Orang Lamba

gamblangmas
Chapter #29

Anak Kepala Suku

Di balik setiap wajah, terdapat kisah yang tak terucapkan. Begitu pun dengan bapakku, sosok yang selama ini hanya kutemui dalam ingatan dan kenangan samar. Kini, setelah kepergiannya, aku merasa seolah harus menggali lebih dalam ke dalam sejarah keluargaku, mencari tahu jejak-jejak yang hilang dan rahasia yang terpendam di balik kehidupan yang ia jalani.

Rupanya, setelah mendengar semua cerita dari dua bapa tuaku ini, aku mengetahui kalau bapakku, ketika berusia tujuh belas tahun, melangkah pergi dari kampung halamannya dengan beban yang menggerogoti jiwa. Ia adalah pemuda yang penuh semangat, tetapi pada saat yang sama, terjebak dalam konflik yang melanda sukunya. Perang antara suku-suku di tanah kelahiran kami adalah latar belakang yang membentuk hidupnya, menciptakan gejolak yang mengubah arah hidupnya selamanya.

Tiga tahun yang penuh gejolak—1938 hingga 1940—menjadi saksi bisu dari konflik yang tak berkesudahan. Peperangan terjadi antara suku kami dan suku tetangga. Nama suku kami Simpar dan suku tetangga kampung kami itu adalah Sanggo. Dua suku ini berperang karena merebut lahan perbatasan kekuasaan antara kedua suku.

Dalam dua peperangan pertama, suku kami meraih kemenangan dengan keberanian dan strategi yang cermat. Namun, di balik setiap kemenangan, terdapat rasa percaya yang rapuh, seperti benang halus yang bisa putus kapan saja. Di tengah gejolak itu, kekasih bapakku muncul, seorang gadis cantik dari suku Sanggo, yang menjadi simbol dari cinta yang terlarang dan harapan yang tak terduga.

Cinta mereka adalah dua sisi mata uang; satu saat bersatu, satu saat berpotensi menghancurkan. Dalam pelukan kasih yang terlarang, mereka berbagi mimpi dan janji, meski di luar sana, api peperangan berkobar dengan ganas. Namun, ada saat-saat ketika keraguan menyelinap ke dalam hati bapakku. Dalam momen yang penuh ketegangan itu, ia memilih untuk berbagi taktik perang yang seharusnya dijaga rapat. Dengan cinta sebagai alasannya, rahasia itu terungkap ke pihak musuh, membuat suku kami terjebak dalam kekalahan yang pahit.

Perang ketiga, yang seharusnya menjadi momen penentuan, berubah menjadi bencana. Kekalahan itu tidak hanya menghancurkan harapan suku kami, tetapi juga mengubah pandangan orang-orang terhadap ayahku. Ia yang sebelumnya dipuji sebagai pahlawan perang, pendekar suku, kini dijadikan pengkhianat. Dalam sorotan kemarahan dan pengkhianatan, ayahku diusir dari kampung halamannya, seolah-olah namanya tidak pernah ada. Dengan langkah berat, ia pergi, meninggalkan semua yang ia cintai dan semua yang pernah ia percayai.

Sejak hari itu, jejaknya menghilang dari kampung yang pernah ia sebut rumah. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi, dan tak ada yang tahu betapa dalam luka yang ia bawa. Di luar sana, di kota yang jauh, ayahku bertahan dalam diam, menapaki jalan yang baru, menyimpan rahasia yang tidak pernah terungkap kepada siapa pun, bahkan kepada keluarganya sendiri. Bahkan kepadaku.

Waktu berlalu, dan kehidupan terus berlanjut, meski bayang-bayang masa lalu selalu menghantui. Ketika kabar duka datang menghampiriku, rasanya seperti gelombang yang menghantam tanpa ampun. Bapak telah pergi untuk selamanya, membawa semua kisahnya bersamanya. Keluarga dari pihak bapak datang, membawa berita bahwa di antara kami terdapat saudara-saudara yang tidak pernah kami kenal. Dalam kerinduan akan jawaban, aku menemukan diriku terjebak dalam labirin sejarah yang belum sepenuhnya terungkap.

