Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #19

Sebuah Mimpi yang Menuntun Nasib

Rumah bapa tuaku ada di Kota Ujung Barat. Ke sana aku akan pergi. Mencari tahu asal-usul kehidupan ini. 

Pada Mendeng aku serahkan semua uang hasil panen. Aku hanya akan membawa beberapa bagian uang, untuk bekal perjalanan dan kehidupan di daerah orang. Rikus menawarkan diri lagi untuk ikut, tapi aku menolak. Aku terangkan padanya bahwa aku menghargai keinginannya, tapi aku harus pergi sendiri. Aku lebih suka begitu. Ia menghargai keputusanku. Dan kepada dua kawanku ini, aku menitipkan Mendeng dan ladang. Aku katakan pada mereka jika Aci memesan lagi, hantarkan saja dan serahkan sebagian uang kepada Mendeng. Mereka menyetujui.

Aku datangi pula mantri Rene, tanta Beti dan Om Lukas. Aku berpesan pada mereka untuk menjaga Mendeng selama aku pergi. Aku berjanji bahwa aku akan kembali dalam waktu sekitar dua atau tiga minggu. Aku meminta ampun pada mantri Rene sebab tidak akan sempat mengikuti perkawinannya. Ia memaklumi semuanya.

Dan perkawinan Koja akan digelar pada tanggal sepuluh Februari tahun 1993. Aku berharap aku bisa menghadiri acara perkawinan itu, sebab aku pun merasa bahwa aku sudah berdamai dengan perasaanku sendiri.

Aku tidak pernah lagi berjumpa Koja dalam masa itu. Ia semacam hilang dari pandanganku. Aku tidak lagi melihatnya di gereja, di pelataran rumahnya, atau di jalanan. Ia semacam menghindar pula dari padaku. Aku tidak pernah menyoalkan hal itu lagi. Tak lagi menjadi pertimbanganku.

Jadi di sinilah aku, dalam perjalanan menuju kota Ujung Barat. Seratus kilometer jaraknya dari Lamba. Perjalanan akan memakan waktu tiga hari penuh. Dan beberapa hari sebelum keberangkatanku sudah kukirimkan surat pada Ambros. Aku harap surat itu tiba padanya dengan selamat.

Aku sudah mendapatkan alamatnya dari Ambros ketika ia datang setelah kematian Bapak. Jadi surat itu hanya bertujuan memberitahukan padanya bahwa aku akan berkunjung dan menepati janjiku.

Aku naik oto kol om Rius pada pukul tiga sore. Hari begitu cerah. Langit biru dan matahari menikam bumi dengan hangat. Rute perjalanan itu sebetulnya sangat sederhana. Aku harus ke kota Mborong terlebih dahulu, kemudian menunggu hingga sore lagi di pangkalan terminal kota dan kemudian kembali menaiki oto kol lain menuju kota Ujung Barat.

Aku berencana untuk berkunjung ke tempat Aci ketika nanti tiba di Mborong. Setidaknya dengan maksud untuk sekedar berbincang dengan rekan bisnisku. Barangkali pula ada maksud lain juga, nanti saja itu dipikirkan. Tapi aku merasa bahwa kedatanganku tanpa membawa hasil panen ke tempatnya akan terasa aneh saja. Jadi aku putuskan bahwa aku tidak jadi singgah ke tempat Aci.

Aku tiba di Mborong pada pukul setengah dua pagi. Suasana kota sepi, sunyi dan hening. Jadi untuk menunggu pagi datang aku dan om Rius harus tidur terlebih dahulu di dalam oto kol.

Dalam tidur itu aku bermimpi. Dan mimpi itu begitu aneh. Aku memimpikan seorang perempuan asing, yang belum pernah kukenal sebelumnya.

Dia adalah perempuan yang tinggi, seperti patung, agak pendiam dengan gerakan lambat dan rambut hitam yang indah, bersarung songke dan menggendong seorang anak perempuan pula. Seorang anak perempuan yang barangkali berusia empat tahunan.

Saat itu, dalam mimpi itu, perempuan itu sedang duduk di suatu tempat yang jauh, dengan seorang anak perempuan di dalam pelukannya. Aku tidak mengingat pernah bertemu dua perempuan ini sama sekali.

Keduanya menatap ke arahku dengan pandang lemah, selalu diam, dengan mata besar dan awas. Mereka berada di suatu tempat di bawah tanah—dasar sebuah sumur, sepertinya, atau kuburan yang sangat dalam aku lupa kedetailannya—tetapi itu adalah tempat yang sudah jauh di bawahku dan mereka bergerak ke bawah. Jujur aku tidak mengerti mimpi itu pula.

Lihat selengkapnya