Beberapa hari kemudian datang pula sebuah kabar, sebuah surat dari Maumere, dari Koja.
Isinya begitu singkat, sederhana, tapi bikin aku bahagia.
Untuk suamiku,
Mungkin memang benar, nasib masih berpihak kepada kita. Hari ini suatu surat datang kepadaku, dari keluarga Nandes. Dalam surat itu, tertera kabar bahwa mereka hendak membatalkan perkawinan kami, karena alasan kesakitanku. Bukan menunda, tapi membatalkan, suamiku. Betapa senang hatiku ini. Aku sudah menjadi istrimu seutuhnya. Dan kau sudah jadi suamiku seutuhnya. Cepatlah datang menyusul ke Maumere.
Di sini laut rupanya begitu dekat dengan rumah sakitku ini. Hari ini aku dipindahkan ke ruangan yang menghadap laut. Dari sini aku bisa dengar deru ombak menyapu bebatuan karang. Aku begitu merindukan wangi, aroma, rasa, air laut. Jadi cepatlah kau datang suamiku, ajak aku berjalan-jalan di bibir pantai.
Tidak usah kau balas suratku ini suamiku, sebab aku ingin tubuhmu di sini. Aku tidak ingin merasakakanmu melalui surat, aku ingin merasakanmu secara langsung. Agar kubisa peluk tubuhmu utuh, dan kau bisa mengurus aku di sini.
Kali ini memang masih mama yang menulis suratku ini. Sebab memang tanganku, tubuhku semakin melemah suamiku. Cepatlah kau datang, aku menginginkanmu di sini. Aku ingin kau ajak Mendeng ke sini. Ia harus datang, supaya kita jadikan ia saksi perkawinan kita. Kita akan kawin kekasihku. Kau dengar itu, kita akan kawin. Bapak sudah memberitahu seorang romo di sini. Sudah pula disiapkan meja kecil untuk nanti kita menandatangani dokumen perkwaninan kita. Mama sudah membeli perlengkapan rias untuk menata wajahku nanti, aku ingin tampil cantik dihadapanmu, suamiku.
Sudah disiapkan semua di sini. Lilin, pakaian untukmu, untukku, kau hanya perlu datang. Datanglah, setelah selesai urusanmu. Cepatlah, datang suamiku. Aku merindukanmu. Aku merindukanmu. Siang dan malam. Dan tubuh ini bertahan oleh karena kerinduan padamu, dan karena aku sedang menunggu kehadiranmu. Cepatlah datang. Cepatlah...
Koja, Istrimu.
Maumere, 9 Desember 1992.
________