Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #22

Perjumpaan yang Kedua

Setelah barangkali hampir dua jam aku berjalan mengelilingi Kota dalam rangka mencari tempat penginapan akhirnya aku temukan sebuah penginapan yang cukup murah.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan selama seminggu ini?

Aku masih berdiri di depan kamar penginapanku. Ibu pemiliknya masih berada di dalam rumah, sedang mencari kunci kamarku itu. Langit sore tampak cerah di depan ruangan penginapanku. Ketika itu, jika kutebak-tebak waktu sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Dan jalanan Kota sudah mulai ramai oleh hiruk pikuk orang-orang yang asing dalam penglihatanku.

Kamarku ini menghadap ke arah jalanan panjang yang membela kota. Bisa aku rasakan kenikmatan menangkap bunyi sore dari sana. Indah nian. Aku merasakan Kota ini begitu hidup. Semuanya serba ada. 

Aku membakar sebatang rokok dan duduk di depan kamar penginapanku. Pada saat itu ibu pemilik penginapanku tiba di hadapanku. Ia seperti habis berlari-lari. Ia agak terengah-engah. Ia menyerahkan kunci kamar dan mengatakan bahwa sewa sehari untuk kamarnya itu adalah seribu rupiah. Aku tidak berkeberatan. Aku katakan padanya bahwa aku barangkali akan menghabiskan waktu di Mborong selama sekitar seminggu lebih. Jadi aku berikan padanya uang sewa sebanyak lima belas ribu. Ia kaget dan terkejut. Aku katakan padanya bahwa barangkali aku akan lebih lama dari seminggu jadi sisanya bisa dihitung sebagai sewa tambahan. Ia mengangguk pelan. Barangkali ia belum pernah berjumpa dengan uang lima belas ribu sebelumnya. Barangkali.

Memang pada dasarnya ruangan yang aku sewakan itu tidak kelihatan mewah. Di dalamnya hanya berisi sebuah meja, ranjang dan kursi kayu. Tak ada dapur. Tak ada kamar mandi. Itu tidak memberatkanku. Aku justru bersyukur bahwa aku mendapatkan sebuah ruangan untuk menginap selama kurang lebih seminggu ini.

Sore turun dengan cepat. Senja di ufuk barat sudah mulai nampak keemasannya. Dengan amat cepat langit bertambah pekat di depanku. Aku menyalakan lampu dan aku seakan-akan menjadi buta karena hempasan cahaya yang tiba-tiba muncul dari sebuah bohlam. Ah, indah memang kehidupan di kota ini. Sudah berjalan aspal, berlampu dari listrik pula. Kapan kemajuan ini tiba di Lamba yang penuh adat dan tradisi itu? 

Kemudian ibu pemilik penginapan ini muncul kembali di hadapanku dan mengatakan bahwa malam ini aku mesti ikut makan malam bersamanya. Aku mengiakan. Walaupun aku tidak begitu tahu mengapa ia bersikap demikian padaku. Tapi selama itu makanan yang gratis, aku sangat bersyukur untuk memenuhi permintaanya. Barangkali, aku pikir, itu adalah caranya untuk menyambut seorang tamu baru.

Ia menawariku kopi sore, aku menerima tawarannya dengan senang hati dan tak lama kemudian ia kembali dengan membawa nampan. Di atas nampan itu ada sepiring pisang goreng dan segelas kopi panas. Aku minum dan kemudian membakar rokokku lagi. Ia menanyaiku apakah aku suka membaca koran, dan aku mengatakan ya padanya. Ia bergegas kembali ke dalam rumahnya dan beberapa saat kemudian muncul di balik pintu dengan beberapa tumpukan koran. Ia melayaniku dengan baik dan penuh cinta kasih, layaknya seorang ibu kepada anak kesayangannya. Dan melihat tingkahnya yang baik itu, aku pun memikirkan Mama. Ah, Mama, di mana dan bagaimana keadaanmu sekarang?

