Orang Lamba

gamblangmas
Chapter #28

"Amin," tutup Koja

Ruangan itu penuh peralatan medis, dan aku tidak tahu satu-satu namanya. Om Rius dan dua pelayan keluarga Kraeng Dalu tertinggal di pintu ruangan rawat Koja. Di dalam hanya tersisa Kraeng Dalu dan istrinya. Aku tidak melihat Nandes di sana. Kemana kau lelaki muda?

Ketika aku tiba Kraeng Dalu segera menepuk pundakku, dan ia dan istrinya pun beranjak keluar. Sekarang pintu tertutup dan tersisa aku dan Koja di sana. Wajahnya masih pucat pasih, seperti kertas. Tubuhnya kini ringkih, dan perutnya agak membuncit. Apakah dia mengandung? Ah tidak mungkin. Tidak mungkin.

Koja tersenyum padaku. Di hidungnya tertancap sebuah selang, pada tubuhnya kabel-kabel penuh tertempel. Kepalanya di selimuti oleh semacam kerudung berwarna hijau. Dan wajah cantiknya, oh wajahnya, memelas kesakitan. Apa yang terjadi padamu wahai bungaku?

“Saya senang akhirnya Nana datang,” ia mengawali, suaranya patah-patah.

“Saya lebih senang, Enu. Enu sudah sadar kembali. Dunia rasanya sepi tanpa Enu di dalamnya,” sambarku.

“Kau pintar betul mengarang, Nanaku,” sambutnya lagi. Ia tersipu, meski dalam kesakitan.

“Apa yang terjadi denganmu? Di mana Nandes?”

“Kau belum jawab pertanyaan saya, Nana.”

“Saya tidak mengarang Enu. Betul, dunia saya tanpa Enu adalah sebuah kesunyian.”

“Saya sedih kalau begitu, Nana.”

“Kenapa harus bersedih. Tugas saya sekarang adalah buat Enu senang. Itu saja. Tolong jangan bersedih.”

“Sesuatu yang buruk akan terjadi pada saya, Nana. Saya sudah bisa merasakannya sekarang.”

“Kau omong apa, Enu? Huh? Tidak akan ada hal buruk yang terjadi dengan Enu. Tidak ada. Selama saya hidup, saya akan selalu jadi kawannya Enu.”

“Kawan? Nana bukan kawan saya. Nana itu  kekasih saya.”

“Kekasih? Enu sudah kepunyaan orang lain. Enu akan kawin dengan Nandes.”

“Sepertinya mereka belum bilang ke Nana kalau begitu ya?”

“Bilang apa?”

“Keluarganya berencana untuk menunda perkawinan kami. Karena saya sedang sakit begini. Dan pasti akan dirawat selama berbulan-bulan.”

“Saya tidak tahu apa saya harus senang atau tidak dengar itu. Tapi sebetulnya Enu ini sakit apa?”

“Belum diketahui, Nana. Di sini peralatan medisnya masih belum memadai untuk mengecek sakit saya ini. Jadi kami besok harus ke Maumere. Di sana rumah ada rumah sakit besar, yang lengkap peralatan medisnya. Besok saya akan berangkat dengan mobil ambulance ke sana. Saya sudah mendapat rujukan dari puskesmas ini.”

“Saya harus ikut kalau begitu.”

“Jangan dulu. Nanti kalau saya sudah sampai di Maumere baru kau boleh datang menjenguk.”

“Maumere kan jauh, Enu. Enu pasti butuh saya.”

Ia tersenyum. Manis sekali.

“Nanti saya akan ditemani oleh dua orang perawat. Selain itu ada juga bapa, mama dan dua pelayan kami. Jadi Nana datang kemudian saja. Nana selesaikan urusannya Nana dulu di sini. Kalau sudah selesai, Nana harus segera datang ke Maumere dan menjenguk saya. Ajak juga Mendeng. Apalagi sekarang dia masih libur, kan?”

Aku mengangguk pelan, dan kupandang wajahnya yang manis tiada tanding itu. Kemudian:

“Lalu, kenapa perutnya Enu buncit begitu?” tanyaku dalam suara rendah. “Enu mengandung? Adakah kesakitan ini karena apa yang pernah kita buat itu, Enu?” Tanganku bergemetar, juga suaraku.

Ia tertawa, tapi masih dalam kesakitannya.

“Bukan, bukan mengandung,” ia masih saja menahan tawanya, “Ini kata dokternya karena kesakitan ini. Reaksinya begini.”

“Saya kira kamu sedang mengandung.”

“Dan saya lebih memilih mengandung anaknya Nana dari pada kesakitan ini.”

Ia tersenyum lagi, manis sekali. Aku tersipu malu, terpental-pental.

“Jam berapa mereka Enu berangkat sebentar?”

Ia diam sejenak. Kini ia semacam sedang mencari jawaban.

