Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #17

Mawar Itu Sudah Dipetik Tangan Lain

Aku sulit sekali bangun karena aku merasa lelah oleh perjalanan kami kemarin pulang-pergi dari Lamba ke kota Mborong. Dan sambil membakar rokok, aku bertanya pada diri sendiri kegiatan apa yang pantas aku lakukan pada hari ini. Dan aku memutuskan untuk tidak pergi ke mana-mana.

 Hari itu Minggu. Dan Mendeng pasti sedang di gereja, mengikuti sekolah minggu.

Karena lapar, aku bergegas ke dapur, menggoreng sebutir ayam kampung dan memakannya dengan satu piring nasi, tanpa sayur. Setelah makan, aku merasa sedikit bosan dan aku berjalan tak tentu arah dalam rumah yang beratap alang-alang ini.

Kemudian, barangkali karena semua kebosanan itu, aku mulai membolak-balikan buku-buku catatanku. Ada beberapa tumpukan buku yang sudah jarang pula aku baca. Mereka tersusun rapi di dalam lemari kayu yang sudah sedikit reyot, aku mencoba mengeluarkannya dan melihat-lihat kembali isi tulisan-tulisanku sendiri.           

Aku membakar satu batang rokok lagi.

Tak lama kemudian, karena ingin melakukan sesuatu, aku mengambil sapu yang terbuat dari ijuk, dan mulai membersihkan rumah. Aku merasa rumah ini sudah semakin besar setiap harinya. Barangkali karena berkurang penghuninya. Atau mungkin memang karena aku jarang memperhatikannya secara detail.

Ketika hendak membersihkan kamarku sendiri, perasaan itu muncul lagi. Perasaan bahwa ruangan itu terlampai besar untukku sekarang. Dulu, kami berempat sering menghabiskan malam di sana. Bercerita, bercanda ria, tidur-tiduran, dan sekarang aku bahkan tidak mengenal isinya lagi.

Kupandangi sebentar kamarku ini dan aku mulai memikirkan untuk memindahkan beberapa barang yang mungkin sudah tidak pantas lagi berada di sana. Aku mulai menimbang-nimbang akan barang apa yang harus kubuang terlebih dahulu. Di sana ada sebuah kursi kayu yang sudah lapuk salah satu kakinya, lemari buku yang sudah sangat tua, stensilan mata pelajaranku ketika sekolah, dan beberapa tumpukan koran bekas.

Setelah kupikir-pikir kembali, ada baiknya aku membiarkan Mendeng saja yang mengurus perihal kerapian di rumah ini. Sesungguhnya ini bukan tugasku. Tak ada darah rapi yang mengalir dalam tubuhku. Lantas aku meletakan kembali sapu ijuk itu pada tempatnya, berjalan ke luar rumah dan duduk dibangku panjang yang terbuat dari pohon jati putih. Aku memandangi ruang lepas yang berada di hadapanku sambil menikmati suasan pagi minggu yang anggun ini.

Ah, barangkali aku belum menceritakan tentang hari Minggu di kampung Lamba. Baiklah begini:

Minggu adalah hari kesukaanku. Lamba pun membikin aku semakin menyukai hari itu. Bukan karena minggu adalah hari Tuhan dalam agamaku, tapi karena suasananya membikin tenang jiwa dan raga.

Bayangkan saja, rumahku menghadap ke jalan dan ufuk barat. Pagi yang cerah dan indah seringkali menambah keagungannya. Dari muka rumah aku bisa pandang langit lepas seluas mungkin. Bukit dan hutan rimba di balik kampung pun dapat kulihat dari muka rumah.

