Aku rasa aku mesti menjelaskan tentang perkawinan tungku cu ini pula supaya terang nantinya cerita ini dibacai dan dinikmati. Supaya tak ada kesalahapahaman dalam merenungkan kisah ini juga. Tulisan ini adalah esai singkat yang pernah aku buat untuk memperjuangkan hak Koja dan melawan tradisi perkawinan tungku cu ini. Namun karena ia tak lagi menginginkannya maka aku tidak pernah mengirimkannya kepada pihak koran. Jadi begini kira-kira tulisan itu setelah aku rangkum dan beri sedikit bumbu khayalan di dalamnya agar tidak terlalu berkesan pragmatis dan baku.
Jadi begini kira-kira:
Tentunya, setiap budaya memiliki tradisinya masing-masing. Tradisi merupakan proses keberlanjutan yang bersifat turun-temurun dari satu generasi kegenerasi selanjutnya. Pada prinsipnya apa yang menjadi sebuah tradisi pasti selalu mengadung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Sehingga sebuah kultur tertentu selalu memperindah dan mempertahankannya.
Indonesia dengan kulturalitasnya yang kompleks dan kehidupan beragama yang majemuk kerap kali timbul semacam benturan. Salah satu benturan itu ditemukan dalam perkawinan menurut agama dan budaya tertentu. Salah satu benturan itu ditemukan dalam perjumpaan antara hukum perkawinan Katolik dan model perkawinan dalam budaya Lamba. Dalam hukum perkawinan Gereja Katolik, salah satu halangan untuk menikah ialah apabila pasangan memiliki hubungan darah.
Konsep perkawinan agama Katolik sangat bertentangan dengan paham perkawinan tungku dalam budaya Lamba. Model perkawinan tungku cu ini merupakan salah satu bentuk tradisi perkawinan. Salah satu tradisi yang terus berkelanjutan dalam budaya Lamba ialah perkawinan. Ada tiga istilah sebagai kata kunci dalam hal jenis perkawinan adat Lamba, yaitu pertama kawing tungku (perkawinan dalam suku sendiri, antara anak saudara dengan anak saudari), kedua kawing cako (perkawinan antara anak dari saudara dalam patrilineal), dan kawing cangkang (perkawinan di luar suku).
Perkawinan antara muda-mudi di Lamba dapat terjadi antara pasangan yang berasal dari keturunan yang sama (masih satu wa’u). Selain itu dapat terjadi juga dari garis keturunan yang berbeda (tidak ada hubungan wa’u). Perkawinan dalam garis keturunan yang sama disebut tungku. Apa itu kawing tungku? Secara etimologi, kawing tungku terdiri atas dua kata yakni “kawing” dan “tungku”. Kawing berarti kawin, nikah atau perkawinan, sedangkan tungku artinya sambung, menyambung. Kawing tungku secara harafiah adalah crosscuousin unilateral antara anak saudara dan saudari, baik antara anak dari saudara dan saudari kandung maupun anak antara saudara dan saudari sepupu.
Perkawinan tungku terjadi antara seorang pria anak dari ibu dengan anak wanita dari saudara pria ibu (anak de Amang-anak Om). Kawing tungku sama maknanya dengan tungku salang. Menurut tradisi Lamba mengenai kawing tungku, mempelai laki-laki selalu berasal dari anak saudari sedangkan mempelai perempuan berasal dari anak saudara laki-laki. Keluarga dari saudari selalu disebut anak wina dan dari keluarga saudara disebut anak rona. Tujuan kawing tungku ialah untuk mempertahankan wo’e nelu. Wo’e nelu maksudnya adalah hubungan anakrona dan anakwina yang sudah terbentuk akibat kawing cangkang. Keduanya tidak bisa ditukarbalikan. Apabila tradisi ini terjadi perkawinan timbal balik dari ketentuan yang ada, maka akan disebut kawing jurak (Perkawinan tabu).
Perkawinan seperti ini pada umumnya tidak dikehendaki secara adat Lamba. Apabila perkawinan itu sudah terlanjur terjadi, maka resiko akan ditanggung sendiri oleh kedua belah pihak (suami-isteri yang saling jatuh cinta).
Cinta pada dasarnya adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Masalah kawing jurak bila sudah terlanjur diadakan acara kepu munak (memotong batang pisang). Maksud dan tujuan kepu munak (memotong batang pisang) ialah untuk menghapus darah sial agar tidak terjadi lagi pada keturunan selanjutnya. Jika mau mengadakan kawing tungku, maka upaya pertama dari pihak anak wina (Keluarga mempelai laki-laki) ialah batabing. Keluarga laki-laki akan membawa cendramata berupa kain songke (kain tenun adat Lamba), dan uang kepada keluarga anak rona (keluarga mempelai perempuan). Ba tabing sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh pihak anak wina sebelum mengadakan peminangan resmi pada si gadis atau mempelai perempuan.
