Sekitar pukul sembilan pagi om Rius kembali ke Lamba dan meninggalkan aku sendiri di terminal kota Mborong. Ia menerangkan padaku bahwa oto kol ke kota Ujung Barat akan berangkat sekitar pukul setengah dua siang. Aku mengucapkan terima kasih atas inforamsi itu dan menyerahkan ongkos perjalananku padanya. Ia menolak dan mengatakan padaku bahwa aku sudah ia anggap sebagai keponakannya sendiri, dan tak pantas baginya untuk menerima uang dariku. Aku terus memaksakan bahwa ia harus menerima ongkos itu. Om Rius tetap menolak.
Ia memegang pundakku dan mengatakan:
“Saya hanya bisa mendoakan supaya perjalananmu ini berjalan dengan lancar. Dan simpan uangmu itu untuk semua keperluanmu nanti di Ujung Barat. Dan ini ada sedikit uang dari saya, untuk uang rokokmu, ongkosmu dan keperluanmu nanti selama di Ujung Barat. Jangan pandang jumlahnya, Pandong. Dan ingat, berhati-hatilah,” katanya sambil menyerahkan padaku sebuah ampop yang kemudian setelah aku buka ketika om Rius sudah kembali ke Lamba. Isinya memang sejumlah uang, yang menurutku adalah jumlah uang yang lumayan banyak untuk orang muda sepertiku.
Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa sudah pukul setengah dua saja. Dan aku masih memikirkan mimpiku tadi. Benarkah apa yang ditafsirkan om Rius? Ah, kepalaku semakin menekan, mendesak-desak. Pening. Padahal hari masih terang.
Rasanya belum lagi lama aku duduk di terminal kota menunggu tumpanganku menuju Ujung Barat dan sebuah berita lainnya datang. Hari itu tidak ada oto kol yang datang dari Ujung Barat. Seorang petugas di terminal kota memberitahu kepada kami bahwa satu-satunya jembatan yang menghubungkan Ujung Barat dan Mborong ambruk karena hujan lebat. Dan itu masuk akal sekali. Sebab saat ini adalah pertengahan November. Musim penghujan. Jadi oleh karena itulah, perjalanan menuju Ujung Barat mesti tertunda, setidaknya selama seminggu ke depan.
Inikah berita buruk yang dimaksud?
Ah, aku benar-benar tak tahu lagi harus ke mana. Tak ada yang aku kenal di Mborong, selain memang keluarga Aci. Haruskah aku kesana untuk menghabiskan malam? Tapi, aku sudah janji pada diri sendiri bahwa aku tidak akan ke sana. Jadi, aku putuskan untuk mencari sebuah rumah penginapan yang ada di sekitar itu . Yang bisa kusewakan dengan harga yang murah. Aku tidak perlu banyak perabotan, yang terpenting adalah tempat untuk tidur.
Dan selama aku mencari tempat penginapan di kota aku selalu memikirkan Koja. Masih saja.
Ada hal yang aku tidak pernah suka untuk membicarakannya; perihal Koja. Aku merasa dan mengerti bahwa sebetulnya aku tidak begitu ingin berbicara tentang kebersamaanku dan Koja di masa lalu. Tentang apa yang terjadi pada kami dalam lima hari itu. Lima hari setelah aku nyatakan kasih padanya ketika malam di rumahku itu. Tapi entah mengapa, dalam perjalanan menuju pencarian jati diri ini, aku berpikir ada baiknya aku tidak meninggalkan satu cerita pun menjadi sebuah rahasia.
Sebetulnya aku tidak ingin menyebutnya rahasia, tapi aku rasa orang-orang perlu tahu bahwa sebenarnya apa yang telah kami lalui pada masa yang sudah-sudah itu adalah bagian dari cara kami menjadi manusia. Dan lagi pula, aku tidak lagi menganggap penting keberatan-keberatan itu. Tentu tidak mudah bagiku untuk menceritakan kisah ini. Tapi kurasa sebagai upayaku untuk melepas pergi Koja dari hidupku, aku harus benar-benar berani menghapusnya dari ingatanku. Jadi begini rupanya cerita pendek itu:
Aku memilih jalan melalui cahaya dan bayangan jati, melangkah keluar ke bongkahan kayu kering yang terletak di sana-sini. Di bawah pepohonan di sebelah kiriku, tanah berkabut dengan rumput alang-alang yang banyak mengelilingiku. Udara seakan datang mencium kulitku.
Dari suatu tempat yang lebih dalam di jantung hutan terdengar dengung derai pepohonan besar. Aku datang sedikit lebih awal. Tidak ada kesulitan dalam perjalanan itu, dan Koja jelas sudah sangat berpengalaman sehingga rasa takutnya berkurang seperti biasanya.
