas kepalaku. Di atas meja makan berdiri sebuah tempat bunga dari sebuah gelas besar. Bunga-bunga berwarna-warni bersembulan dari dalamnya dengan serasi dan cantik. Alamak, rumah macam apa pula ini.
Melihat mataku terpancang pada lemari pajangan foto yang menempel pada dinding ruangan itu, Aci mendekatiku dan ia bawa aku ke sana. Dinding itu berisi penuh dengan foto-foto. Di dalamnya terpajang banyak foto — yang tentunnya tak pernah kulihat sebelumnya.
“Jangan marah Ci, saya tidak bermaksud melihat,” desauku penuh ragu.
“Oh tidak apa-apa, Pandong,” ujarnya dalam logat Lamba yang sediktit ia paksakan.
Kemudian Aci mulai menjelaskan padaku satu-satu foto itu, mulai dari foto suaminya, keluarganya, kemudian anak-anaknya, dua anak perempuan, dan sebuah foto yang membikin mataku membeliak. Yaitu foto seorang anak perempuannya dengan presiden Suharto ketika berkunjung ke kota B pada tahun 1982.
“Ini anak Aci yang di foto?” aku menunjuk foto itu dengan penuh niat untuk kuketahui.
“Ya, anak yang sulung. Dulu kami tinggal di B dan yang sulung ini sekolah di sana, dan saat itu dia masih SD, masih kecil dan kemudian jadilah foto ini,” jelasnya.
“Bagaimana rasanya saat itu Ci ketemu presiden?” tanyaku lagi.
“Oh, tentu sangat senang Pandong. Senang sekali.” jawabnya lagi meyakinkan.
Pertanyaan macam apa pula itu Pandong? Tentulah mereka senang berjumpa dengan Presiden Suharto. Aku masih ingat kedatangannya ke B pada tahun 1982. Ia datang dalam rangka ikut ambil bagian dalam panen raya di B. Pada saat itu, Indonesia lagi semangatnya membangun perekonomian, ingin sekali menjadi lumbung padi terbesar di ASEAN, bahkan dunia. Dan itu kunjungan Presiden Indonesia yang pertama ke daerahku yang besar dan luas itu. Manggarai, salah satu wilayah besar di Nusa Tenggara Timur waktu itu. Dan B menjadi tujuan utamanya, sebab banyak sekali sawah di kota itu pada masa itu.
Tapi, aku mengalami nasib malang ketika itu sebab aku tak dapat menghadirinya. Itu adalah satu penyesalan terbesarku. Bukan karena aku tidak ingin datang ke B, tapi lebih kepada perjalanannya yang panjang dan memakan waktu yang lama. Perjalanan dari Lamba ke B memakan waktu dua hari perjalanan dengan oto kol, dan sekitar empat hari menunggangi kuda. Dan dengan usiaku yang masih belasan ketika itu, aku tidak mendapat izin dari bapak dan mama. Terlalu beresiko, kata mereka.
Di koran-koran penuh dengan berita kedatangan beliau. Aku masih ingat satu judul koran yang pernah kubaca di perpustakaan sekolah: “Suharto: Presiden Indonesia yang Pertama Kali mengunjungi Manggarai.” Bukan main memang kedatangannya pada saat itu. Dari koran saja aku bisa merasakan keseruan dan keramaiannya. Aku tidak bisa membayangkan jikalau ikut hadir serta pada saat itu.
“Kamu dulu ikut?” tanya Aci memecah lamunanku.
“Tidak sempat Ci, saya dilarang bapa dan mama. Terlalu jauh soalnya,” aku menjelaskan.
“Oh iya juga. Terlalu jauh kan?”
Aku mengangguk pelan, dan pandangku masih tertuju pada foto itu.
Dan, oh dan sebuah bunyi pintu mengagetkan aku. Perihal itu membuat aku menoleh ke arah datangnya bunyi itu. Aci mengikuti pandangku juga. Dan segera kemudian muncul seorang gadis berwajah putih penuh, berkain songke yang pas dengan ukuran pinggangnya, berbaju putih dihiasi sebuah kalung salib pada lehernya yang mulus, dan rambutnya dikepang dua.