Ba tabing dibawakan oleh orangtua kandung mempelai laki-laki (pelamar) dan diberikan kepada orangtua kandung perempuan (yang dilamar). Cendramata yang dimaksud harus diberikan kepada anak gadis tersebut. Istilah ba tabing dikhususkan bagi perkawinan tungku yang mencakup tungku cu (perkawinan antara anak dari saudara laki-laki dengan anak dari saudari perempuan kandung) maupun tungku netengnara (perkawinan antara dari anak saudari dan anak dari saudara sepupu).
Ada tiga jenis perkawinan tungku, yakni kawing tungku cu, kawing tungku netengnara dan kawing tungku anak rona musi. Pertama, tungku cu. Kawing tungku cu secara etimologi terdiri diri atas tiga kata yakni kawing: kawin, nikah; tungku: sambung, menyambung; cu: langsung. Dengan kata lain kawing tungku cu ialah perkawinan antara anak laki-laki dari saudari kandung perempuan dan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki.
Tujuan utama perkawinan semacam ini untuk menyambung kembali atau untuk mempererat kuat hubungan kekerabatan anak wina dan anak rona. Kawing tungku cu sebetulnya sebagai pengertian baku dari pengertian kawing tungku itu sendiri. Dilihat dari tradisi, kawing tungku cu merupakan pemahaman utama dari pengertian crosscousin unilateral (tungku). Sehingga kalau anak wina hendak mengadakan tungku, maka itu artinya perkawinan tungku yang dimakasud adalah antara anak kandung laki-laki dari saudari perempuan dengan anak kandung perempuan dari saudara kandung.
Kedua, kawing tungku netengnara. Secara harafiah kata kawing berarti kawin, nikah atau perkawinan; tungku: sambung atau menyambung; neteng: tiap-tiap, masing-masing; nara: saudara laki-laki. Dalam artinya ini, kawing tungku netengnara adalah perkawinan yang ada hubungan darah antara anak dari perempuan sepupu dengan anak dari saudara laki-laki. Agar tidak terjadi hambatan dalam perkawinan tungku netengnara, sebaiknya keluarga anak wina melakukan pendekatan terhadap keluarga saudara kandung pada anak rona. Inti pendekatan itu adalah memohon restu dari saudara kandung atau orangtua kandung dari saudari perempuan yang disebut anak wina itu, untuk bisa mengadakan kawing tungku dengan anak dari saudara sepupu pada marga yang sama dengan saudara kandung.
Ketiga, Kawing tungku anak rona musi. Kawing bila diartikan dalam bahasa Indonesia ialah kawin, nikah atau perkawinan; tungku: sambung atau menyambung; anak rona musi: keluarga kerabat pemberi mertua laki-laki. Secara harafia, kawing tungku anak rona musi adalah perkawinan hubungan darah dengan keluarga kerabat pemberi isteri mertua laki-laki.
Secara adat tidak diatur secara khusus kawing tungku anak rona musi. Salah satu cara alternatif solusinya adalah bahwa anak wina (keluarga kerabat penerima isteri) mestinya memohon restu dari keluarga kerabat pemberi isteri. Jika keluarga anak rona dungka (keluarga pemberi isteri langsung) menyetujuinya, barulah ia pergi ke anak rona musi (keluarga kerabat pemberi isteri mertua laki-laki).
Perkawinan dalam bahasa Lamba disebut “Kawing”. Laki-laki yang dikawinkan disebut “Na’a wina” dan wanita yang dikawinkan disebut “Na’a rona”. Kehidupan suami-isteri atau kehidupan keluarga disebut “Ka’eng kilo”. Adapun maksud yang sering terungkap dalam perkawinan adalah supaya melanjutkan keturunan (kudut beka agu buar).
Prosesesi ritus perkawinan tungku sama dengan prosesi perkawinan pada umumnya di Lamba. Ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh pria dan wanita sebelum mereka melangkah kejenjang perkawinan sesuai dengan adat Lamba. Adapun ritus perkawinannya, yaitu pertama, persiapan pongo agu tiba meka. Pihak mempelai laki-laki sebelum pergi merundingkan waktu peminangan dengan keluarga perempuan, mengadakan upacara teing hang (Memberi makan leluhur) untuk memohon doa restu leluhur dan Tuhan, agar upacara pongo nanti dapat berjalan dengan lancar.
Pongo adalah upacara mengadakan ikatan cinta antara laki-laki dan perempuan. Dalam acara pongo ini, pihak kerabat laki-laki membawa cendramata berupa kain songke (Kain adat Lamba) dan sejumlah uang (seng kembung) kepada keluarga perempuan. Bila sudah acara pongo, itu pertanda bahwa pihak laki-laki dan perempuan berada pada masa pertunangan.