Agaknya Koja bisa dipercaya untuk menemukan tempat yang aman. Secara umum aku tidak dapat berasumsi bahwa aku jauh lebih aman di hutan daripada di kampung. Tidak ada orang, tentu saja, tetapi selalu ada bahaya orang-orang terdekat dari keluarga kraeng Dalu yang bersembunyi di balik hutan ini. Dan memikirkan itu membuatku takut dan ngeri.
Jalan setapak itu melebar, dan dalam satu menit aku sampai di jalan setapak lain yang telah diceritakan Koja dalam suratnya kepadaku. Di sana hanya ada jalan binatang liar yang terbentang di antara semak-semak. Aku tidak punya jam tangan, tapi mungkin barangkali belum lima belas menit aku berada di sana.
Bunga mawar hitam tumbuh sangat tebal di bawah kaki sehingga tidak mungkin untuk tidak menginjaknya. Aku pun berlutut dan mulai memetik sebagian untuk menghabiskan waktu, tetapi juga dari gagasan samar bahwa aku ingin memiliki seikat bunga untuk ditawarkan kepada Koja ketika nanti kami bertemu.
Ketika itu, kami adalah pasangan yang sangat berbahagia. Walau hanya berlaku dalam tempo lima hari. Sebelum ia pergi meninggalkanku. Bukan salahnya pula, setelah kupikir kembali, tapi adat dan tradisi itu. Sudahlah, tak perlu lagi aku bicara tentang semua itu. Tak ada gunanya lagi.
Dan kini aku terus bertanya-tanya dari mana ia tahu tempat semacam ini. Bahkan aku yang sehari-harinya berada di ladang tak pernah aku jumpai hutan ini. Ah, perempuan manja ini, aku tidak pernah menyangka dia penuh misterius seperti ini.
Aku terus memetik mawar hitam itu dan menurutku itu adalah hal terbaik untuk dilakukan. Dan dari balik kepalaku, aku mulai berpikir lagi bahwa mungkin Koja, atau aku telah diikuti oleh beberapa pelayan dalu Lamba. Aku melihat sekeliling. Tak ada apa-apa yang terjadi. Aku melihat ke arah lain dan yang lain. Tak ada yang terjadi. Hanya dedaunan yang bergerak di tiup angin.
Dan kemudian sebuah tangan jatuh ringan di pundakku.
Aku melihat ke atas. Itu Koja. Dia menggelengkan kepalanya, jelas sebagai peringatan bahwa aku harus tetap diam. Lalu ia mulai membuka semak-semak dan dengan cepat memimpinku di sepanjang jalan sempit ke dalam hutan. Jelas dia pernah ke tempat ini sebelumnya, karena dia pandai menghindari bagian-bagian yang berlumpur seolah-olah karena kebiasaan. Aku mengikuti, masih menggenggam seikat bunga yang tadi kupetik. Ah, perempuan ini tidak seperti yang aku bayangkan. Ia bukan seorang perempuan manja yang pernah diceritakan banyak orang. Dan barangkali aku sudah salah menilainya. Dan aku semakin jatuh, tenggelam seluruh ke dalam kehadiran perempuan ini. Ah, Tuhan seandainya adat dan tradisi lenyap hari ini, barangkali ia akan kupinang hari ini juga.
Perasaan pertamaku adalah lega, tetapi ketika aku melihat tubuh ramping yang kuat bergerak di depanku, dengan selempang bermotif songke yang cukup ketat untuk menonjolkan lekuk pinggulnya, rasa dan isi kepalaku sendiri membebani diriku. Ah lelaki muda, berhati-hatilah dikau.
Bahkan sekarang tampaknya sangat mungkin bahwa ketika dia berbalik dan memandangku dengan seisi telekung matanya, aku akan mundur. Manisnya udara dan kehijauan dedaunan membuatku takut. Dalam perjalanan dari rumah, sinar matahari yang anggun telah membuatku merasa kotor dan keriput.
Terpikir olehku bahwa sampai sekarang aku mungkin belum pernah melihat Koja di siang bolong di tempat terbuka. Sebab, memang ia jarang aku temui ketika di Lamba. Atau mungkin memang karena aku kurang memperhatikannya saja.
Kami datang ke pohon tumbang yang Koja pernah bicarakan. Perempuan ini melompat dan membuka semak-semak, yang sepertinya tidak ada celah. Ketika aku mengikutinya, aku menemukan bahwa kami berada di tempat terbuka alami, bukit kecil berumput yang dikelilingi pohon-pohon tinggi yang menutup kami sepenuhnya. Koja berhenti dan berbalik.