Sudah dua kali aku menolak menemui Koja. Aku tidak bisa dan ingin mengatakan apa-apa kepadanya. Aku tidak ingin berbincang dan aku tak pandai melihatnya dipinang lelaki lain. Justru pada saat itu yang menarik perhatianku adalah petuah dari Lukas dan Rikus untuk mencari tahu asal dan usul bapak dan keluargaku. Memang setelah kupikirkan kembali dengan kepala dingin ada benarnya juga petuah dua kawanku ini.
Lantas aku bincangkan perihal itu pada Mendeng. Ia menyetujuinya dan mengatakan padaku bahwa yang terpenting aku harus tetap kembali kepadanya, apa pun dan bagaimana pun caranya. Aku berjanji dan ia memelukku. Itu kali pertama ia memeluk aku. Pelukan, bagi orang-orang kampung adalah sebuah ketidaklaziman. Tapi adikku ini tidak canggung untuk memeluk orang yang paling ia sayangi.
Setelah kedatangan surat dari Koja, seluruh hariku kulewatkan untuk memandangi perubahan warna yang menghantarkan siang ke malam hari. Aku terlentang di ranjang barang hampir dua minggu. Ladang tidak terurus olehku. Semuanya, semuanya, Mendeng yang mengambil alih.
Aku tidak tahu berapa kali aku bertanya pada diri sendiri tentang contoh orang yang keluar dari perasaan patah hati yang mendera, mematahkan segala harap dan ingin. Kemudian di lain kesempatan aku mulai menyalahkan diriku sendiri karena sebelumnya barangkali aku tidak betul-betul berjuang untuknya. Seharusnya aku mesti berjuang lebih kuat, tapi persoalannya adalah aku hanya manusia biasa. Lelaki muda yang tak punya kuasa.
Aku pun setiap hari mencari-cari pelarian atas perasaan yang patah itu. Maka aku mulai kembali sesuatu yang pernah kutinggalkan dulu yaitu membaca dan menulis. Aku pikir-pikir sudah lama pula aku tidak menulis karangan, atau membaca karangan orang lain. Ada banyak buku dalam lemari reyot milikku, tapi sudah jarang aku sentuh.
Dalam hari-hari yang penuh keperihan itu, aku lantas mulai membuka kembali catatan-catatan yang pernah aku tulis pada masa sekolah dulu. Aku baca bolak-balik. Mencoba menghubungkan kembali tulisanku itu dengan isi kepalaku saat ini. Selain itu aku buka kembali buku-buku lama yang pernah kubeli di kota. Buku puisi milik Chairil yang kudapat dari romo guru Bahasa Indonesiaku. Ia beri padaku sebab aku pernah menjuarai lomba menulis puisi pada masa sekolah. Aku baca kembali dan kutemukan diriku sendiri dalam setiap kata yang Chairil tumpahkan dalam sajaknya.
Aku mengumpulkan kembali koran-koran bekas pemberian mantri Rene, menggunting artikel-artikel yang kurasa bagus untuk kupelajari isinya dan kutempelkan dalam buku catatanku. Aku beri pula sedikit catatan pribadiku tentang tulisan-tulisan itu supaya maksudku di kemudian hari ketika aku membuka kembali catatan itu aku masih bisa mengingat sekiranya apa yang aku pikirkan pada saaat ini.