Hari kedua di Kota. Dan aku bangun lebih awal. Hari ini kami berencana akan ke pantai. Aku menunggu Lusi sambil membolak-balikan koran yang kemarin tak sempat aku baca dengan serius. Cahaya matahari pagi menekan, mendesak-desak. Turun menghujam. Tak lama kemudian Lusi tiba di hadapanku. Ia tersenyum, menyuruhku untuk mengunci pintu kamar dan setelah semua itu kami pun bergegas.
Ia mengenakan celana hitam dan kaos putih berlengan pendek sehingga tangannya yang putih tampak kelihatan indah. Ia mengenakan pula topi pandan, cocok pada kepalanya. Sambil berjalan aku bersiul-siulan. Ia tidak menggubris. Kami berjalan ke tempat pangkalan bemo yang rupanya tidak begitu jauh dari penginapanku.
Setelah menunggu kurang lebih lima menit di pangkalan, kami pun berangkat menuju pantai. Untuk sesaat aku melupakan semua urusanku. Ah aku kira untuk waktu yang baik ini aku tidak perlu dulu memikirkannya.
Dalam perjalanan menuju pantai, Lusi menjelaskan padaku tentang beberapa tempat yang menurutnya memiliki nilai sejarah. Aku hanya diam, semacam bisu, mendengarkannya berbicara dengan kalimat yang rapi dan intonasi suara yang merdu. Perjalanan itu barangkali memakan waktu sekitar satu jam setengah. Dan kenyataan itu tidak memberatkanku, malah justru sebaliknya, ada perasaan senang di dalam lumbung dada.
Sesekali aku menanggapi penjelasannya, melontarkan sedikit lelucon dan ia tertawa kelakar seakan bemo itu hanya berisi kami berdua. Aku tidak membawa sesuatu yang berarti selain perasaanku sendiri, sebungkus rokok dan sejumlah uang. Sedangkan Lusi membawa sebuah tas kecil berwarna hitam, yang kemudian aku tahu bahwa ia membawa roti yang dilapisi cokelat.
Kami turun di daerah pinggiran kota. Pepohonan kelapa banyak kami temui berbaris rapi seperti memagari jalanan yang panjang itu. Lusi menjelaskan padaku bahwa pantai tidak jauh letaknya dari tempat kami berhenti. Tetapi kami harus terlebih dahulu melewati sebuah dataran yang rendah, yang menurun ke arah laut.
Ketika turun ia menggandeng tanganku, menahan tubuhnya pada tubuhku dan ia tampak gembira. Aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum dan memintaku untuk memegang topinya. Aku mengulurkan tangan, membantunya dengan teliti, dan kami tiba di pinggir pantai.
Dari sana aku melihat air laut bergerak dalam ritme yang pasti, dan matahari menangkap kami dengan cahayanya yang sungguh panas. Tapi angin datang meniup tubuh, menggerakan rambut-rambut Lusi yang tak ia ikat, dan meruntuhkan segala jenis keringat yang menempel pada wajah.
Lusi kemudian beramain-main pasir, menendangnya ke dalam pusaran udara, dan kami berjalan sambil melepas pandang pada perahu-perahu kayu yang terombang-ambing di pinggiran laut dangkal. Kami melewati beberapa genangan air laut yang sisa di dalam sebuah cekungan kecil, batu karang yang landai, dan pepohonan asam yang sedang berbuah lebat.
Di depan kami gugusan bukit yang tidak terlalu tinggi menjulang kokoh. Aku menyerahkan kembali topi yang kupegang kepada Lusi, dan ia mengatakan bahwa ia tidak ingin mengenakan topi itu lagi. Ia senang ketika matahari melibas kulit kepalanya tanpa harus dihalang-halangi dengan topinya.
Dalam logat Mborong aku bilang padanya, “Nanti rambutmu kusam, berkerut-kerut, mati kemudian tidak hidup lagi bagaimana?” Aku tentunya bercanda. Tetapi ia pandangi aku dengan wajah bersinar-sinar dan dirapatkannya tubuhnya padaku. Kemudian dengan wajah yang malu-malu ia bilang:
“Yang terpenting sebelum mereka mati, mereka masih bisa jalan-jalan di pantai dengan seorang penyair, kritikus handal, seorang penulis essai.”
“Penyair? Kritikus? Penulis esai? Siapa itu?”
Ia menunjuk aku, tangannya begitu imut dan kecil, menambah kegemasan.
“Kau sebut saya penyair? Kritikus? Penulis esai? Oh kau mengejek rupanya,” aku jawab dengan malu-malu pula.
“Saya bukan mengejek, hanya memaparkan fakta. Dan kaka Pandong seharusnya bangga saya sebut begitu, belum ada penyair, kritikus, penulis esai yang datangnya dari daerah kita. Barangkali Kaka adalah nanti orang yang pertama, yang menjadi seorang penyair. Namanya dikenal satu Indonesia.”
