Hari ini sudah hari kedua aku di Ujung Barat. Bapa tua Mbolang belum ingin menceritakan tentang asal-usul keluargaku sebab kami harus menunggu kedatangan bapa tuaku yang satu lagi, yang bernama bapa tua Markus beserta rombongan dari kampung. Dua hari ini, bapa tua Mbolang hanya menceritakan tentang kehidupannya sendiri selama berada di Ujung Barat. Tak pula ia ceritakan tentang masa kecilnya ketika di kampung. Semacam ada sesuatu yang berat, penuh tragedi, dibalik semua cerita asal-usul keluargaku ini. Setiap kali aku bertanya perihal kehidupan masa lampaunya, masa kecilnya, ia selalu mengelak menjawab pertanyaanku.
Jadi di sinilah aku, menunggu kedatangan bapa tua Markus beserta rombongan yang datang dari kampung. Aku pun tak tahu letak kampung asalku itu di mana. Barangkali nanti ketika semuanya sudah diceritakan, mungkin aku akan tahu.
Malam datang dengan segalam kehangatannya. Di sini sekitar pukul sepuluh malam lewat. Suasana malam masih begitu ramai, penuh orang. Jalanan tak ada sepinya, sudah dua hari aku perhatikan. Belum pula aku dapatkan kabar apa pun tentang Koja selama dua hari ini. Sudah berulang kali aku pertimbangkan untuk mengunjungi Koja di puskesmas, tapi karena keteguhanku menepati janji pada istri Kraeng Dalu untuk menunggu kabar darinya, maka aku putuskan untuk tidak pergi. Tentu, hal ini bertolak belakang dengan segala yang nuraniku inginkan. Tapi apalah daya, aku bukan seorang pengkhianat. Aku pun pernah bilang bahwa orang yang tidak menepati janjinya adalah seorang pengkhianat. Aku tidak ingin label itu kembali kepada diriku sendiri. Maka aku tepati janjiku pada istri Kraeng Dalu, agar menunggu kedatangan kabar darinya.
Dalam permenungan itu, permenungan yang memakan banyak isi pikiran itu, aku pun mencoba untuk menyibukan diri. Jadi, aku pun bergegas ke teras depan rumah, bersandar di sebuah kursi yang dicat cokelat. Dalam lamunanku, aku pun tersadar akan pesan dari Mendeng dan Lusi, untuk menuliskan mereka surat jika aku sudah tiba di Ujung Barat. Jadi aku bergegas, masuk ke dalam kamar, mengambil pulpen dan catatanku, dan mulai menulis surat-surat untuk dua perempuan hebat itu.
Begini isi surat-suratku kepada dua perempuan hebat itu:
Untuk Lusi, di Kota Mborong.
Saya telah tiba di Ujung Barat, dan dalam keadaan sehat pula. Apa kabarmu? Saya berharap kamu baik di sana. Sampaikan salam saya ke mamamu, Aci, perempuan hebat itu. Sampaikan juga permohonan maaf saya karena tidak sempat berkunjung dan berjumpa dengannya pada hari terakhir saya ketika di Mborong.
Ketika menulis surat ini, saya sedang duduk di teras rumah bapa tua saya. Malam di sini lebih hangat, barangkali mungkin karena letaknya yang dekat dengan pantai dan laut. Dari rumah bapa tua saya ini, saya bisa mendengar dengan jelas deru ombak yang pecah di batu-batu karang. Seakan mereka ingin berbincang dengan diri saya.
Bukankah itu menggembirakan, Lusi?
Pun saya berterima kasih juga padamu, karena sudah kau kirim tulisanku itu. Saya sudah baca di koran, di sini kebetulan bapa tua saya berlangganan pula.
Ah, saya tidak pernah menyangka saya akan tiba di Ujung Barat, bertemu dengan sanak saudara, darah saya sendiri. Bapa tua saya, bapa tua Mbolang adalah rupanya seorang pensiunan guru. Usianya sudah barangkali tujuh puluh lima tahun sekarang. Dan ia senang saya datang berjumpa dan bertemu dengannya. Wajahnya menampilkan kebahagian yang sempurna dan paripurna. Itu membuat saya pun gembira bukan main. Sedikit kerinduan kepada bapak pun terobati.