Ketika aku berusaha menggali lebih dalam, kisah bapaku mulai terkuak sedikit demi sedikit. Dalam setiap percakapan dengan keluarga baruku, aku mendengar cerita tentang masa lalu yang penuh warna. Mereka bercerita tentang ayahku sebagai sosok yang karismatik, seorang pemimpin perang yang memiliki visi, tetapi juga seseorang yang terjebak dalam dilema antara cinta dan tanggung jawab. Di balik setiap kisah yang diceritakan, aku merasakan kehadiran bapakku, seolah ia ingin aku memahami betapa kompleksnya cinta dan pengkhianatan.

Dalam pencarianku, aku juga menemukan bahwa meski bapakku telah meninggalkan kampung halamannya, jejaknya tetap terasa di setiap sudut tempat itu. Dalam setiap aliran sungai, dalam setiap deru angin, aku merasakan kehadiran sejarah yang tak terlupakan. Dengan setiap langkah yang kuambil, aku berusaha untuk merangkul warisan yang ditinggalkannya, bertekad untuk memahami asal usulku dan menghidupkan kembali kisah yang mungkin telah terlupakan.

Kini, aku berdiri di persimpangan antara masa lalu dan masa depan, berusaha menguak kisah yang tertinggal. Di balik setiap bisikan angin dan setiap suara malam, aku merasakan kehadiran bapakku. Dalam pencarianku, aku belajar bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar—sebuah perjalanan yang membentuk diriku hari ini.

Dalam perjalanan ini, aku berusaha untuk menghidupkan kembali kisah bapakku, untuk menghormati namanya dan untuk memahami kompleksitas yang ada dalam hidupnya. Jejak yang hilang, rahasia yang terpendam, dan cinta yang terlarang adalah bagian dari warisan yang kini menjadi tanggung jawabku. Dalam setiap detik yang berlalu, aku berjanji untuk membawa namanya dengan bangga, meski dalam hati tersimpan serpihan rasa yang takkan pernah pudar.

Kisah ini bukan sekadar tentang pengkhianatan atau kehilangan, tetapi juga tentang cinta yang mengalahkan segala rintangan. Dalam perjalanan ini, aku menemukan bahwa meskipun rahasia ayahku mungkin menyakitkan, mereka juga membentuk kekuatan yang ada dalam diriku. Kini, aku bertekad untuk menjadikan cerita ini sebagai pengingat bahwa setiap perjalanan memiliki arti, dan setiap jejak yang ditinggalkan adalah bagian dari sejarah yang harus dihormati.

Dengan semangat itu, aku melangkah maju, berusaha membuka lembaran baru dalam hidupku, sambil tetap menghargai dan mengenang kisah ayahku yang penuh liku. Dalam setiap langkah, aku menemukan kekuatan untuk merangkul masa lalu dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.

Pagi itu, kami duduk melingkar, semuanya diam. Aku mendengarkan cerita mengalir dari dua bapa tuaku. Dan ketika mereka sudah selesai menjelaskan, aku pun kemudian menceritakan mimpiku, yang pernah aku alami dalam perjalanan dari Lamba ke kota. Mimpi yang pernah aku ceritakan pada om Rius. Seorang perempuan muda, menggendong anaknya, kemudian ia melepas pergi anaknya itu ke dalam isapan cahaya, lalu muncullah seorang muda, mirip bapak dari dalam semburan cahaya lain, kami berdiri seperti di batasi tembok kaca tebal, dan kemudian mereka menghilang dan munculah Koja dalam mimpi itu.

“Kapan itu, Nana?” bapa tua Markus bertanya, menyambar ceritaku. Semua diam, sunyi mendekam. Suasana semakin menegangkan aku kira.

“Itu sekitar dua minggu lalu, Bapa tua,” jawabku.