Dengan rokok di tangan kanan, aku pun mulai membaca koran-koran itu. Aku tidak menemukan kisah atau berita yang bagus. Kemudian aku mencari-cari lagi berita yang bagus dari tumpukan lain. Dan pada saat itulah, aku melihat sebuah berita tentang perkawinan Koja. Tak ada penjelasan tentang hukum gereja di sana. Hanya ada semacam berita pendek dan semacam sebuah undangan untuk menghadiri perkawinan itu. Aku muak membaca koran-koran itu sebab tak ada esensi yang signifikan yang ditulis. Lantas aku tidak membaca lagi dan aku biarkan mereka menumpuk di atas meja yang bentuknya bulat itu.

Aku kemudian melepas pandang ke arah jalanan yang beraspal itu. Lampu sudah aku nyalakan. Hari semakin gelap. Pada waktu ini, yang bisa kupandang adalah sore yang indah. Mula-mula aku melihat orang-orang bergerombolan berjalan-jalan, mereka menggunakan pakaian yang sangat rapi. Kemudian di belakang mereka, seorang ibu tua berpakaian hitam pekat menggendong cucunya yang terus menangis tak karuan. Di sampingnya berjalan seorang lelaki muda, memakai topi bermotif songke, dan mengenakan baju putih celana hitam dan tanpa alas kaki. Usianya barangkali masih tiga puluhan. Jalannya linglung, dan aku menebak ia baru saja pulang dari sebuah acara yang mengharuskannya meminum banyak tuak.

Tak lama kemudian, lewatlah tiga orang gadis muda dalam balutan kain songke dan dandan yang sederhana, mengenakan pakaian ketat, dan payudara mereka nampak bersemburan ke luar. Ini pemandangan baru aku rasa. Tak pernah aku jumpai di Lamba perihal begini. Di sini semuanya serba modern aku kira. Mengikuti gaya-gaya barat sana. Ah dunia, sudah sekacau inikah dirimu? Mereka berjalan dalam gerak yang pasti sambil tertawa dengan amat keras, membikin dada mereka bergerak ke atas dan ke bawa dalam ritme yang normal. Dan aku tak ingin lagi memandang mereka. Sudah berlebihan aku pikir pemandangan ini menekan sepasang mataku.

Setelah mereka lewat, jalanan beraspal itu menjadi sedikit lengang. Dan aku mengira-ngira pertunjukan itu selesai di sana. Tapi rupanya tidak juga. Dari ujung jalan aku melihat sebuah bemo melaju kencang membawa sekelompok anak muda. Mereka berteriak, bernyanyi dan aku pikir mereka baru saja pulang dari pantai. Mereka melambaikan tangan, seolah-olah mereka sudah meminum tuak bergumbang-gumbang banyaknya hingga tak lagi mampu berpikir kepada siapa harus melambaikan tangan.

Di atas atap-atap rumah, langit jingga memancar memenuhi kota. Aku memandang sekeliling dan menemukan beberapa anjing mengembara memenuhi pinggiran jalanan. Dan seorang lelaki tua di seberang jalan memandangku dan mengeluarkan sebuah kursi dan duduk di halaman rumahnya. Ia tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan lambaian tangan. Ia duduk mengangkan, mengeluarkan rokoknya dari saku celana, membakarnya, dan menyandarkan kepalanya pada tepian atas kursi kayunya.

Aku mulai berpikir bahwa ini benar-benar sebuah kebaruan dalam hidupku. Dulu semasa SMA, aku tak banyak mengelilingi kota, sebab aku hidup di asrama dan hari-hariku banyak aku lalui dengan membaca buku di perpustakaan. Jarang sekali aku pergi menelusuri kota. Dan hari ini, semuanya terasa baru bagiku. Sebuah kehidupan lain menawariku keindahan. Aku sejenak melupakan Koja. Tak lama. Dan pemikiran tentang Koja kembali hadir dalam kepalaku. Seperti itu terus.

Aku kemudian menggeser kuris kayuku dan kuletakan disudut teras depan kamarku. Aku berpendapat bahwa posisi itu lebih baik untuk aku menikmati senja dan segala yang langit tawarkan padaku. Aku menghisap sebatang rokok lagi, meminum sedikit kopiku, dan mulai menyandarkan kepalaku pada tepian atas kursi kayu itu.

