Harus kuakui—sekali lagi—bahwa kertas adalah memang sebuah pencapaian terbaik yang pernah dihasilkan manusia. Sebab, apa pun itu, dan apa pun urusanmu, apa pun derajatmu, atau statusmu, dalam satu ukuran tertentu, atau dalam bagian tertentu pada hidup, kita pasti pernah berutang budi pada hasil pencapaian terbaik manusia itu, kertas.
Pada kertas aku berutang budi. Pada Koja aku berutang rindu. Pada diri sendiri aku berutang banyak hal. Padahal perjalanan ini masih belum berakhir.
Beberapa hari terakhir aku mendapat kabar dari koran bahwa perjalanan menuju kota Ujung Barat kini sudah bisa dilewati kembali. Dan menurut penjelasan yang aku baca, di sana diuraikan bahwa jembatan alternatif telah dibuat dan perbaikan jembatan utama sedang berlangsung. Tentu kabar itu membawa sebuah rasa damai pada diriku. Sebab perjalananku sudah bisa diteruskan kembali.
Kerja bagus pemerintah, aku harus akui.
Kota yang ditempati Lusi ini memang menawarkan kehidupan yang baik padaku. Tapi dengan sebuah pertimbangan lain aku harus menolak tawaran itu. Menurutku, itu karena kota ini pandai menciptakan ilusi. Sesuatu yang tembus pandang, memperdaya, dan pandai menghibur. Dan untuk ukuran tertentu, aku tidak menyukai periha-perihal demikian.
Dalam beberapa hari itu selama di kota, Lusi selalu berada di sampingku dan menemaniku. Ia banyak mengajakku keluar, menelusuri jalan beraspal yang penuh toko, mengajak aku untuk makan di rumahnya, ke pantai, ke ladang milik keluarganya. Tapi tak kutemukan kehidupan semacam itu membahagiakanku. Tentu semuanya terasa nikmat, tapi hanya dalam beberapa rentang waktu saja. Semuanya semacam angin lalu yang melipir tak tentu arah. Tak ada yang mampu menetap agak lama di hati, atau di pikiranku.
Kehidupan memang menawarkan banyak hal: kemajuan, perubahan, pencapaian, penemuan, ilmu pengetahuan, teknologi. Tapi pada satu bagian lain, kehidupan pun menawarkan Koja padaku, Sang Dara Agung itu. Semakin aku mencari cara lain untuk melepaskannya, semakin pula ia datang, menyusup, meliuk, menempel, pada seluruh ingatanku. Dan semakin maju peradaban, aku semakin menjadi asing dari diriku sendiri. Aku seperti seorang yang berada di antara dua sisi kehidupan, tak tentu harus memilih yang mana. Aku menjadi asing, ya seorang yang asing, bahkan atas diriku sendiri.
Tentang Lusi, aku pun berpikir aku telah melukai hatinya. Aku yakin betul akan kenyataan itu. Mungkin memang tak terlihat dari raut wajah atau tindakannya—barangkali ia pandai menutupinya—tapi pada satu ukuran tertentu ia pasti terluka. Lusi-bagiku-selalu merupakan kesenangan yang yang berlangsung sepanjang masa dan bagi seorang jiwa lelaki yang berbobot.
Kemudian aku berpikir bahwa barangkali benar adanya yang ia ucapkan ketika di pantai itu, mengenai aku yang barangkali masih mengasihi Koja. Aku pikir itu benar. Tapi sudah aku katakan pula padanya dengan sejujurnya, bahwa yang paling penting untuknya saat ini ialah melanjutkan apa yang sudah ia impikan yaitu menjadi seorang guru-sesuatu yang ia idamkan. Aku sampaikan padanya bahwa Jawa, tanah penuh kemasyhuran itu, adalah tujuannya. Tempatnya meraih impian, angan. Bukan di sini, di tempat ini, atau di toko mamanya, atau bersamaku.
Dan sebagai seorang yang cerdas, berilmu, ia menghargai keputusan itu. Ilmu pengetahuan, dalam satu pihak, aku rasa tela menyelamatkan kami berdua. Ilmu pengetahuan meningkatkan ruang kepala kami menjadi lebih berisi, bagus, penuh pertimbangan. Tuhan, di sisi lain, pun turut merestui.
Kini tersisa berapa bulan lagi sebelum nanti ia lulus dari sekolahnya. Ujian akhir biasanya dilakukan sekitar bulan April atau Mei, aku pun sudah lupa pula. Dan bagiku, barangkali sudah aku jelaskan bahwa aku tidak ingin memangkas tangkai-tangkai mimpinya itu. Sebuah impian yang mulia, tak pantas untuk dipangkas sulurnya. Biarkan ia merambat pada pohon pengetahuan, dan berbuah di sana. Tugas kita hanyalah menyiraminya dengan penuh seluruh.
Tapi Lusi pun mengatakan pula padaku bahwa setidaknya kerinduan masa sekolahnya dulu sudah terpenuhi, yaitu mengenalku lebih dekat. Tentu baginya-begitu menurutnya-itu adalah sebuah pencapaian dan ia bangga akan kenyataan itu. Aku pun tentu berbangga pula padanya. Ia perempuan pertama yang aku temui-walaupun bukan orang-orangku-yang memililki pemikiran yang semapan itu.
Ia tampak seperti perempuan yang manja dari luarnya, tapi dari dekat dan dari isi kepalanya, ia justru adalah kebalikan dari itu semua. Ia dalam bahasa yang lebih tinggi adalah sebuah antitesis, yang berjalan, melayang-layang, berkeliaran, berlawanan. Ia seorang yang punya misi, visi, tujuan yang jelas. Pandangannya akan dunia pun berbeda dengan yang pernah aku dengar dari perempuan lainnya. Dan dalam hal itu aku bangga padanya.