Bapa tua saya ini punya dua anak, Ambros dan Sinta. Mereka berdua sangat baik pada saya. Ambros kini kuliah di Jawa, saat ini sedang libur. Sedangkan Sinta sekarang sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi lulus. Mereka berdua pun menyukai bacaan, buku, sastra. Sinta, pun menurut cerita yang ia sampaikan pada saya, dulu pernah menjadi pengurus majalah dinding sama sepertimu. Ketika saya mendengar ceritanya yang demikian saya langsung memikirkanmu, Lusi.
Saya ingat bahwa kalian pun sekarang sedang berada pada tingkat yang sama, penyuka sastra, dan seorang mantan pengurus majalah dinding pula. Aku tidak tahu apakah itu yang namanya kebetulan atau kerja misterius alam, Lusi. Tapi, pada tingkatan tertentu, saya merasa senang. Sinta pun begitu bahagia ketika saya menceritakan perihal dikau padanya. Juga perihala kesamaan yang kalian miliki. Saya pun bangga di sini, karena rupanya masih ada anak-anak muda yang menyenangi buku, bacaan, catatan, karangan, sastra.
Mama tua saya-istri dari bapa tua Mbolang-namanya Maria. Ia seorang ibu rumah tangga. Ia yang menyambut saya pada saat pertama kali saya turun dari oto kol om Rius. Kau masih ingat om Rius kan? Om Rius-lah yang menghantarkan keluarga Koja ke sini. Saya berjumpa dengan mereka ketika tertahan di tengah perjalanan karena oto kol yang saya tumpangi terjerambab ke dalam lumpur.
Keluarga bapa tua saya adalah keluarga yang harmonis. Kelas menegah kalau dalam istilah ekonominya. Saya tahu kau penyuka ekonomi, jadi barangkali kau suka kalau saya menyempatkan diri untuk mengatakannya dalam khazanah ekonomi. Di sini saya jumpai juga banyak buku, novel. Di sini ada toko bukunya pula, sama seperti di kotamu yang anggun itu. Rupanya bapa tua saya pun penyuka buku, ia senang membaca. Aku pernah sekali memasuki perpustakan kecilnya, dan isinya memang buku semua, pula ada koran-koran dari berbagai kota juga, termasuk dari Mborong. Saya sering berdiam diri di sana, membaca tentunya. Hari ini saya sempatkan diri membaca Chairil lagi. Kau tentu tahu Chairil. Saya baca kembali sebuah puisinya yang berjudul “Senja di Pelabuhan Kecil” dan saya teringat akan Koja.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal perahu tiada berlaut, menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut...
Ini salah satu puisi kesukaan saya, dan saya tahu kau pasti mengetahui itu. Saya sudah pernah cerita kan padamu, Lusi?
Tapi saya ingin mengakui satu hal lain lagi padamu, Lusi. Barangkali ini adalah berita yang tidak pantas saya sampaikan kepadamu. Bukan karena apa, tapi karena berita ini tak ada sangkut pautnya denganmu. Tapi, apalah daya, di sini tak ada yang dapat saya ajak berbincang seperti layaknya kamu. Jadi dalam surat ini—kertas-kertas ini—saya ingin menyampaikan juga bahwa Koja sedang berada di Ujung Barat. Dia sakit, ditimpa kemalangan yang belum juga saya ketahui akibatnya. Saya pun belum diizinkan untuk berjumpa dengannya, karena ada sesuatu lain yang terjadi.