Kemudian beberapa menit kemudian aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengambil buku catatanku. Tak lama kemudian langit berubah menjadi lebih suram dan kurasai hari semakin gelap. Dan meskipun demikian langit tetap terang, sebab bulan yang penuh bulat muncul di atas kepala. Tak ada tanda-tanda hujan akan turun. Langit cerah. Dan aku kembali duduk pada kursiku dan memandangi langit yang indah, tanpa awan, sambil mengisap rokokku dengan penuh nikmat.

Cuaca dan suasana malam berubah lagi sedikit. Di atas kepala, langit menjadi sedikit buram tertutup awan namun jalanan terasa kembali ramai. Aku melihat beberapa anak yang menangis karena diseret oleh ibunya. Barangkali mereka lupa menimbah air, aku pikir. Kemudian segerombolan anak gadis bermunculan lagi, berjalan bergandengan sambil memamerkan wajah yang dipenuhi bedak. Aku lihat pula gelagat beberapa anak muda lelaki mencari cara untuk mengganggu dan berpapasan dengan anak-anak gadis ini. Mereka melambaikan tangan padaku, dan aku membalas lambaian itu dengan secepat mungkin. Mereka tersenyum padaku dan kemudian terus melanjutkan perjalanan mereka. Aku tidak tahu ke mana anak-anak gadis itu pergi.

Ketika itu lampu-lampu mulai dinyalakan. Itu pertama kalinya aku melihat pemandangan demikian. Pada masa sekolahku, kota ini masih dipenuhi lampu pelita dan lampu gas. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Di setiap rumah sudah dialiri listrik. Tiang-tiang pancangnya berdiri memenuhi kota dan kabel-kabelnya bergantungan di atas kepala. Ah, siapakah yang menciptkan teknologi secanggih ini? Aku ingin berterima kasih padanya.

Kini langit sudah berubah gelap. Bulan yang tadi kulihat penuh memancarkan cahayanya, kini hilang, sembunyi di balik awan tebal. Aku merasa mataku lelah. Barangkali karena cahaya lampu yang terlalu terang. Aku tidak tahu. Tak lama kemudian ibu penginapanku datang dan memanggilku untuk makan malam. Aku kemudian katakan padanya bahwa aku akan segera ke sana. Ia mengangguk pelan, dan kembali ke dalam rumah.

Aku kembali ke dalam kamar dan meletakan buku catatanku di atas meja. Aku kemudian pergi ke kamar mandi, membasuh wajah, dan bergegas menuju rumah ibu penginapanku. Ia membukakan pintu dan aku mengucapkan selamat malam padanya. Ia kemudian menutup pintu dan mengajakku menuju meja makan.

Kini aku berada di dalam ruangan yang begitu asing bagiku. Sebuah rumah beratap seng, bukan alang-alang, memiliki banyak kamar dan dindingnya dicat putih. Aku kemudian ditarik menuju ruang makan oleh ibu penginapanku ini. Aku belum mengetahui namanya. Di dindingnya aku temukan beberapa foto hitam putih, dan sebuah salib yang berukuran besar.

Rumah itu begitu bersih dan sepi. Kemudian ibu penginapanku ini menyalakan beberapa lampu lagi, dan cahaya menerangi beberapa bagian ruangan yang menurutku tak perlu ia nyalakan. Ia kemudian berkata padaku bahwa ia tinggal sendirian di rumah ini, suaminya telah pergi, dan anak-anaknya sedang kuliah di tanah Jawa. Tapi, dari wajahnya, aku tidak menemukan sebuah keceriahan. Aku, secara pribadi, jika anakku suatu saat nanti kuliah atau bersekolah di Jawa aku akan sangat senang. Tapi, tidak dengan perempuan ini. Ia tidak menampilkan perasan gembira itu.

Ia menyilahkan aku duduk. Aku menuruti perintahnya. Ia begitu baik dan lembut. Ia kemudian mencedokan nasi pada piringku, memberikan ayam goreng dan sayur singkong tumis yang dicampuri teri. Ia serahkan padaku dan aku mengucapkan terima kasih. Kemudian ia mengambil bagiannya dan setelah itu ia duduk berhadapan denganku.

“Kau sudah kawin?” ia bertanya padaku.

“Belum, Tanta,”jawabku singkat, sambil menunggu perintah darinya untuk mulai makan.

“Syukurlah kalau begitu,” ucapnya, sambil menyuruhku untuk memulai santapan itu.

Lihat selengkapnya