Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #25

Hujan dan Romansa

Setengah perjalanan sudah ditempuh. Hari menjadi malam. Perut berbunyi, dan kami berhenti untuk makan. Angin berjalan mengelilingiku, seolah-olah ini tanah lapang buatannya sendiri. Dan aku, aku merindukan Koja. Sudah benarkah aku tinggalkan masa muda itu? Aku pikir, aku tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Dulu ya, sekarang sudah banyak ragunya.

Aku menulis pada catatanku: barangkali aku senang merindukanmu Koja, sebab mungkin karena engkau itu jenis manusia yang lebih mungil, lebih halus, dan lebih ringan.

Ah, adat, tradisi, peradaban, perjalanan ini, seolah-olah kini lebih pandai membuat kami semakin terbiasa menjaga jarak. Semua itu memang tak berarti bahwa aku harus lepas dari Koja. Secara fisik mungkin saja, tapi tidak dengan jiwanya. Segala miliknya telah menjadi miliku. Koja tak sekedar ada, ia hadir, mendekap aku utuh-utuh, dalam jiwanya.

Kini barangkali sudah sejam kami berhenti, dan oleh karena itu akhirnya perjalanan dilanjutkan. Gerimis pun datang, dalam bentuknya yang paling halus.

Dalam perjalanan ini aku tidak berencana menulis sesuatu lagi. Kali ini aku hanya ingin menyaksikan seluruh perjalanan yang tersisa. Aku ingin menemukan kedamaian pada bunyi-bunyi mesin, roda, lanskap pemandangan yang bergerak di kanan dan kiri, nyanyian angin malam, kepak sayap burung, gesekan bangku-bangku penumpang, goncangan, dan segala macam perihal yang datang.

Dari jendela sopir aku bisa melihat kami sedang menaiki tanjakan, sedikit berlumpur. Jalanan menyempit, dan beberapa kerikil kecil berserakan di atas tanah basah itu.Tapi aku pikir om sopir sangat berpengalaman dalam mengeksekusi jalan itu tentunya. Jadi aku tidak mencemaskan satu perihal pun akan perjalanan ini.

Tapi rupanya dugaanku yang amateur itu salah, keliru. Sebab sesuatu yang lain terjadi pada tanjakan itu. Oto kol kami kini berada di jalur yang pas, jalur biasa yang dilewati oleh oto kol lain. Kemudian aku bisa merasakan bahwa bunyi mesin semakin meraung, tapi tak ada pergerakan terjadi, justru aku merasa aku merasa badan oto kol itu bergeser ke samping.

Kemudian tiga orang konjak (kenek) turun dengan tergesa-gesa. Om sopir mulai meneriakan beberapa perintah kepada tiga konjaknya. Mereka pun mulai mengeluarkan perkakas: dedak, serbuk, bebatuan kecil, kayu kering. Aku pun ikut turun, mencoba membantu kesulitan itu. Melihat aku turun dari oto kol, beberapa penumpang pun mengikuti.

Lalu dari seorang konjak aku mendapatkan informasi bahwa ini adalah tanjakan yang selalu menyusahkan banyak sopir. Jalanan itu sesungguhnya beraspal, tetapi karena intensitas hujan yang tinggi, jalanan pun rusak, aspal terkelupas, dan tinggalah bebatuan yang tajam dan licin. Karena ketakutan akan kerusakan pada ban oto, maka mereka mencoba mencari jalan lain di luar jalanan rusak itu. Maka di sanalah kami berada, di tengah sebuah jalan tanah, yang kini berlumpur.

Sebagai orang yang berasal dari kampung aku mengerti akan hal itu, dan penjelasan semacam itu masuk pada akalku. Sebab di kampung, di Lamba, jalanan masih bertanah, tak ada aspal sama sekali. Maka aku kemudian memberi tahu om sopir agar memundurkan kembali oto kol-nya dan mencoba mengambil jalur jalan yang bebatuan tadi. Ia memandangku dengan wajah bingung. Ia bilang padaku bahwa selama berbulan-bulan ia sudah menghindari jalan itu, dan terakhir kali oto kolnya hampir terlempar karena licin.

Tapi penjelasannya justru membuatku meragukan kemahirannya dalam mengendarai oto kol. Aku bukan bermaksud merendahkannya, tapi menurutku jalanan di Lamba lebih parah dari apa yang sedang ada di hadapan kami. Aku pikir bahwa om Rius akan sangat mudah melalui jalur ini, sebab jalanan jelek itu hanya berjarak sekitar belasan meter dari jalanan aspal lainnya di seberang. Dari tempat itu, dibantu oleh terangnya lampu oto kol aku bisa melihat ujung aspal yang bagus di seberang.