“Jam setengah empat pagi sepertinya.”

“Sekarang sudah jam setengah satu. Berarti Enu harus tidur sekarang. Supaya kesehatannya Enu tetap terjaga.”

Nana, saya baru bangun dari tidur yang panjang, dan sekarang Nana suruh saya untuk tidur lagi. Ya Tuhan, Pandong.”

“Jangan marah, Enu

“Saya begitu kaget ketika mendengar Nana  juga berada di Ujung Barat, dan bahkan naik oto kol bersama saya pula. Mama cerita semuanya ke saya.”

“Iya. Saya ada urusan di sini, Enu.”

“Iya saya tahu urusannya Nana.”

Enu tahu, saya sangat merindukan, Enu. Siang dan malam. Petang dan senja. Terbit dan terbenamnya sang surya. Bahkan di antara jarak-jarak tipis dalam detik-detik itu, Enu.”

Nana mengarang lagi?”

“Saya tidak mengarang, Enu.”

“Tiada hari saya tidak merindukan kau, Nana. Dan ketika Nana menghilang dari kampung, hilang pula semangat saya untuk hidup. Saya habiskan hari hanya mengurung diri di dalam kamar. Menagis, meratapi nasib saya.”

Kini, setumpuk air mata mengalir pada wajahnya. Aku hapus dengan saputanganku. Dan ia cium tanganku, dan aku pun berpindah lebih dekat padanya.

“Suatu saat nanti, ketika saya sudah sembuh, saya ingin Nana mengajak saya ke laut. Saya begitu merindukan laut. Sudah lama saya tidak pernah ke sana.”

“Saya berjanji, Tuan Putri.”

“Sekarang, sebelum saya berangkat, tolong bacakan saya puisi-puisi yang sudah Nana buat selama ini. Saya rindu mendengar Nana baca puisi lagi untuk saya,”

“Saya lupa bawa buku catatan puisi saya, Enu.”

“Kalau begitu Nana ceritakan dongeng buat saya.”

Kini kemanjaannya sudah mulai bersemburan, dan aku menyukainya.

“Bahasa Indonesia atau Lamba?” tanyaku, memecah keheningan.

“Indonesia sajalah. Lebih puitis. Lagi pula Nana tidak suka bahasa Lamba.”

“Saya suka bahasa Lamba, Enu. Itu bahasa yang sering Enu  pakai. Jadi saya suka. Apa pun yang Enu suka, pasti saya suka.”

“Nah, kalau begitu sekarang saya suka kalau Nana cium saya. Nana berani?”

Enu main-main , kan?” Dan aku berharap dia sedang tidak bercanda. Karena memang aku sangat ingin menciumnya, merengkuhnya, memillikinya.

“Katanya apa yang saya suka Nana pasti suka. Dan sekarang, saya suka kalau Nana cium saya dan Nana tidak mau. Berarti Nana tidak sayang saya?”

“Baiklah, kalau begitu, Tuan Putri.”

Aku dekatkan wajahku padanya, kutangkap pipi-pipinya dan kuarahkan bibirku pada wajahnya, dan bibiku mendarat dengan lembut pada keningnya.

“Lagi, ” pintanya, memelas.

“Lagi?”

“Ya lagi.”

Aku menuruti perintahnya, dan kali ini bibirku mendarat dengan lembut pada pipinya.

“Lagi.”

Aku sambut kembali perintahnya, kulandaskan pesawat bibirku ini pada pipinya yang lain.

“Lagi.”

Kusambar dagunya. Hangat terasa bibirku ini.

“Lagi.”

Kupetik bibirnya yang pucat itu, manis, lembut, basah, dan oh indahnya malam ini.

“Lagi.”

Kubenamkan wajahku seutuhnya. Ia menyambut dengan penuh kelembutannya. Ia tangkap kepalaku dengan tanganya, membenamkan aku ke dalam pelukan yang lebih erat, hingga hampir tak bisa aku bernafas.

Aku kemudian menarik diri, kupandang Koja kembali dan matanya masih tertutup. Kami berdiam sejenak, hening. Ruang itu serasa kosong. Seperti tidak berpenghuni. Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, dan aku tidak memberikan perhatian penuh kepada mereka.

“Betapa saya merindukan suasana seperti ini. Saya rindu Lamba, Nana. Di sana segalanya begitu damai, tenang.”

“Saya juga rindu Lamba, Enu. Makanya Enu harus cepat sembuh, supaya kita kembali ke Lamba lagi. Seperti dulu.”

“Doakan saya selalu, Nana.”

“Setiap saat saya selalu mendoakan Enu. Setiap saat.”

“Sekarang ceritakan saya sebuah dongeng. Sebelum kita berpisah, saya ingin mendengar ceritamu, Nana. Barangkali ini yang terakhir kali, kan?”

“Kalau Enu omong begitu saya tidak akan cerita.”

Lihat selengkapnya