“Apa perempuan itu bilang padamu?”

“Dia hanya bilang dia mati secara tragis tiga puluh tahun lalu.”

“Itu Ina, itu. Itulah kekasih bapakmu dulu. Dia yang mengkhianati bapakmu sehingga kami kalah perang dulu. Sehingga kita kehilangan tanah warisan nenek moyang itu,” suaranya kini mengeras.

“Bapa tua, jangan marah, saya tidak bermaksud membuka luka lama, tapi dalam mimpi itu perempuan muda itu menggendong anak perempuan, sekitar masih umur empat atau lima tahunan begitu. Jadi, saya hanya mau tanya, apakah bapa ada anak lain di luar saya dan Mendeng?”

Pertanyaan itu semacam membuat bapa tuaku terdiam. Bapa tua Markus memandang aku penuh, tegas, dan matanya menantang. Kami duduk berhadap-hadapan. Dan di sana, semua keluargaku dari kampung datang, dan aku merasakan bahwa wajah kami sangat mirip satu sama lain.

“Pandong, saya tidak tahu Ina datang ke mimpimu, tapi mungkin dia menyesal dengan apa yang sudah dia lakukan. Dan mungkin dia datang minta bantuan dengan kau. Karena memang, bapakmu dan Ina, perempuan dalam mimpimu itu punya anak perempuan. Dan bapakmu tidak pernah tahu kalau dia ada anak perempuan pada masa itu. Karena dia sudah terusir dari kampung, dan sekitar sembilan bulan kemudian anak perempuan itu lahir. Anak itu adalah hasil dari pengkhianatan mereka berdua. Tinus, bapakmu, mengkhianati sukunya, ayahnya, saudara-saudarinya, sedangkan Ina mengkhianati cinta bapakmu.”

“Saya sudah tidak pikir kebelakang lagi bapa tua, saya selalu pikir ke depan. Jadi di mana anak perempuan itu sekarang? Berapa usianya sekarang? Bagaimana pun ia anak bapak dan ia saudari tiri kami.”

“Dia di kampungnya. Dia sekarang kalau tidak salah sudah punya cucunya. Anaknya empat, semuanya ada di kampung, di Sanggo.”

“Saya sebetulnya Bapa tua, ingin sekali untuk mengajak Mendeng mengunjungi kampung Bapak, ke tanah asal usul Bapa, tapi dulu katanya bapa pernah bersumpah bahwa seumur hidup, saya, anak dan cucu saya, tidak akan datang berkunjung kembali ke kampung halamannya. Dia pun katanya bersumpah dengan darah ayam hitam, dan pisaunya dia tancap ke tanah.”

“Itu dia sumpah di mana? Di kampung atau di luar kampung? Atau pas dia sudah tiba di tempat lain?”

“Bapak tidak pernah menyampaikan itu pada kami, Bapa tua.”

“Kalau dia bersumpah ketika di tanah kampung sendiri, maka sumpah itu tidak bisa dilanggar. Dan kalau dilanggar bayarnya adalah nyawa. Tapi kalau dia bersumpah ketika dia sudah berada di luar kampung, maka itu tidak berlaku pada tanah kampungnya.”

Kemudian, bapa tuaku, bapa tua Mbolang, menyela:

“Aeh Kaka Markus, Tinus dulu bersumpah di tanah kampung. Saya saksi hidupnya. Dia ambil ayam hitamnya mama, dan bersumpah kalau dia, anak dan cucunya tidak akan injak lagi kampung halamannya. Dan setelah darah ayam itu tumpah di atas tanah kampung kita, dia tancapkan pisaunya ke tanah. Kemudian pergi, tidak toleh kembali ke kampung.”

“Oh begitu rupanya dulu. Saya tidak ada di tempat waktu itu, mungkin lagi gali kubur korban perang yang mati,” sambar bapa tua Markus.

“Oh iya, kemudian, kau pernah lihat bekas luka pada telapak kiri bapakmu Pandong?”

Lihat selengkapnya