Orang Lamba

mas gamblang
Chapter #26

Perseteruan

Dan satu hal yang aku mesti akui lagi bahwa sebetulnya bukanlah sesuatu yang buruk untuk merayakan suatu kehidupan yang sederhana. Dunia menawarkan itu dengan sia-sia, dan kita perlu waktu untuk memikirkannya. Manusia dengan segala keindahannya, pada satu titik tertentu, cenderung mengabaikan hal-hal semacam itu. Tapi aku tidak punya kapasitas untuk menghakimi mereka, sebab kehidupan mesti terus berlanjut.

Kami tiba di puskesmas besar Ujung Barat pada pukul sembilan pagi. Segera om Rius menggendong tubuh mungil Koja menuju ruang yang sudah disediakan oleh para perawat. Kraeng Dalu dan istrinya mengekor dari belakang. Aku dan Nandes mengikuti. Mukanya tampak tak bersahabat sama sekali.

Kemudian setelah memasuki ruangan yang segalanya adalah putih itu, kami akhirnya dipersilahkan tunggu di lorong. Kraeng Dalu, istrinya, om Rius, Nandes dan aku intens menunggu di sana. Setelah beberapa menit kami menunggu, Nandes menarikku ke sudut, sedikit menjauh dari tempat kami berdiri sebelumnya.

“Pandong,” ia memulai, “Ada urusan apa kau di Ujung Barat huh?”

“Saya sedang mengunjungi keluarga, bapa tua saya.”

“Terus kenapa mau ikut ke sini?”

“Ya karena memang Koja sedang sakit. Saya khawatir, jadi saya mau ikut juga.”

“Kau ada hubungan apa dengan Koja?”

“Tidak ada hubungan apa-apa. Dia kawan saya dari kampung.”

Ia terang dan garam bagi duniaku, lelaki muda.

“Kawan huh? Kau tau kalau dia calon istri saya kan?”

“Saya tau Nandes. Kau tidak perlu perjelas,” ia diam sebentar, mengawasi aku dengan mata coklat kelerengnya.

“Saya mau tanya ke kau. Saya harap kau jawab dengan jujur. Kau suka juga kan dengan Koja?”

“Kalau iya memangnya kenapa?” Ia mendeham waktu kuperhatikan airmukanya. Dan aku semakin berani.

“Kau rasa tersaingi?” tanyaku lagi.

“Kau suka Koja?" tanyanya balik.

“Iya.”

Dan ia tertawa, mengejek.

“Sayang sekali kalau begitu. Karena kau hanya anak petani. Bukan anak kepala suku. Bukan anak guru. Bukan anak pejabat. Tidak pantas untuk Koja.”

“Memangnya kenapa kalau saya hanya anak petani? Salah?” Sekali lagi ia mendeham mencari kata-kata. Matanya mengembara keluar jendela. Pada waktu itu mulai kuperhatikan keadaan raut wajahnya. Air mukanya berubah, tambah merah.

“Koja itu hanya bisa kawin dengan orang-orang seperti kami, Pandong. Orang-orang yang punya status seperti kami.”

“Persoalan cinta, hati, kenyamanan, Nandes tidak ada urusannya dengan status. Walau saya hanya anak seorang petani, tapi saya bangga. Dan saya tidak pernah menggunakan status saya untuk mencintai Koja. Saya mencintai Koja karena benar-benar saya mencintainya. Bukan karena statusnya. Kau kawin dengannya bukan pula karena cinta, tapi karena status. Kalau menurut saya, itu adalah jenis cinta paling rendah dalam peradaban manusia.”

Ia mulai geram.

“Tapi tetap Pandong, kau tidak akan pernah mendapatkan Koja.”

“Ya mungkin Nandes. Tapi setidaknya saya tidak pernah menggunakan status untuk mencintai seseorang. Coba kau lepas statusmu, adatmu, maka kau bukanlah siapa-siapa.”

“Ah, kau iri?”

“Saya tidak pernah diajarkan untuk iri pada status orang lain, Nandes. Saya hidup dan makan dari hasil keringat sendiri. Bukan dari status saya. Kalau kau barangkali begitu. Kau kan hidup dari statusmu itu. Anak kepala suku. Kau pernah bekerja dan menghasilkan uang sendiri?”

“Tidak pernah, tapi setidaknya saya bukan seorang anak petani.”

“Kau menghina saya sebagai anak petani seolah-olah kau makan roti saja di rumahmu.”

Ia terdiam. Ia tembuskan pandangnya pada mataku. Aku tahu ada ancaman dalam pandang itu. Ia jatuhkan telapak tangan kanannya pada bahuku.

“Saya tidak suka orang-orang seperti kau, Pandong. Orang yang merebut kepunyaan orang lain seperti kau memang layak untuk diberi pelajaran.”

Apakah hendak berniat jahat padaku, oh pikiranku melayang-layang.

“Saya tidak pernah berniat untuk merebut apa yang sudah milikmu, Nandes.”

“Oh begitu? Jadi kau tidak bermaksud untuk merebut Koja dari saya?”

“Tidak.”

“Baguslah, karena memang Koja tidak pantas untuk kau. Kasihan darah murninya nanti dikotori oleh darahmu.”

“Apa maksudnya omongan itu, Nandes?”

“Darah orang rendahan seperti kamu ini kan bukan darah murni seperti kami ini.”

“Dulu saya berpikir kalau Koja sudah memilih orang yang tepat untuk dirinya. Tapi sekarang, melihat dan mendengar kau omong begini, saya amat yakin kalau memang kau adalah pilihan terburuk yang pernah dia pilih.”

Lihat selengkapnya