Udara kini semakin dingin, kabut menyelimuti. Beberapa konjak sudah selesai menebarkan serbuk, dedak, bebatuan kecil, supaya nanti dilewati kembali dengan harapan bahwa perkakas-perkakas itu dapat menghilangkan kelicinan pada jalur itu. Aku meragukan. Sebab, dalam pertimbanganku, dengan situasi semacam itu, oto kol itu tetap akan kesulitan. 

Aku memperingati, tapi mereka tidak merespon. Kemudian om Sopir mematikan rokoknya, beranjak kembali ke balik kemudi, menyalakan mesin dan mencap pedal gas. Setelah sekitar lima menit berusaha, tak ada yang terjadi. Oto kol kami ini tak bergerak sedikit pun. Kini para penumpang mulai risau, malam semakin pekat dan dingin.

Om sopir turun kembali, wajahnya penuh serius dan geram. Ia menghampiri bagian belakang oto kol, melihat ban yang kini semuanya tenggelam dalam lumpur. Semua serbuk, bebatuan, dedak, kayu kering yang tadi digunakan pun semuanya ikut tenggelam dalam lumpur itu. Ia tidak mempercayai apa yang ia lihat dihadapannya.

Kini rasanya sudah setengah jam kami tertahan di sana. Om sopir kemudian menyuruh semua penumpang untuk turun. Ketiga konjaknya yang tadi begitu keras bekerja, kini terselimuti dalam lumpur. Kemudian setelah semuanya turun, om sopir meminta semua penumpang yang laki-laki untuk berdiri di sisi-sisi bak oto kol, semacam bergantung di sana, dekat dengan bagian ban yang tenggelam dalam lumpur. Kami semua bergerak sesuai perintah. Ia masuk kembali ke dalam ruang kemudi, dan mulai menancap pedal gas. Kami pun mulai menggoyangkan badan oto kol itu, dan aku bisa merasakan bahwa oto kol itu sedikit demi sedikit mulai bergeser ke samping dan bukan maju ke depan. Oto kol itu seakan tertancap kuat ke bumi. Seakan-akan ada yang menariknya dari bawah tanah. Semacam lumpur itu memiliki kekuatan super saja.

Om sopir turun lagi sambil sumpah serapah. Ia katakan pada kami bahwa kejadian semacam ini tak pernah terjadi padanya. Kami mengangguk saja. Sejurus kemudian, om sopir menyuruh seorang konjaknya untuk mengambil alih kemudi, dan ia akan menyaksikan apa sebetulnya yang terjadi pada ban-ban oto kolnya ini. Segera si konjak bertubuh kecil itu bergegas. Om sopir mengajak kami kembali untuk bergantung pada badan oto kol, dan ketika si konjak mulai menancap gas, kami pun mulai menggoyangkan badan oto kol itu. Setelah beberapa kali percobaan, tak ada yang terjadi. Kini yang terjadi adalah ban-ban oto kol itu kini semuanya tenggelam dalam lumpur.

Akhirnya om sopir menyerah. Ia katakan pada kami bahwa lebih baik kami menunggu oto kol lain lewat dan barangkali mereka bisa membantu kami keluar dari lumpur itu. Aku kemudian terangkan kembali pada om sopir bahwa lebih baik untuk memundurkan oto kolnya, dan melintasi jalur yang bebatuan tadi. Ia pun menolak. Ia katakan padaku bahwa ini tanjakan yang panjang, dan bebatuan yang licin itu bisa saja membuat oto kolnya terlempar ke dalam jurang. Aku tersenyum getir mendengar penjelasan itu. Barangkali karena ia tak puas, maka ia mulai menceritakan padaku bahwa beberapa bulan sebelumnya sebuah oto kol yang membawa hasil panenan ke kota Ujung Barat mengalami kecelakan di tempat ini, sebab mereka mencoba melewati jalur yang penuh bebatuan licin itu. Kini senyumku pun hilang, sepenuhnya.

Kami pun berhenti total. Mesin oto kol masih dinyalakan, dan lampunya menerobos malam yang berkabut. Dingin menambah, dan aku pun membakar sebatang rokok lagi. Barangkali sudah batang yang ke sekian pada hari ini. Lalu beberapa penumpang yang tak tahan dengan udara yang semakin dingin akhirnya kembali masuk ke dalam oto kol. Mereka mengambil kain yang mereka bawa dan mulai menutupi kembali tubuh mereka. Semuanya tampak santai. Semua penumpang ini tak ada yang bereaksi secara berlebihan. Dari seorang ibu aku mendapat informasi bahwa hal semacam ini sering terjadi dalam perjalanannya, dan ia sudah menjadi terbiasa akan hal semacam itu. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan kembali bergabung dengan om sopir dan tiga konjaknya.

Lihat selengkapnya