Aku tentu tertawa. Dan ia pandangi aku dengan tatapan heran, yang membuatku yakin bahwa ia memang sedang tidak bercanda. Kemudian:
“Saya hanya suka menulis. Bukan penyair. Bukan kritikus. Bukan pula penulis esai. Saya hanya suka menulis.”
“Memang pada zaman ini tidak ada orang yang ingin disebut demikian. Kebanyakan takutnya. Tapi saya percaya suatu saat nanti kaka Pandong akan bangga dengan semua pencapaian itu.”
“Kau hanya melebih-lebihkan. Aku bahkan tidak pernah menulis di koran. Kau pernah liat nama saya di sana? Tidak pernah, kan?”
“Kaka Pandong,” katanya sambil ia pandangi aku dengan teliti, “Saya dulu itu pengurus majalah dinding sekolah. Saya tahu gaya tulisan Kaka. Dan di koran juga Kaka tidak menggunakan nama asli tapi samaran. Mas Gamblang. Iya, kan?”
“Kau pemerhati yang hebat. Tapi jujur saja saya belum pernah menulis di koran.”
“Kalau Kaka terus berbohong, nanti saya pulang dan membiarkan Kaka sendiri di sini,” ia terhenti di hadapanku dan memandangiku dengan wajah sebal. Mukanya manyun, tapi masih tetap manis. Aku tidak bisa mengelak lagi. Ia menang. Kini sudah ada satu lagi yang mengetahui rahasiaku. Perempuan muda ini.
“Ini harus menjadi rahasia kita berdua. Sekarang hanya kau dan pihak koran yang tahu. Jadi berdiam-diam saja,” ucapku, sambil memandang wajahnya yang manyun dan manis itu. Matanya yang sipit, menangkap aku utuh. Ia naikan pandang padaku dan mulai tersenyum kembali.
“Rahasia pertama kita,” ucapnya sambil tertawa derai.
Ia mulai berjalan lagi. Ia gerakan kakinya dengan ritme yang pasti. Sesekali ia mengibaskan rambutnya, berbalik ke arahku, masih dengan senyum yang sama, dan bilang padaku untuk mengikuti arah gerak kakinya. Aku mengiakan saja seperti anak kerbau jinak.
Pasir mulai terasa panas di kaki. Jadi ia menuntun aku ke sebuah tempat di pinggiran pantai, sebuah tempat teduh dengan sebuah pondok kecil. Kami duduk di sebuah batang kayu besar yang sudah tumbang dan sedikit lapuk. Aku mengeluarkan sapu tanganku dan meletakan pada bagian yang hendak Lusi duduki. Sedangkan aku duduk di sampingnya, memandang laut lepas, dan menyaksikan perahu nelayan terombang-ambing di lautan lepas.
Lusi mengeluarkan roti lapisnya dan sebuah termos kecil dari dalam tas kecilnya. Aku menyaksikan setiap detil gerakannya. Aku seperti tersihir oleh kelihaian perempuan muda ini dalam menyiapkan segalanya. Tentu tangan-tangan mungil itu sangat terlatih betul dalam mengurus perihal semacam begini. Ah!
Setelah semuanya siap, ia menyilahkan aku untuk mulai menyicipi roti dan kopi yang ia seduh dalam termos kecilnya itu. Aku menurut saja. Ia pandangi aku sesaat, seakan sedang menunggu reaksiku. Karena sadar akan itu aku lantas memuji roti dan kopinya. Memang enak betul aku rasakan pada lidahku. Ia senang, dan ikut menyicipi rotinya. Kami berbincang sedikit, menikmati keadaan pantai yang sunyi dan kemudian memutuskan untuk diam.
Lalu setelah habis roti dan kopi, Lusi mengatakan bahwa ia ingin berenang. Aku tidak mau, sebab aku tidak membawa pakaian ganti. Ia pun kemudian sadar pula bahwa ia tidak sempat mengepak pakaian ganti. Akhirnya kami tertawa terbahak-bahak.
Ketika matahari sudah nampak menjauh dari kepala kami, bermunculanlah beberapa anak muda. Mereka mulai memenuhi pantai yang tadinya begitu sepi. Sepasang kekasih mulai menjatuhkan tubuh mereka ke dalam air laut yang kupandangi dari jauh warnanya begitu bening. Mereka berenang dengan gaya katak yang kaku. Kenyataan itu membuat aku dan Lusi tersenyum nakal. Aku bisa rasakan bahwa air laut itu dingin.
Kemudian datang sepasang anak muda lain lagi, berlarian sambil kejar-kejaran seperti anak anjing, menceburkan diri ke dalam lekukan gelombang yang lumayan tinggi. Mereka kemudian muncul kembali ke permukaan setelah ombak itu pecah di bibir pantai. Aku bisa rasakan mereka pandai berenang, dan barangkali memang mereka adalah anak-anak pantai.
“Kaka Pandong tidak berencana kuliah?” tanya Lusi memecah arah pandangku.
Aku menoleh. Ia sudah memandangi aku dengan tatapan serius.
“Untuk sekarang belum. Saya masih harus membiayai Mendeng, saudari bungsu saya.”
“Oh kaka Pandong ada adik perempuan juga?”