Di sini, ketika di puskesmas, saya berjumpa pula dengan kekasih Koja, sang calon suami. Namanya Nandes. Tentu sakit benar hati ini melihatnya. Pun mengetahui bahwa bukan saya yang menjadi pelindungnya dalam masa kesakitan ini. Tak kuasa diri ini menahan api cemburu. Saya merasa hidup sudah tidak berpihak lagi pada saya. Ataukah menurutmu saya tidak ada pantasnya untuk Koja? Saya tahu pertanyaan itu tidak layak untuk saya tanyakan padamu, tapi lagi-lagi harus saya katakan bahwa tidak ada orang yang bisa saya ceritakan tentang kerisauan hati saya selain kepada kau, Lusi. Saya merasa kau kawan yang sangat mengerti pada keadaan saya. Pula kau adalah seorang perempuan yang mirip dengan saya, dalam pembawaan dirinya, cara berpikirnya. Saya seperti menemukan diri saya yang lain padamu. Maka bersedialah untuk mendengar semua cerita saya, lewat surat-surat ini.
Bagaimana suasana kotamu menyambut Natal tahun ini? Adakah jalanan di sana dirias dengan cantik oleh para penghuninya? Bagaimana kehidupan, apakah ia menawarkan sesuatu yang tak terduga padamu, Lusi?
Oh di sini, keramaian kota Ujung Barat ini betul-betul mengagumkan. Jalanan penuh orang, manusia ada di mana-mana. Pasangan muda banyak sekali, memamerkan kemesrahan. Orang-orang berpakaian rapi, wajah mereka bersih, lampu menyala pada setiap rumah dan di setiap sudut. Ada juga televisi di sini, radio dan mesin-mesin yang digerakan oleh tenaga yang bernama listrik. Oh, benda-benda itu mengagumkan. Saya tidak menyangka begini adanya kehidupan lain, sebab tidak saya temukan perihal dan kemewahan seperti ini di Lamba.
Di sini malam rasanya lebih panjang. Kegiatan berjalan selama dua puluh empat jam, tanpa henti. Mobil-mobil dari berbagai jenis ada, beroda dua, beroda empat, beroda delapan, beroda dua belas. Mereka berkeliaran bebas di jalanan beraspal yang begitu halus. Gedung-gedung pun sangat bagus di sini, indah, dan menjulang. Bahkan nyamuk hampir tak ada di sini. Lampu jalanan banyak betul, menyisir di pinggir emperan toko-toko. Gereja lebih besar pula, dan rumah-rumah semua bertembok, tak ada yang terbuat dari papan atau bambu.
Saya rasanya seperti sedang berada di dalam dunia dan zaman yang lain. Sebuah zaman yang datang terlampau cepat, yang baru, ranum dan tergesa-gesa. Seakan-akan orang-orang belum siap untuk menerima kedatangannya. Di sini saya dapat merasakan bahwa benda-benda pun lebih dicintai daripada manusia. Dan perihal itu pula membuat saya kagum, dan bertanya-tanya, apakah memang begini maksud dari zaman yang modern itu?
Orang-orang suka menyendiri di sini, tak begitu suka kerumunan, tak ingin perbicangan. Mereka menghabiskan waktu hanya untuk bekerja, siang hingga malam. Tidak seperti kehidupan di Lamba, walaupun penuh adat dan tradisinya, saya tetap merasa tenang. Di sini saya seperti menjadi orang asing, tak paham budaya, tak mengerti kebiasaan. Kehidupan rasanya berjalan lebih cepat di sini, sebab kehuru-haraan terjadi sepanjang menit, detik bahkan.
Beberapa hari ini saya mengamati, bahwa kota ini sudah begitu majunya. Tadi pagi ketika saya berangkat ke pasar dengan Ambros, kami melewati pantai, dan sebuah kapal bertengger di sana. Rupanya itu kapal barang. Mereka sedang singgah di pelabuhan Ujung Barat, menerima barang mentah dari kota ini, dan menghantarnya ke Jawa. Tapi sebelum ke Jawa mereka harus terlebih dahulu berlabuh ke Sulawesi, kemudian Kalimantan, dan akhirnya tembus ke Jawa. Lihatlah bagaimana dunia sudah berubah. Dulu saya hanya bisa melihat kapal melalui gambar pada koran, atau stensilan pelajaran, tapi kini saya bisa melihat langsung keberadaannya. Tidak melalu gambar, tapi melalui mata yang telanjang.