Rumahku kebetulan berada lebih tinggi dari jalan panjang yang telanjang itu. Sekitar lima belas meter jaraknya dari jalan. Sudah Bapak pertimbangkan dulu, katanya, nanti suatu saat jalanan ini akan diaspali. Mungkin bukan pada zamanku masih hidup, tapi pada masamu. Jadi ketika membangun jalanan beraspal pasti nanti akan ada yang namanya pelebaran jalan dan segala macamnya. Maka alangkah baiknya kita membangun rumah sedikit lebih jauh dari jalan agar nantinya rumah kita tak mendapat gangguan dari pihak yang membangun dan melebarkan jalan. Aku kira masuk pada akalku penjelasan ini. Maka begitulah jadinya rumahku ini, meski beratap alang-alang, ia bertengger agung di atas sebuah dataran yang lebih tinggi. Dari sini bisa aku pandang seisi kampung Lamba dan segala rutinitasnya.

Pada waktu pagi begini, memang suasana masih lumayan sunyi. Sebab anak sekolah masih berada di gereja, mengikuti sekolah minggu. Sedangkan para orang tua dan anak-anak muda lainnya sedang tidur atau menikmati kopi minggu pagi di rumah atau pelataran masing-masing. Ada pula yang sehabis gereja, pergi ke kali untuk menagkap ikan atau sekedar berbaring di gugusan batu-batu yang lempeng.

Yang paling aku sukai adalah ketika hari sudah mulai sore. Di situlah letak keindahannya. Pada saat seperti itu, matahari sudah berkurang garangnya, anak-anak muda mulai bergegas menuju tanah lapang untuk bermain bola sepak. Sedangkan anak-anak gadis yang baru beranjak remaja, berlari ria di depan jalanan, bermain-main tali atau petak umpet. Atau pula para ibu rumah tangga mulai bergegas bergerombolan menuju kali untuk mandi dan menyuci pakaian. Sedangkan kaum bapak-bapak pasti akan berkumpul di tengah kampung menikmati tuak sore sambil berbagi cerita.

Lalu, setelah semuanya itu, ketika hari bergegas lebih sore, jalanan akan kembali lebih lengang dan sepi. Pada saat begitu, orang-orang kampung sudah masuk ke dalam rumah masing-masing dan mulai menikmati waktu bersama. Dan di situlah letak pertunjukannya.

Sebab ketika itu lampu pelita mulai dinyalakan. Lampu gas juga mulai dipompa. Binatang hutan mulai masuk ke dalam sarangnya. Suara jangkrik dan kodok pun terus bergema memenuhi Lamba. Di atas pohon jati di depan rumah, langit mulai gelap, tak ada lagi sinar perak matahari. Udara semakin dingin. Wangi tumisan sayur berterbangan menuju langit yang gelap. Jendela-jendela dari kayu-kayu jati mulai ditutup dan lonceng gereja pertanda angelus berdentang tiga belas kali dari menara gereja.

Ketika malam datang, cuaca akan berubah lagi sedikit. Di atas atap, langit menjadi benar-benar gelap, dan bersama dengan datangnya cahaya bulan, jalanan telanjang di depan rumah tampak indah untuk dipandang. Situasi akan berubah kembali ketika malam. Ada beberapa anak-anak muda berkumpul di pinggiran jalan, sambil meminum tuak, berbincang cerita dan bernyanyi ria. Terkadang aku dengar lagu-lagu gereja. Bahkan pula lagu-lagu daerah.

Kemudian menjelang tengah malam, ketika gelap semakin pekat dan suhu semakin dingin, Lamba akan kembali sunyi seperti sebuah tempat kosong. Ketika itu bintang-bintang yang baru naik ke langit akan terlihat begitu pucat dari halaman rumah karena tertutup kabut yang tebal. Di saat begitu pula biasanya aku, Lukas dan Rikus akan memulai menekan malam dengan sebotol tuak yang biasanya kami beli di kios om Rius. Sebuah pelita yang sudah aku isi penuh minyaknya akan kami nyalakan dan simpan di tempat yang lebih tinggi. Cahayanya melemparkan pantulan pada rambut-rambut kami yang tak pernah mengkilat. Lalu kami akan melontarkan gurauan-gurauan yang menyebabkan tawa.

Lihat selengkapnya