Kemudian dua hari setelahnya, surat dari Koja tiba di Ujung Barat, dan mendarat di tanganku.
Untuk suamiku, Pandong, di Ujung Barat,
Salam dari Maumere, suamiku yang tercinta. Lihatlah, aku tidak lagi menggunakan kata saya pada surat ini. Sekarang aku memlih kata aku. Mama bilang itu lebih intim, aku lebih intim dari pada saya. Jadi mari kita ubah panggilan itu, dari saya menjadi aku. Dari kau menjadi istriku dan suamiku.
Bukankah begitu lebih romantis suamiku?
Selain itu aku pikir, kata aku menandakan sebuah masa baru pada hidup kita, suamiku. Bahwa kita mampu menentang zaman dengan cara yang sederhana. Bukan dengan menulis untuk melawan, atau bersuara dengan lantang, memaki-maki, atau dengan parang dan tombak, tapi dengan cinta yang murni. Cinta yang membebaskan. Itu senjata kita. Senjata paling masyur yang pernah Tuhan ciptakan. Aku tahu bahwa perkawinan cinta kita ini tanpa ada segala kemewahan, tanpa riasan, tanpa orang-orang banyak, tanpa pesta meriah, tapi aku kira apa gunanya itu semua kalau cinta kita sudah lebih meriah dari semuanya itu?
Iya kan suamiku?
Aku ingin betul kau ada di sini hari ini, bersamaku, mendengar kabar tentang kesakitan ini. Tapi apalah daya, kita mesti berpisah sejauh ini. Dan oh iya suamiku, aku tidak bisa lagi menulis, tanganku semakin lemah, barangkali karena kesakitan ini. Jadi aku meminta bantuan mama untuk menulis surat ini.
Kau tentu tidak keberatan kan, suamiku?
Kau tahu, aku sudah menceritakan semuanya pada mama dan bapak. Mereka tersipu malu mendegar semua cerita kita. Dan sudah aku sampaikan pula bahwa aku sudah menjadi istrimu. Tenang saja, aku pun sudah meminta bapak dan mama untuk tidak memberitahukan pada siapa pun, termasuk Nandes. Dan oh iya, Nandes pun tidak pernah muncul lagi sampai saat ini. Mungkin ia tidak suka punya calon istri yang tidak sehat sepertiku. Mungkin ia berpikir apa gunanya punya istri yang sakit-sakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa? Tapi itu tidak membuatku sedih, untuk apa ya kan? Aku sudah punya kamu, suamiku. Lelaki muda yang memiliki cinta seluas dunia. Dan aku senang sekali bisa berbagi zaman denganmu, suamiku.
Suamiku tercinta,
Di antara dinding-dinding putih rumah sakit yang dingin ini, waktu seakan berhenti. Suara detak jam menggema, menciptakan irama yang sama sekali berbeda dari denyut kehidupan di luar sana. Di dalam ruangan sederhana ini, aku terbaring, dikelilingi oleh selang-selang dan alat-alat medis yang berkilau, seolah menjadi bagian dari dunia yang asing. Aku harus akui bahwa dalam setiap tatapan mataku, tersimpan lautan rasa; ketakutan, harapan, dan kebingungan berbaur menjadi satu.
Ah suamiku, sebuah kabar buruk datang padaku pagi ini.
Pagi ini, saat dokter menjelaskan diagnosis bahwa aku terkena penyakit lupus, kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh makna. Seperti hujan badai yang tiba-tiba melanda sebuah desa tenang, berita itu menghantamku dengan keras. Aku merasakan dunia seolah runtuh di sekelilingku, setiap detak jantungku terdengar lebih nyaring, lebih menakutkan. Dalam pikiranku, terbayang semua impian yang mungkin pudar, semua rencana yang kini terasa samar.
Mama, yang duduk di sampingku, merasakan setiap detak kegelisahan yang mengalir di antara ruangan ini. Melihatku berjuang melawan ketidakpastian ini membuat hatinya teriris. Mama memang selalu menjadi sosok yang kuat, seorang pejuang yang menyimpan segudang mimpi dalam hati kecilnya. Namun, kini, ada kerentanan yang tak terelakkan. Dalam pelukan dingin rumah sakit, aku ingin mengulurkan tangan, ingin memberinya kekuatan, tapi semuanya terasa hampa.
“Koja,” suara lembut mama memecah keheningan, “Apa yang kau rasakan?”